BAB VIII
TAHAP KEHIDUPAN BERUMAH TANGGA


Ada empat tahap kehidupan (āśrama) yang mengatur hidup manusia: tahap siswa, berumah tangga, penghuni hutan, dan tahap pertapa (brahmacarya, gṛhastha, vānaprastha, dan sannyāsa). Semua tahap itu didasarkan pada tahap berumah tangga. Ini merupakan tahap yang utama karena orang yang berumah tangga mendukung ketiga tahap lainnya. Berumah tangga adalah yang terpenting di antara semua tingkat kehidupan.

Sebagaimana semua makhluk hidup tergantung pada udara untuk kehidupan mereka, maka ketiga tahap hidup lainnya tergantung pada orang yang berumah tangga. Orang yang berumah tanggatidak saja memberi pangan dansandang kepada lainnya, tetapi juga menyediakan kemudahan untuk mengkaji Veda. Dalam kitab Dharma Śāstra, Manu telah menegaskan hal ini sejelas-jelasnya. Ia menyatakan bahwa orang yang berumah tangga pun akan mencapai mokṣa asalkan mereka berpegang teguh pada dharma yang telah ditentukan untuk tingkat hidup tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang dalam tahap kehidupan apa saja yang berpegang teguh kepada dharma yang telah ditentukan untuk tahap kehidupannya masing-masing, akan mencapai mokṣa.

Empat Tahap Kehidupan Membawa Manusia Menuju Kebebasan

Dalam Manusmṛti, Nāradaparivrājakopaniṣad dan kitab-kitab semacam itu, dinyatakan bahwa dalam beberapa hal, perumah tangga yang berpegang teguh kepada dharma dianggap sebagai jenis manusia yang tertinggi, sedangkan pada beberapa kitab lainnya disebutkan bahwa hanya orang arif bijaksana yang telah melepaskan segala-galanya sajalah yang layak dipuja. Karena itu mungkin timbul keraguan apakah orang dapat menerapkan hidup berumah tangga yang merupakan landasan dan penopang semua asrama, atau apakah ia harus menganut asrama sannyāsa atau jalan batin tanpa kelekatan (nivṛtti) yang dihormati di seluruh dunia. Ada hubungan yang erat antara perumah tangga yang patut dihormati dan kaum bijak waskita (paramahaṃsa) yang suci. Dengan demikian, dalam tahap kehidupan yang mana pun juga engkau berada, bukan merupakan masalah. Keempat tahap kehidupan itu membimbingmu menuju mokṣa, asalkan engkau mengikuti secara ketat dharma yang telah ditentukan untuk masing-masing āśrama itu dan asalkan engkau dengan tekun berusaha sedapat-dapatnya untuk maju dalam kehidupan rohani. Setiap asrama penting artinya pada suatu tahap tertentu; kelakuan orang yang bersangkutan dan praktek yang dilakukannya merupakan hal yang menentukan. Bila kita melakukan perbuatan yang baik dan kebiasaan yang bermanfaat, setiap āśrama itu suci, setiap āśrama patut dihargai dan dipuji. Itulah penilaian Śāstra.

Mereka  yang  telah  memperoleh  ātmajñāna, yaitu pengetahuan tentang ātma sebagai kebenaran dasar mereka, benar-benar menyeberangi lautan kelahiran serta kematian dan tidak diragukan lagi mencapai kebebasan. Sebaliknya, mereka yang mengabaikan ikrar dan tata cara​ yang telah ditentukan bagi mereka, serta mereka yang belum mempelajari Veda, Upaniṣad, dan Gītā, namun puas dengan kesucian dan penonjolan lahiriah saja, pasti akan menderita kesedihan.

Di antara berbagai disiplin, upacara dan tirakat yang ditentukan untuk diikuti setiap hari (nitya-anusthāna) sangatlah penting. Ini merupakan tapa tertinggi, dharma tertinggi. Tahukah engkau apa yang dikatakan Bhagavad Gītā yakni hakikat semua Upaniṣad, mengenai hal ini? Apa pun juga tahap kehidupan seseorang dan apa pun juga kastanya, bila ia selalu berusaha dengan giat dalam bidang spiritual, pastilah ia akan mencapai Tuhan. Itulah yang dimaksud Manu dengan, “Mereka diberkati dengan kebijaksanaan yang tertinggi (vijñāna).” Orang yang bebas dari segala keinginan, yang sedikit pun tidak mempunyai kecenderungan untuk memiliki atau menikmati dunia indra, yang tidak mempunyai egoisme atau rasa memiliki sedikit pun juga, yang selalu berbahagia dalam kesadaran Brahman, yang jauh dari penderitaan yang paling ringan sekalipun; orang itu akan menetap dalam kebahagiaan dan kedamaian yang tertinggi. Setidak-tidaknya, jika manusia selalu menetap dalam pengetahuan mengenai sifat dasarnya, yaitu Brahman, tidak diragukan lagi ia akan berhasil manunggal dengan Tuhan, paling tidak pada saat-saat terakhirnya.

