BAB VII
GĀYATRĪ: IBU SEGALA MANTRA
Segala sesuatu yang dapat dilihat bersinar sebagai Gāyatrī karena kemampuan bicara (vāk) adalah Gāyatrī dan semua benda adalah ucapan, ditunjukkan oleh ucapan, dan digolong-golongkan dalam ucapan. Ucapanlah yang melukiskannya, menyatakannya, dan menunjukkannya. Semua benda juga berasal dari dunia (pṛthvī). Tidak ada apa pun juga yang dapat melampauinya. Dunia ini adalah raga manusia; ia tidak dapat meloncat keluar dari raganya. Napas (prāṇa) yang menopang hidup manusia berada di dalam hati (hṛdaya) dan tidak dapat bergerak keluar dan di luar hati.
Gāyatrī mempunyai empat kaki dan enam kategori.
Kategori tersebut adalah: ucapan, benda, dunia, raga, napas, dan hati (vāk, bhūta, pṛthvī, sharīra, prāṇa, dan hṛdaya). Ketuhanan yang dipuja-puji oleh Gāyatrī ini benar-benar agung, suci, dan mulia. Segala ciptaan yang beranekaragam ini tidak lain hanyalah sebagian kecil dari raga-Nya. Jumlah dan sifat, ukuran dan makna benda-benda itu berada di luar jangkauan pengertian manusia; meskipun demikian, semua itu hanyalah seperempat dari keagungan-Nya. Yang tiga perempat bagian lainnya adalah wujud abadi-Nya yang cemerlang.
Tidak mungkinlah memahami misteri wujud yang sarat dengan keagungan ini. Ketuhanan yang ditunjuk oleh Gāyatrī ini sesungguhnya disebut Brahman.
Ia adalah angkasa (ākāśa), di luar jangkauan akal manusia. Ia disebut sebagai ‘di luar kepribadian manusia’ (bahirārdha puruṣākāsah) ini adalah tanda tahap bangun atau tahap jaga. Yang Mahatinggi itu adalah angkasa di dalam diri manusia (antah puruṣakāsah) ini adalah tanda ‘tahap mimpi’. Ia adalah angkasa di dalam hati manusia; Ia mengisi dan memenuhinya--- ini adalah ‘tahap tidur nyenyak’. Siapa pun yang mengetahui kebenaran ini mencapai kesempurnaan dan Brahman. Ini berarti, ia yang mengetahui tiga keadaan yang terdiri dari tahap bangun, mimpi, dan tidur nyenyak (jāgrat, svapna, dan sushupthi) adalah Brahman.
Betapa menggelikannya bila manusia yang dikenal sebagai makhluk Ilahi dan mengemban nama perwujudan ātma (ātmasvarūpa), harus menjadi gudang egoisme serta akibatnya yang berupa ketidakmurnian, sibuk dalam usaha yang jahat penuh dosa untuk mengejar hal-hal yang tidak halal! Betapa celakanya! Setidak-tidaknya, karena sekarang pun manusia disebut ‘makhluk Ilahi’, maka seharusnya ia berusaha menempuh jalan yang bakal memberinya secercah keagungan itu.
Lalu bagaimana dengan dharma untuk orang banyak? Bagaimana mungkin manusia yang tidak berusaha memperoleh, walau hanya secercah dari kemuliaan Purusa Agung itu dapat diharapkan akan melaksanakan dharma untuk orang banyak? Sekarang usaha pencarian yang setekun-tekunnya pun tidak akan berhasil mengungkapkan percikan-Nya! Sebagaimana dikatakan oleh ṛṣi pada zaman dahulu, Kaum brahmana yang tidak melakukan pemujaan pagi- sore (sandhyā), akan celaka. Mereka yang mengabaikan pemujaan pagi dan sore, tidak berhak melakukan ritual lain.
Sandhyā hīno suchirnityam, anarhah sarva karmasu yadh anyat kurute karmano tasya phala bhagbhavet.
