BAB VI
AMALKAN DHARMA!


Prinsip-prinsip dharma tidak akan berubah menuruti kesenangan manusia. Dharma itu abadi. Dharma tetap dharma, dahulu, sekarang, dan selamanya. Tentu saja pelaksanaan dan aturan dharma terapan dapat berubah menurut perubahan maksud atau tujuannya; meskipun demikian, praktek-praktek tersebut harus diuji berdasarkan kitab-kitab suci (Śāstra), bukannya atas dasar mencari keuntungan. Upaya semacam itu jangan sampai ditempuh. Mungkin kitab-kitab suci tidak selalu membenarkan aturan- aturan yang membuahkan kemudahan yang dapat dilihat serta dirasakan. Demikian pula Veda serta kitab-kitab lainnya jangan diharapkan menunjukkan hal-hal yang mudah saja. Dharma tidak dapat diuji melalui jalur tersebut: bukti langsung atau bukti lewat mata tidak mungkin diperoleh. (Kitab-kitab) Mimāmsaka menyatakan bahwa dharma hanya dapat diketahui melalui mantra-mantra Veda dan bahwa Veda hanya berusaha menjelaskan kebenaran-kebenaran yang tidak kasat mata.

Jika dharma diikuti karena manusia menginginkan hasil atau ganjarannya, dharma itu bahkan mungkin diabaikan bila keuntungannya tidak jelas atau tidak cepat didapat. Setiap orang tidak akan mempunyai motif atau standar yang sama. Misalnya saja, setiap orang akan mempunyai gagasan yang berlainan mengenai hasil mandi atau membersihkan tubuh sebelum berdoa, upacara doa dan japa Gāyatrī mantra (yang harus dilakukan pada waktu subuh, lohor dan magrib), japa, dan meditasi yang telah ditentukan. Ada orang-orang yang tidak melakukan japa Gāyatrī pada sore hari dan sebagai gantinya membaca Viṣṇu Sahasranama ‘seribu nama Wisnu’ atau Śiva Sahasranama ‘seribu nama Śiva’. “Kāle sandyā samāchareth” artinya ‘lakukan sandhyāvandanam pada waktu yang tepat’, demikian ketentuannya. Tetapi, meskipun sudah ada petunjuk seperti itu, tidakkah mereka melanggar dharma bila mereka membatalkan sandhyā pada sore hari seperti ini? Demikian pula, ada ketentuan untuk setiap kasta. “Cātur-varṇyaṁ mayā sṛṣṭaṁ guṇa-karma-vibhāgaśaḥ” demikian dinyatakan dalam Bhagavad Gītā; artinya jelas sekali, yaitu, ‘Aku telah menciptakan keempat kasta dan mengelompokkan mereka berdasarkan sifat serta kegiatan mereka’, begitu bukan ajarannya? Tetapi, dengan berpegang pada segala argumen dangkal dan penalaran kosong, banyak orang mengikuti dharma yang berkenan di hati mereka, dan tanpa rasa takut kepada Tuhan atau dosa, mereka menyeret orang-orang yang tidak berdosa dan orang yang bodoh ke jalan yang salah pula.

Perlidungan Dharma

Itulah sebabnya mengapa kadang-kadang Tuhan turun ke bumi untuk menolong mereka yang tertindas dan untuk menegakkan kembali dharma. Itulah yang menyebabkan Tuhan menjelma: hal ini telah dinyatakan dengan lantang dalam Gītā sebagai berikut.

“Dharma-saṁsthāpanārthāya saṁbhavāmi yuge yuge.” ‘Untuk menegakkan dharma Aku lahir ke dunia dari masa ke masa (Bhagavad Gītā 4;8). Di sini ada satu hal yang harus kita pahami sejelas-jelasnya. Banyak di antara pembaca Gītā menafsirkan bahwa Tuhan menjelma pada waktu dharma hancur dan kekuatan-kekuatan adharma mulai merajalela. Tetapi tidak ada alasan untuk menarik kesimpulan bahwa dharma menjadi hancur. Gītā pun tidak menyatakan demikian. Kata yang digunakan adalah berkurang (glāni); artinya yaitu ketika ada pertanda bahwa dharma berada dalam bahaya, “Aku akan menjelma untuk melindunginya dari bahaya.” Tuhan tidak mengatakan bahwa Ia akan turun untuk melindungi dan melestarikannya setelah  dharma  itu sirna! Apakah gunanya seorang dokter setelah nyawa penderita lenyap? Demikian pula halnya dengan dharma, napas kehidupan umat manusia, bila telah binasa, apakah gunanya  penjelmaan  Tuhan  (bhavarogavaidya)?   Apa yang harus dilindungi-Nya? Inilah sebabnya kata merosot digunakan untuk menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan kehancuran, melainkan kemerosotan, melemahnya dharma. Melindungi dharma merupakan tugas Tuhan karena dharma adalah napas jiwa. 

Jatuh Ke Dalam Adharma

Dharma bukan masalah biasa. Manusia yang tidak mempraktekkan dharma, sama dengan orang mati; mereka yang mempraktekkannya memiliki sifat yang suci. Sekarang terasa perlunya membimbing manusia pada jalan dharma melalui nasihat yang baik, membangkitkan minat mereka dengan hasil-hasil yang menarik yang diperoleh jika mereka menempuh jalan itu, memperingatkan agar mereka menjauhkan diri dari orang-orang yang tidak mengikuti dharma, dan memberikan hukumannya sebagai upaya terakhir (metode tradisional sāma, dāna, bheda, dan daṇḍa).