Tahap ‘orang yang mantap kebijaksanaannya’ (sthitaprajña) cukup wajar bagi orang-orang seperti itu. Perasaan yang terus menerus, ‘’Aku adalah Brahman,” (Aham Brahmāsmi) merupakan obat serba guna bagi semua penyakit manusia. Kebebasan akan terwujud melalui  gagasan,  “Aham Brahmasmi” itu sendiri. Memupuk perasaan ini dan menghayati pengalaman tersebut merupakan tugas sejati manusia. Orang yang tidak arif (agnyāni), yang ditunggangi oleh asas kelembaman (jada), percaya bahwa raga itu  adalah dirinya sendiri! Pandit yang dapat melakukan sedikit penalaran atau penyelidikan batin, merasa bahwa jiwa dalam raganya adalah “aku” (yang sesungguhnya). Tetapi orang yang arif bijaksana dapat melihat an-ātma sebagai sesuatu yang terpisah dari ātma. Mereka tahu bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah Aham Brahmasmi ‘Akulah Brahman’, dan mereka tidak akan ingkar dari keyakinan itu.

Kasta-kasta seperti brahmana, warna kulit seperti putih dan hitam, tahap kehidupan seperti brahmacharya dan sebagainya, semua ini adalah keadaan fisik, dan bukan ciri khas ātma. Kondisi itu tergantung pada waktu dan tempat. Hal itu termasuk dalam dunia perbudakan ini dan diatur oleh alasan-alasan yang berhubungan dengan dunia tersebut. Keadaan fisik ini merupakan takdir yang ditentukan oleh kehendak Tuhan agar dunia dapat berfungsi secara tertib. Hal itu harus ditaati oleh setiap orang yang terikat oleh keterbatasan-keterbatasan duniawi. Bagi mereka yang tidak terpengaruh oleh keterbatasan dan kelonggaran, yakni mereka yang berada di luar ikatan duniawi, keadaan fisik ini tidaklah penting. Itulah sebabnya orang-orang yang selalu merenungkan Tuhan dengan tiada putusnya (Brahma- nistha), mereka yang telah memahami kenyataan dasar, tidak begitu memperhatikannya! Mereka tidak terikat pada kasta; mereka melihat segala sesuatu sebagai kenyataan dasar itu sendiri. Jadi bagaimana mereka dapat menaruh perhatian terhadap apa yang disebut kasta. Tetapi, sebelum tingkat itu tercapai, engkau memang harus mengkuti aturan-aturan ​kasta dan tanap kehidupanmu tanpa kecuali. Itu merupakan deha-dharma, yaitu ‘dharma bagi mereka yang masih berada dalam kesadaran raga’.

Ikuti Dharma Secara Ketat

Para mahaṛṣi yang telah memahami ātma-dharma menyatakan bahwa ciri utama diri yang sejati adalah eksistensi, kesadaran, dan kebahagiaan (sat, chit, dan ānanda). Karena itu, kaum arif bijaksana yang agung itu boleh dikata telah mencapai Brahman yang merupakan eksistensi, kesadaran, dan kebahagiaan mutlak. Agar mencapai kebebasan, kejernihan pandangan untuk melihat ātma sudah cukup, itu adalah hal yang paling penting, bukan kasta atau warna kulit.

Bagaimana caranya memperoleh pandangan yang jernih seperti itu? Jawabannya adalah, melalui pelaksanaan dharma, yakni dharma yang ditentukan oleh kasta dan tahap kehidupan seseorang! Dharma memungkinkan kita menyadari ātma tanpa kabut yang mengaburkannya dari pandangan. Pelaksanaan dharma mengisimu dengan pengalaman. Melalui pengalaman ini kebenaran menjadi mantap. Kebenaran ini mengungkapkan (kenyataan yang sejati) dengan jelas dan penampakan tersebut memberikan kebebasan (dari lingkaran kelahiran dan kematian). Orang yang bebas dari halangan-halangan batin semacam itu, yakni hambatan yang mengaburkan ātma, dapat termasuk dalam kasta atau tahap kehidupan yang mana saja, itu bukan soal; mereka benar-benar mencapai kebebasan. Kesadaran batin yang murni (antahkarana shuddhi) inilah yang dipuji oleh kitab-kitab suci (Śāstra) dalam pembahasannya mengenai keselamatan.