Demikian dikatakan oleh semua tradisi yang berwenang (smṛtis). Karena para ṛṣi zaman dahulu melakukan pemujaan sandhyā selama bertahun-tahun, mereka diberkati umur yang panjang, kemasyhuran, kejayaan, kebijaksanaan, dan kecemerlangan suci. Hal ini juga disebutkan oleh Manu. Karena itu, bila kita pertimbangkan dari segi pandangan apa pun juga, tidak ada brahmana yang layak mendapat status itu jika ia tidak bermeditasi pada Gāyatrī.
Tentu saja yang dimaksud dengan para brahmana dalam konteks ini adalah manusia yang telah menyadari prinsip ketuhanan atau kenyataan sejati yang tidak berwujud (Brahmatattva) dan yang telah memurnikan dirinya dengan merenungkan Tuhan yang mahabesar dengan tiada putusnya. Hal ini tidak ada hubungannya dengan kasta atau bahkan agama. Tetapi, mereka yang telah mewarisi nama brahmana, memikul tanggung jawab khusus untuk melaksanakan pemujaan pagi-sore (sandhyā) dan Gāyatrī.
Empat Kewajiban Manusia
Apakah sebenarnya yang disebut sandhyā? San berarti ‘baik’ dan dhyā berasal dari kata dhyān, dengan demikian sandhyā berarti ‘dhyāna yang semestinya’ atau ‘meditasi yang sungguh-sungguh dan mendalam kepada Tuhan! Hal ini berarti konsentrasi kepada Tuhan. Untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan, kegiatanmu harus dikendalikan. Agar berhasil dalam proses pengendalian ini, engkau harus mengatasi hambatan sifat murni, penuh nafsu, dan tumpul (sattva, rajas, dan tamas). Bila desakan-desakan alami ini menguasai dirimu dan berusaha menyeretmu ke jalan mereka, engkau harus berdoa kepada Tuhan, mohon agar pengaruh godaan itu dilenyapkan. Itulah tugas pertama bagi mereka yang berjuang untuk mencapai Tuhan.
Sudah merupakan hukum alam bahwa pagi hari adalah periode sifat murni (sāttvika), tengah hari adalah periode sifat penuh nafsu (rajasika), dan sore hari atau senja merupakan periode sifat tumpul (tamasika). Waktu fajar menyingsing, pikiran dibangunkan dari kelelapan tidur, dibebaskan dari keresahan dan kemurungan, sehingga menjadi tenang dan jernih. Seperti kita ketahui, pada saat itu, dengan kondisi mental seperti itu, meditasi pada Tuhan sangat bermanfaat. Itulah sebabnya ditentukan doa yang dilakukan pada dini hari (prātah-sandhya). Tetapi, tanpa mengetahui maknanya, orang banyak terus saja melakukan upacara secara mekanis, buta, dan awuran, semata-mata karena nenek moyang telah menentukan demikian. Tugas kedua bagi manusia adalah melakukan pemujaan Sandhyā ini setelah menyadari makna yang sebenarnya dan yang lebih dalam.
Sementara hari bertambah siang, manusia dirasuki oleh rajoguna, yakni sifat aktif, penuh usaha, dan ia memasuki lapangan kegiatan serta kerja keras sehari-hari. Sebelum makan siang, ia diberi petunjuk agar bermeditasi lagi kepada Tuhan dan mempersembahkan pekerjaan serta hasil yang diperolehnya dari pekerjaan itu kepada Tuhan. Ia baru boleh makan setelah melakukan kebaktian ini dan mengingat Tuhan dengan rasa syukur. Inilah yang dimaksud dengan pemujaan tengah hari (mādhyāhnikam). Dengan melakukan upacara ini, hawa nafsu (rajoguna) dapat dikendalikan dan diungguli oleh sifat murni (sattva). Ini merupakan tugas yang ketiga bagi manusia.
