9. Egoisme Menimbulkan Tiadanya Kedamaian


   Manusia membentuk dan mengembangkan banyak sekali sifat dan sikap yang mementingkan diri sendiri. Akibatnya, ia selalu merasa tidak puas. Situasi ini timbul karena ia haus kekuasaan, tamak, ingin memperoleh wewenang, menguasai, dan mengontrol. Ia menginginkan harta benda yang tidak kekal dan tidak akan pernah membuatnya puas. Sesungguhnya kelobaan manusia untuk memperoleh semua hal ini tidak akan pernah terpuaskan. Kemahakuasaan hanya mungkin bagi Tuhan, penguasa segala sesuatu. Mungkin seseorang berbesar hati karena menguasai semua seni, memiliki segala kekayaan, menguasai semua pengetahuan, atau memahami kitab-kitab suci tetapi, dari siapakah ia memperoleh semua hal itu? Pasti dari sesuatu yang lebih besar dan agung. Mungkin ia mengatakan bahwa ia telah menguasai semua itu dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Tetapi jelas ada yang memberikan hal itu kepadanya, entah dengan cara bagaimana. Sumber segala wewenang dan kekuasaan ini adalah Tuhan, penguasa segala sesuatu. Mungkin ada orang yang menyangkal kemahakuasaan Tuhan. Mungkin ia mengira bahwa kekuasaan kecil yang diraihnya adalah miliknya sendiri. Ini adalah egoisme, keangkuhan, kecongkakan, ahaṁkāra.

   Bila seseorang adalah alat yang sejati bagi kekuatan Tuhan, ia dapat dikenal dengan ciri-ciri ini: jujur, baik hati, penuh kasih, sabar, mampu menahan diri, dan mempunyai rasa terimakasih. Sifat-sifat ini membuat egoisme tidak dapat bertahan. Bila sifat semacam ini tumbuh subur, egoisme tidak dapat hidup, tiada tempat lagi baginya. Karena itu, berusahalah untuk mengembangkan keutamaan-keutamaan tersebut.

   Kegemilangan cahaya ātmā dipudarkan oleh egoisme. Karena itu, bila egoisme dihancurkan, segala kesulitan akan berakhir, semua ketidakpuasan akan lenyap, dan kebahagiaan dapat diraih. Bagaikan matahari yang tertutup kabut, demikian pula kebahagiaan abadi tertutup oleh egoisme. Sekalipun mata kita terbuka, secarik kain atau kardus akan merupakan penghalang sehingga penglihatan kita tidak dapat berfungsi dengan baik. Demikian pula tabir egoisme merupakan penghalang sehingga manusia tidak dapat melihat Tuhan, yang sesungguhnya lebih dekat kepadanya daripada apapun juga lainnya. Banyak peminat kehidupan rohani dan petapa kehilangan semua manfaat dan keunggulan yang merupakan hasil perjuangan serta pengurbanan mereka selama bertahun-tahun karena mereka terikat pada rasa keakuan. Kesaktian tanpa kebahagiaan penghayatan Tuhan dapat dimisalkan sebagai dinding tanpa fondasi. Kesarjanaan belaka tidak akan ada gunanya. Kitab- kitab suci Veda, Upaniṣad dan Śāstra adalah buku petunjuk untuk penerapan dalam kehidupan sehari-hari; bila tidak dipraktekkan, tingkat kesarjanaan apapun yang telah diraih, pembicaraan yang hebat-hebat, semuanya hanyalah pemborosan besar-besaran.

   Bila engkau berniat mempraktekkan ajaran kitab Veda, Upaniṣad, dan Śāstra dalam kehidupanmu sehari-hari, engkau harus melenyapkan perasaan atau anggapan ‘aku sudah tahu’. Engkau harus berusaha mahami hakikat ajaran kitab-kitab suci tersebut dan merenungkannya. Kemudian pasti engkau dapat meraih kebahagiaan.

   Ramalan cuaca di koran mungkin mengatakan bahwa akan ada hujan sepuluh sentimeter. Meski begitu, bila koran itu kaulipat sepuluh kali dan kauperas, tidak ada setetes air hujan pun yang akan kaudapat. Laporan cuaca itu tidak dimaksudkan untuk memberi hujan, tetapihanya untuk memberi keterangan tentang hujan dan kelebatannya. Halaman koran itu tidak mengandung sepuluh sentimeter air hujan. Hujan terkandung dalam gumpalan awan-awan di langit. Demikian pula kitab-kitab suci hanya dapat memberi penjelasan tentang doktrin, aksioma, peraturan, dan kewajiban. Kitab-kitab ini sangat mulia karena memberikan berbagai petunjuk mengenai cara untuk memperoleh kedamaian dan kebebasan*). Tetapi, mereka tidak mengandung inti sari kebahagiaan; engkau tidak akan dapat memperoleh suka cita rohani dengan memeras halaman- halaman buku tersebut.

   Engkau harus berusaha mencari jalan, petunjuk, arah, dan tujuan yang diuraikan dalam kitab-kitab tersebut, engkau harus menempuh jalan itu, mengikuti petunjuknya, dan mencapai tujuan itu. Meskipun begitu, bila ego menimbulkan rasa angkuh ‘aku mengetahui semuanya’, kegagalan tidak akan dapat dihindarkan; khayalan ini menyebabkan kematian. Rahasia keselamatan terletak pada kesadaran akan bahaya ini; bila bahaya ini tidak dicegah, kelahiran kembali tidak dapat dielakkan.

   Mengetahui semua hal ini, bila kausibukkan dirimu dalam praktek kerohanian, dunia dan masalah-masalahnya tidak akan mempengaruhimu. Hanya bila engkau berada jauh dari kebenaran ini, engkau akan menderita, merasa sakit, dan sengsara. Di tempat yang jauh dari pasar, engkau hanya mendengar suara hingar bingar yang tidak jelas. Tetapi, ketika berjalan mendekat, engkau dapat mendengar dengan jelas suara tawar-menawar di antara penjual yang berbeda- beda. Demikian pula sebelum kenyataan Tuhan kauketahui, engkau tertegun dan terpesona oleh hiruk-pikuk dunia. Tetapi, sekali engkau masuk ke dalam bidang usaha spiritual, segala sesuatu menjadi jelas dan kesadaran akan kenyataan sejati akan tumbuh dalam dirimu. Sebelum hal itu tercapai, engkau akan terperangkap dalam kegaduhan perdebatan, percekcokan, dan pameran kebesaran yang tidak berarti.

*) "Kebebasan" (mokṣa atau mukti) artinya adalah kebebasan dari belenggu kelahiran dan kematian, kebebasan dari semua ikatan dan perbudakan duniawi. Hal ini dicapai bila kesadaran manusia menunggal dengan Tuhan. Inilah tujuan akhir kehidupan manusia.