Mereka yang masih memiliki kelekatan dan kebencian, sekalipun tinggal di dalam hutan, tidak akan dapat menghindarkan diri dari gangguan. Mereka yang telah menaklukkan indra, sekalipun hidup berumah tangga, dapat menjadi pertapa. Bila mereka menyibukkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang tidak merugikan dan tidak tercela, maka mereka layak disebut orang yang bijak secara spiritual (gnyāni). Rumah merupakan pertapaan untuk mencapai tahap tanpa kelekatan. Kebebasan tidak dapat dicapai dengan memiliki keturunan, kekayaan, dengan beramal, melakukan upacara pengurbanan, atau yoga; yang diperlukan untuk mencapai kebebasan adalah pembersihan diri.

Hanya kitab-kitab Śāstralah yang mempunyai wewenang memutuskan mana tindakan yang benar dan mana yang salah. Apa pun juga tahap kehidupan seseorang, bila ia menganggap kesadaran Brahman sebagai tujuan hidupnya, dan jika ia berusaha menyadari kenyataan dirinya yang sejati, ia akan berhasil menyingkirkan tabir kekaburan batin dan (akhirnya akan) mengetahui dirinya adalah Brahman. Perhatian yang dipusatkan pada ātma, itulah sarana untuk mencapai kebebasan.

Setiap orang, apa pun kastanya, dapat mencapai tingkat yang tertinggi (paramapada) jika ia memahami wejangan yang diajarkan Veda ini dan menerapkan prinsip-prinsip kehidupan yang telah ditetapkan untuk setiap tahap dalam masa hidup manusia. Bila ada kemauan, kekuatan, dan tekad untuk berpegang teguh kepada dharma, bila tidak ada kesulitan untuk memperoleh kebijaksaan (jñāna), maka orang dapat tetap hidup berumah tangga dan sekalipun demikian mencapai kebebasan, tanpa memasuki tahap sanyāsa.

Para rajaṛṣi seperti Janakachakravarti, Ashvapati, dan Dilīpa bercita-cita mencapai kesadaran Tuhan dan mereka berhasil meraih tujuan itu sewaktu tetap berada dalam tahap hidup beruah tangga. Pada tahap tersebut mereka berjuang dan berhasil menghilangkan semua rintangan yang menghalangi tercapainya karunia Tuhan. Karena itu, jangan ragu; kehidupan berumah tangga bukan merupakan halangan.

Harmoni Dalam Rumah Tangga

Suami dan istri yang tergerak oleh hasrat untuk menyeberangi lautan kehidupan duniawi (saṃsāra) harus memiliki keserasian pikiran. Tekad untuk mencapai tujuan itu harus sama-sama kuat dan mantap pada kedua belah pihak. Bila tidak demikian, hanya kehidupan sebagai sannyāsi-lah yang akan menolong! Lihatlah, bahkan matahari siang hari pun berhubungan dengan pendampingnya, yakni cahaya. Bulan yang mempunyai enam belas bagian itu berhubungan erat dengan sinar sejuk cahayanya yang berfungsi sebagai madu. Ratu rumah tangga harus cerdas, sabar, tenang, baik, dan harus memiliki semua kebajikan; dengan demikian rumah tangganya akan bersinar cemerlang dan akan menjadi tempat kemenangan dalam bidang kerohanian pula.

Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa orang yang mendapat kesulitan dalam usaha kerohanian di rumah tangganya harus menempuh kehidupan pertapa (sannyāsa) dan melarikan diri. Jika hal itu dilakukan oleh sang suami tanpa  persetujuan  penuh  dari  istrinya,  (usaha  spiritual tersebut) tidak akan membawa hasil. Hal terbaik yang dapat dilakukan adalah meninggalkan rumah bersama dengan istrinya dan menjadi vānaprastha serta mengikuti dharma tingkat kehidupan yang baru itu. Bila ada anak-anak yang masih membutuhkan perhatian dan asuhan, maka vānaprastha pada tahap itu pun tidak disetujui oleh kitab- kitab suci (Śāstra).

Orang itu harus berusaha agar anak-anaknya bisa mandiri, kemudian biarkan mereka mengurus diri sendiri. Karena itu, kitab-kitab suci (Śāstra) menghendaki agar seseorang tetap berada dalam tahap berumah tangga hingga usia 48 tahun, entah keadaannya menyenangkan atau tidak. Orang harus tetap berada dalam tahap itu dan berjuang untuk menjalankan kewajibannya (svadharma) tanpa halangan. Jika ada hambatan, persembahkan pula hal itu kepada Tuhan. Hadapilah halangan itu dengan tenang sebagai permainan dan rencana-Nya; itulah cara untuk mengikuti disiplin bagi perumah tangga, yakni jalan baik bagi kaum pria maupun wanita.