Kemudian manusia dikuasai oleh sifat ketiga, yaitu sifat tumpul (tamas). Ketika matahari terbenam, ia bergegas pulang, makan kenyang, kemudian mengantuk dan tidur, tetapi masih ada satu tugas yang menunggunya. Makan dan tidur adalah kebiasaan para pemalas dan penganggur. Ketika yang terburuk di antara ketiga sifat itu, sifat tumpul (tamas), mulai akan menguasai manusia, ia harus melakukan usaha khusus untuk menghindari belitannya dengan berdoa, berkumpul dengan mereka yang mengagungkan Tuhan, membaca buku mengenai kebesaran Tuhan, memupuk keutamaan, serta berusaha agar kelakuannya selalu baik. Ini merupakan pemujaan petang hari yang telah ditentukan (sandhyā vandanam).
Karena itu, pikiran dan perasaan yang bangkit dari
kekosongan pada waktu tidur, harus dilatih dan dibina dengan semestinya. Manusia harus berusaha merasakan bahwa kebahagiaan meditasi dan sukacita yang diperoleh ketika mengalihkan pandangan dan pikiran dari dunia luar itu jauh lebih agung dan lebih lestari jika dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh dengan jalan tidur fisik seperti yang biasa dilakukannya. Kebahagiaan dan sukacita ini dapat dirasakan serta diwujudkan oleh semua orang. Pemikiran yang cermat akan membuat engkau menyadari hal ini. Inilah tugas keempat bagi manusia.
Manusia yang sepanjang hayatnya menjalankan pemujaan tiga kali sehari (sandhyā vandanam) dengan tekun adalah jenis manusia yang tertinggi; ia selalu jaya; ia akan mencapai semua yang diinginkannya. Lebih dari itu, ia mencapai kebebasan bahkan pada waktu masih hidup (di dunia); ia adalah jīvanmukta.
Usahakan Kekuatan Jiwa
Usahakan agar sandhyā jangan sampai dianggap sebagai upacara rutin, sekadar salah satu di antara berbagai upacara yang harus dilaksanakan. Upacara ini harus dilakukan dengan memahami artinya dan memusatkan perhatian pada maknanya yang mendalam. Engkau harus benar-benar memahami arti mantra Gāyatrī. Perlulah engkau merasakan bahwa Yang Mahacemerlang (Ātmasvarūpa) yang disebutkan dalam mantra itu adalah dirimu yang sejati. Hanya mereka yang tidak memahami maknanyalah, akan menyia-nyiakan Gāyatrī.
Manu menekankan hal ini secara khusus; ia menyatakan bahwa Gāyatrī merupakan napas kehidupan para brahmana. Ini bukan sekedar pernyataan Manu; ini adalah kebenaran. Apakah yang lebih berdayaguna untuk kemajuan spiritual kita selain bermeditasi kepada terang Ilahi yang menerangi dan memelihara akal budi manusia? Apakah yang lebih bermanfaat daripada doa yang memohon agar pikiran kita diselamatkan dari kecenderungan ke arah dosa?
Tidak ada perisai yang lebih ampuh bagi manusia selain dari mengembangkan sifat-sifat yang baik. Manu menyatakan bahwa para brahmana tidak akan kehilangan statusnya, selama mereka berpegang teguh kepada Gāyatrī dan diilhami serta dijiwai oleh maknanya. Ia berkata bahwa jika seseorang terlalu lemah untuk mengkaji Veda, paling tidak ia harus melakukan japa Gāyatrī dan berpegang teguh kepadanya sampai akhir hayatnya. Tradisi yang berwenang (Smṛti) pun mengatakan bahwa tidak ada harta yang lebih berharga daripada Gāyatrī.
Kekuatan jiwa dapat melaksanakan serta menyelesaikan semua tugas duniawi, dan karena Gāyatrī menganugerahkan kekuatan batin untuk membantu mengembangkan tenaga tersebut, maka doa ini harus dilakukan dengan cermat pada saat yang tepat, tanpa lalai. Untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh, makanan yang mumi dan sattvik sangat diperlukan bukan? Demikian pula kecemerlangan matahari harus didapatkan dan diserap untuk memperkuat cahaya batin manusia dalam bentuk pemikiran yang kreatif (bhāvana).
Bila kekuatan jiwa bertambah, daya pengertian dan pertimbangan pun menjadi lebih aktif dan terarah pada jalur- jalur yang bermanfaat. Bila kekuatan jiwa berkurang, maka daya pengertian dan pertimbangan pun akan melemah dan mengecewakan engkau. Jadi, bila tenaga matahari diserap pada waktu yang setepat-tepatnya, ia akan seperti benih yang ditanam pada musim yang tepat, dan hasil panennya pun terjamin. Dapatkah kegelapan menutup, menyembunyikan, dan menjadikan kita kebingungan bila matahari telah terbit dan menerangi bumi dengan kecemerlangannya? Dapatkah kesedihan berlangsung terus bila kita telah mengisi diri kita dengan kecemerlangan itu? Bagaimana mungkin kita tidak memiliki kekuatan, yakni kekuatan yang berasal dari mata air Brahman? Teknik proses ini telah ditetapkan oleh para ṛṣi zaman dahulu, demi kebaikan semua peminat kehidupan rohani. Pelajari dan terapkan; engkau akan menyaksikan kebenaran jalan para ṛṣi itu dengan pengalamanmu sendiri. Untuk apakah sakramen benang suci (upanayana) itu?
Pada hari itu engkau didiksa ke dalam mantra apa? Mengapa hanya mantra itu yang diajarkan pada kesempatan tersebut? Mengapa mantra atau formula mistik lainnya tidak dianggap sama pentingnya? Renungkanlah semua ini, maka engkau akan mengerti bahwa Gāyatrī adalah rajanya segala mantra. Engkau juga akan menemukan makna baru berkenaan dengan upacara-upacara itu. Upacara dan tirakat tersebut sarat dengan makna. Perbuatan dan kegiatan nenek moyang kita akan tampak patut dihargai. Bila engkau tidak berusaha memahami maknanya, engkau akan menafsirkannya sekehendak hatimu sendiri dan engkau akan terseret ke dalam muslihat serta tipu daya untuk menghindar dari kewajiban hidup. Engkau akan terjebak dalam ketidakadilan dan kesesatan, anyānya dan adharma.
Makna Gāyatrī Yang Sesungguhnya
Jadi, apakah sebenarnya makna kata Gāyatrī? Kini adakah orang yang berusaha mengetahuinya? Kata itu mengandung dua arti, yaitu Dewi dan mantra. Gāyatrī adalah yang melindungi (tra) prāṇa (gaya atau prāṇa), atau indra, yang dimulai dengan kemampuan bicara (Vāk). Selain itu dikatakan, Yang menyelamatkan mereka yang mengidung- kannya, mengagungkannya, dan mengulang-ulang, atau merenungkannya, disebut Gāyatrī.
‘’Gāyantam trāyate yasmād gāyatrī, tena katyate.”
Mantra suci inilah yang mengubah rajaṛṣi seperti Viśvāmitra menjadi brahmaṛṣi. Veda sebagai ibu (umat manusia) akan melimpahkan segala rahmat kepada mereka yang memujanya. Dewi (Gāyatrī) digambarkan dengan istilah-istilah yang agung dalam kitab Brāhmana dan Dharma-sūtra. Bila engkau benar-benar memahami hal ini, engkau akan dapat mencapainya tanpa bantuan.
Segala sesuatu yang dapat dilihat bersinar sebagai Gāyatrī karena kemampuan bicara (vāk) adalah Gāyatrī dan semua benda adalah ucapan, ditunjukkan oleh ucapan, dan digolong-golongkan dalam ucapan. Ucapanlah yang melukiskannya, menyatakannya, dan menunjukkannya. Semua benda juga berasal dari dunia (pṛthvī). Tidak ada apa pun juga yang dapat melampauinya. Dunia ini adalah raga manusia; ia tidak dapat meloncat keluar dari raganya. Napas (prāṇa) yang menopang hidup manusia berada di dalam hati (hṛdaya) dan tidak dapat bergerak keluar dan di luar hati.
Gāyatrī mempunyai empat kaki dan enam kategori.
Kategori tersebut adalah: ucapan, benda, dunia, raga, napas, dan hati (vāk, bhūta, pṛthvī, sharīra, prāṇa, dan hṛdaya). Ketuhanan yang dipuja-puji oleh Gāyatrī ini benar-benar agung, suci, dan mulia. Segala ciptaan yang beranekaragam ini tidak lain hanyalah sebagian kecil dari raga-Nya. Jumlah dan sifat, ukuran dan makna benda-benda itu berada di luar jangkauan pengertian manusia; meskipun demikian, semua itu hanyalah seperempat dari keagungan-Nya. Yang tiga perempat bagian lainnya adalah wujud abadi-Nya yang cemerlang.
Tidak mungkinlah memahami misteri wujud yang sarat dengan keagungan ini. Ketuhanan yang ditunjuk oleh Gāyatrī ini sesungguhnya disebut Brahman.
Ia adalah angkasa (ākāśa), di luar jangkauan akal manusia. Ia disebut sebagai ‘di luar kepribadian manusia’ (bahirārdha puruṣākāsah) ini adalah tanda tahap bangun atau tahap jaga. Yang Mahatinggi itu adalah angkasa di dalam diri manusia (antah puruṣakāsah) ini adalah tanda ‘tahap mimpi’. Ia adalah angkasa di dalam hati manusia; Ia mengisi dan memenuhinya--- ini adalah ‘tahap tidur nyenyak’. Siapa pun yang mengetahui kebenaran ini mencapai kesempurnaan dan Brahman. Ini berarti, ia yang mengetahui tiga keadaan yang terdiri dari tahap bangun, mimpi, dan tidur nyenyak (jāgrat, svapna, dan sushupthi) adalah Brahman.
Betapa menggelikannya bila manusia yang dikenal sebagai makhluk Ilahi dan mengemban nama perwujudan ātma (ātmasvarūpa), harus menjadi gudang egoisme serta akibatnya yang berupa ketidakmurnian, sibuk dalam usaha yang jahat penuh dosa untuk mengejar hal-hal yang tidak halal! Betapa celakanya! Setidak-tidaknya, karena sekarang pun manusia disebut ‘makhluk Ilahi’, maka seharusnya ia berusaha menempuh jalan yang bakal memberinya secercah keagungan itu.
Lalu bagaimana dengan dharma untuk orang banyak? Bagaimana mungkin manusia yang tidak berusaha memperoleh, walau hanya secercah dari kemuliaan Purusa Agung itu dapat diharapkan akan melaksanakan dharma untuk orang banyak? Sekarang usaha pencarian yang setekun-tekunnya pun tidak akan berhasil mengungkapkan percikan-Nya! Sebagaimana dikatakan oleh ṛṣi pada zaman dahulu, Kaum brahmana yang tidak melakukan pemujaan pagi- sore (sandhyā), akan celaka. Mereka yang mengabaikan pemujaan pagi dan sore, tidak berhak melakukan ritual lain.
Sandhyā hīno suchirnityam, anarhah sarva karmasu yadh anyat kurute karmano tasya phala bhagbhavet.
Demikian dikatakan oleh semua tradisi yang berwenang (smṛtis). Karena para ṛṣi zaman dahulu melakukan pemujaan sandhyā selama bertahun-tahun, mereka diberkati umur yang panjang, kemasyhuran, kejayaan, kebijaksanaan, dan kecemerlangan suci. Hal ini juga disebutkan oleh Manu. Karena itu, bila kita pertimbangkan dari segi pandangan apa pun juga, tidak ada brahmana yang layak mendapat status itu jika ia tidak bermeditasi pada Gāyatrī.
Tentu saja yang dimaksud dengan para brahmana dalam konteks ini adalah manusia yang telah menyadari prinsip ketuhanan atau kenyataan sejati yang tidak berwujud (Brahmatattva) dan yang telah memurnikan dirinya dengan merenungkan Tuhan yang mahabesar dengan tiada putusnya. Hal ini tidak ada hubungannya dengan kasta atau bahkan agama. Tetapi, mereka yang telah mewarisi nama brahmana, memikul tanggung jawab khusus untuk melaksanakan pemujaan pagi-sore (sandhyā) dan Gāyatrī.
Empat Kewajiban Manusia
Apakah sebenarnya yang disebut sandhyā? San berarti ‘baik’ dan dhyā berasal dari kata dhyān, dengan demikian sandhyā berarti ‘dhyāna yang semestinya’ atau ‘meditasi yang sungguh-sungguh dan mendalam kepada Tuhan! Hal ini berarti konsentrasi kepada Tuhan. Untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan, kegiatanmu harus dikendalikan. Agar berhasil dalam proses pengendalian ini, engkau harus mengatasi hambatan sifat murni, penuh nafsu, dan tumpul (sattva, rajas, dan tamas). Bila desakan-desakan alami ini menguasai dirimu dan berusaha menyeretmu ke jalan mereka, engkau harus berdoa kepada Tuhan, mohon agar pengaruh godaan itu dilenyapkan. Itulah tugas pertama bagi mereka yang berjuang untuk mencapai Tuhan.
Sudah merupakan hukum alam bahwa pagi hari adalah periode sifat murni (sāttvika), tengah hari adalah periode sifat penuh nafsu (rajasika), dan sore hari atau senja merupakan periode sifat tumpul (tamasika). Waktu fajar menyingsing, pikiran dibangunkan dari kelelapan tidur, dibebaskan dari keresahan dan kemurungan, sehingga menjadi tenang dan jernih. Seperti kita ketahui, pada saat itu, dengan kondisi mental seperti itu, meditasi pada Tuhan sangat bermanfaat. Itulah sebabnya ditentukan doa yang dilakukan pada dini hari (prātah-sandhya). Tetapi, tanpa mengetahui maknanya, orang banyak terus saja melakukan upacara secara mekanis, buta, dan awuran, semata-mata karena nenek moyang telah menentukan demikian. Tugas kedua bagi manusia adalah melakukan pemujaan Sandhyā ini setelah menyadari makna yang sebenarnya dan yang lebih dalam.
Sementara hari bertambah siang, manusia dirasuki oleh rajoguna, yakni sifat aktif, penuh usaha, dan ia memasuki lapangan kegiatan serta kerja keras sehari-hari. Sebelum makan siang, ia diberi petunjuk agar bermeditasi lagi kepada Tuhan dan mempersembahkan pekerjaan serta hasil yang diperolehnya dari pekerjaan itu kepada Tuhan. Ia baru boleh makan setelah melakukan kebaktian ini dan mengingat Tuhan dengan rasa syukur. Inilah yang dimaksud dengan pemujaan tengah hari (mādhyāhnikam). Dengan melakukan upacara ini, hawa nafsu (rajoguna) dapat dikendalikan dan diungguli oleh sifat murni (sattva). Ini merupakan tugas yang ketiga bagi manusia.
Kemudian manusia dikuasai oleh sifat ketiga, yaitu sifat tumpul (tamas). Ketika matahari terbenam, ia bergegas pulang, makan kenyang, kemudian mengantuk dan tidur, tetapi masih ada satu tugas yang menunggunya. Makan dan tidur adalah kebiasaan para pemalas dan penganggur. Ketika yang terburuk di antara ketiga sifat itu, sifat tumpul (tamas), mulai akan menguasai manusia, ia harus melakukan usaha khusus untuk menghindari belitannya dengan berdoa, berkumpul dengan mereka yang mengagungkan Tuhan, membaca buku mengenai kebesaran Tuhan, memupuk keutamaan, serta berusaha agar kelakuannya selalu baik. Ini merupakan pemujaan petang hari yang telah ditentukan (sandhyā vandanam).
Karena itu, pikiran dan perasaan yang bangkit dari
kekosongan pada waktu tidur, harus dilatih dan dibina dengan semestinya. Manusia harus berusaha merasakan bahwa kebahagiaan meditasi dan sukacita yang diperoleh ketika mengalihkan pandangan dan pikiran dari dunia luar itu jauh lebih agung dan lebih lestari jika dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh dengan jalan tidur fisik seperti yang biasa dilakukannya. Kebahagiaan dan sukacita ini dapat dirasakan serta diwujudkan oleh semua orang. Pemikiran yang cermat akan membuat engkau menyadari hal ini. Inilah tugas keempat bagi manusia.
Manusia yang sepanjang hayatnya menjalankan pemujaan tiga kali sehari (sandhyā vandanam) dengan tekun adalah jenis manusia yang tertinggi; ia selalu jaya; ia akan mencapai semua yang diinginkannya. Lebih dari itu, ia mencapai kebebasan bahkan pada waktu masih hidup (di dunia); ia adalah jīvanmukta.
Usahakan Kekuatan Jiwa
Usahakan agar sandhyā jangan sampai dianggap sebagai upacara rutin, sekadar salah satu di antara berbagai upacara yang harus dilaksanakan. Upacara ini harus dilakukan dengan memahami artinya dan memusatkan perhatian pada maknanya yang mendalam. Engkau harus benar-benar memahami arti mantra Gāyatrī. Perlulah engkau merasakan bahwa Yang Mahacemerlang (Ātmasvarūpa) yang disebutkan dalam mantra itu adalah dirimu yang sejati. Hanya mereka yang tidak memahami maknanyalah, akan menyia-nyiakan Gāyatrī.
Manu menekankan hal ini secara khusus; ia menyatakan bahwa Gāyatrī merupakan napas kehidupan para brahmana. Ini bukan sekedar pernyataan Manu; ini adalah kebenaran. Apakah yang lebih berdayaguna untuk kemajuan spiritual kita selain bermeditasi kepada terang Ilahi yang menerangi dan memelihara akal budi manusia? Apakah yang lebih bermanfaat daripada doa yang memohon agar pikiran kita diselamatkan dari kecenderungan ke arah dosa?
Tidak ada perisai yang lebih ampuh bagi manusia selain dari mengembangkan sifat-sifat yang baik. Manu menyatakan bahwa para brahmana tidak akan kehilangan statusnya, selama mereka berpegang teguh kepada Gāyatrī dan diilhami serta dijiwai oleh maknanya. Ia berkata bahwa jika seseorang terlalu lemah untuk mengkaji Veda, paling tidak ia harus melakukan japa Gāyatrī dan berpegang teguh kepadanya sampai akhir hayatnya. Tradisi yang berwenang (Smṛti) pun mengatakan bahwa tidak ada harta yang lebih berharga daripada Gāyatrī.
Kekuatan jiwa dapat melaksanakan serta menyelesaikan semua tugas duniawi, dan karena Gāyatrī menganugerahkan kekuatan batin untuk membantu mengembangkan tenaga tersebut, maka doa ini harus dilakukan dengan cermat pada saat yang tepat, tanpa lalai. Untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh, makanan yang mumi dan sattvik sangat diperlukan bukan? Demikian pula kecemerlangan matahari harus didapatkan dan diserap untuk memperkuat cahaya batin manusia dalam bentuk pemikiran yang kreatif (bhāvana).
Bila kekuatan jiwa bertambah, daya pengertian dan pertimbangan pun menjadi lebih aktif dan terarah pada jalur- jalur yang bermanfaat. Bila kekuatan jiwa berkurang, maka daya pengertian dan pertimbangan pun akan melemah dan mengecewakan engkau. Jadi, bila tenaga matahari diserap pada waktu yang setepat-tepatnya, ia akan seperti benih yang ditanam pada musim yang tepat, dan hasil panennya pun terjamin. Dapatkah kegelapan menutup, menyembunyikan, dan menjadikan kita kebingungan bila matahari telah terbit dan menerangi bumi dengan kecemerlangannya? Dapatkah kesedihan berlangsung terus bila kita telah mengisi diri kita dengan kecemerlangan itu? Bagaimana mungkin kita tidak memiliki kekuatan, yakni kekuatan yang berasal dari mata air Brahman? Teknik proses ini telah ditetapkan oleh para ṛṣi zaman dahulu, demi kebaikan semua peminat kehidupan rohani. Pelajari dan terapkan; engkau akan menyaksikan kebenaran jalan para ṛṣi itu dengan pengalamanmu sendiri. Untuk apakah sakramen benang suci (upanayana) itu?
Pada hari itu engkau didiksa ke dalam mantra apa? Mengapa hanya mantra itu yang diajarkan pada kesempatan tersebut? Mengapa mantra atau formula mistik lainnya tidak dianggap sama pentingnya? Renungkanlah semua ini, maka engkau akan mengerti bahwa Gāyatrī adalah rajanya segala mantra. Engkau juga akan menemukan makna baru berkenaan dengan upacara-upacara itu. Upacara dan tirakat tersebut sarat dengan makna. Perbuatan dan kegiatan nenek moyang kita akan tampak patut dihargai. Bila engkau tidak berusaha memahami maknanya, engkau akan menafsirkannya sekehendak hatimu sendiri dan engkau akan terseret ke dalam muslihat serta tipu daya untuk menghindar dari kewajiban hidup. Engkau akan terjebak dalam ketidakadilan dan kesesatan, anyānya dan adharma.
Makna Gāyatrī Yang Sesungguhnya
Jadi, apakah sebenarnya makna kata Gāyatrī? Kini adakah orang yang berusaha mengetahuinya? Kata itu mengandung dua arti, yaitu Dewi dan mantra. Gāyatrī adalah yang melindungi (tra) prāṇa (gaya atau prāṇa), atau indra, yang dimulai dengan kemampuan bicara (Vāk). Selain itu dikatakan, Yang menyelamatkan mereka yang mengidung- kannya, mengagungkannya, dan mengulang-ulang, atau merenungkannya, disebut Gāyatrī.
‘’Gāyantam trāyate yasmād gāyatrī, tena katyate.”
Mantra suci inilah yang mengubah rajaṛṣi seperti Viśvāmitra menjadi brahmaṛṣi. Veda sebagai ibu (umat manusia) akan melimpahkan segala rahmat kepada mereka yang memujanya. Dewi (Gāyatrī) digambarkan dengan istilah-istilah yang agung dalam kitab Brāhmana dan Dharma-sūtra. Bila engkau benar-benar memahami hal ini, engkau akan dapat mencapainya tanpa bantuan.
Dharma yang sarat dengan berbagai misteri yang mendalam itu kini telah dirasionalisasikan dan ditafsirkan seenaknya dalam berbagai makna yang dangkal. Itulah sebabnya mengapa dharma merosot. Karena itu penting sekali menghidupkan kembali Sanātana dharma dan prinsip- prinsip penafsiran yang wajar terhadap kebenaran ātma yang merupakan landasan dharma. Jika tidak, maknanya akan berubah sehingga tidak dikenali lagi dan gagasan yang tidak nalar atau keinginan pribadi akan merajalela. Setiap tindakan akan dicap sebagai dharma, apa pun sifatnya!