Pada zaman dahulu orang tidak pernah meninggalkan pelaksanaan dharma walaupun mereka diancam dengan maut di ujung pedang. Kini, sekalipun tanpa tekanan paling ringan dari pihak lain, orang-orang tergelincir dan jatuh ke jurang adharma. Memang dharma telah ditafsirkan dengan berbagai cara yang keliru serta membingungkan dan mereka yang dengan patuh mengikuti dharma yang sejati, dihalang- halangi, ditertawakan, dan diperlakukan lebih buruk dari pada rumput kering. Mereka yang dengan teguh berpegang pada dharma dicap sebagai penipu, munafik, dan tolol. Para pemfitnah itu tidak tahu apakah sebenarnya dharma dan apa pula prinsip-prinsipnya. Betapa tersesatnya mereka! Mereka tidak mampu memahami makna kata itu.

Engkau dapat menilai sendiri bagaimana dharma dapat dipahami oleh orang-orang yang bahkan tidak mengetahui arti harfiah kata tersebut. Apa yang diketahui oleh orang yang buta sejak lahir mengenai matahari atau sinarnya?  Tentu saja ia dapat merasakan panasnya ketika sinar matahari menimpa tubuhnya, tetapi tidak mungkinlah ia mengetahui sifat matahari, bentuknya, wujudnya, kecemerlangannya, dan sebagainya. Demikian pula orang yang tidak mempunyai gambaran tentang dharma, yang tidak percaya kepada dharma, kebahagiaan yang diperoleh karena mematuhinya merupakan sesuatu yang tidak mungkin dipahaminya. Menguraikan dharma kepada orang semacam itu sama sia- sianya dengan meniupkan terompet ke telinga orang yang tuli total. Ia hanya dapat melihat terompet yang menempel  di bibir peniup di depannya, tetapi tidak dapat mendengar suara apa pun. Jadi, kalau menyanjung atau mengajarkan dharma   kepada   seseorang,   kita   harus   memperhatikan apakah ia memiliki keyakinan, kesungguhan, serta keinginan yang besar untuk melaksanakannya. Hanya orang-orang semacam itulah yang harus dibina dan diperbaiki. Kelak, oleh dorongan pengalaman mereka sendiri serta kegembiraan yang mereka rasakan dari pengalaman tersebut, orang yang semula mengabaikannya pun akan menanamkan benih- benih dharma dalam hati mereka.

Kini banyak orang terpelajar yang menekuni pengetahuan Veda serta Śāstra, sedangkan para cendekiawan dalam sastra kuno telah kehilangan keyakinan terhadap kitab-kitab yang mereka kuasai. Mereka menjadi takut berpegang teguh kepada dharma karena ditertawakan oleh teman-teman mereka yang bersikap sinis. Mereka menyerah kalah pada sanggahan berliku-liku yang dikemukakan oleh para kritikus dan menggadaikan pusaka mereka untuk memperoleh imbalan yang tidak berarti. Mereka menafsirkan puasa ekādashi sebagai salah satu sarana untuk memelihara kesehatan, upacara persembahan api kamper sebagai obat asma, prāṇāyāma dianggap mujarab untuk membantu pencernaan, ziarah yang dianggap sebagai widyawisata, dan amal sedekah sebagai sarana untuk mempopulerkan diri, dengan demikian mereka merendahkan dan menajiskan petunjuk dharma yang suci.

Orang-orang seperti itu memperdayakan dunia; mereka adalah manusia biadab yang tidak memahami atau memperhatikan prinsip-prinsip dharma. Mereka dapat mengambil pelajaran dengan memperhatikan sebuah sloka dari kitab Manu-dharma sebagai berikut.

Ārsham dharmopadesham cha

Vedaśāstra a-virodhinā Yastarkena anusandhātte

Sa dharmam veda, na etharah.

Dikatakan oleh Manu, ‘Siapa saja yang ingin mengetahui dharma hanya dapat memahaminya dengan mengikuti suatu sistem logika atau tarka yang tidak bertentangan dengan Veda dan Śāstra.’

Tidak ada kesimpulan apa pun yang bertentangan dengan Veda dapat disebut logis. Logika yang dangkal tidak ada manfaatnya dan Manu tidak menganjurkan hal itu pada mereka yang ingin mengkaji kitab-kitab Veda dan sebagainya. Meskipun demikian, kini masih banyak orang yang mengikuti penalaran ini, mengikuti adharma, dan menyeret orang-orang lain pula ke jalan yang salah. Itulah sebabnya sejak dahulu Veda Vyāsa telah menyatakan sebagai berikut.

Na yakshyanti, na hoshyanti, hethuvādavimohitāh.

Nīchakarma karishyanti, hethuvādavimohitāh.

Sloka itu berarti bahwa orang yang mengikuti jalan kausalisme dan logika, yang melacak hubungan sebab akibat, tidak akan mempersembahkan kurban dalam api suci, mereka akan melibatkan diri mereka sendiri dalam tindakan yang rendah dan hina. Vedavyāsa telah menyatakan hal ini dalam bagian kitab Mahābhārata yang disebut Aranyaparva, sewaktu menggambarkan keadaan yang terjadi pada zaman ini (Kali-yuga).

Ikuti Dharma, Sebagaimana Kelima Unsur Alam

Hanya dengan menempuh jalan dharma atau  kebenaran maka matahari dan bulan tidak pernah berputar menyimpang dari orbitnya masing-masing. Hanya imbauan dharmalah yang membuat segala kekuatan alam yang besar patuh kepada tugas dan tanggung jawab mereka masing- masing. Hanya dharma-lah yang membuat kelima unsur alam (eter, udara, api, air, dan tanah) mengikuti sifat dasar mereka.

Engkau harus mengambil manfaat yang sebesar- besarnya dari dharma, dan pada waktu menempuh jalan itu, usahakan agar jangan sampai mencederai dirimu sendiri atau lainnya. Engkau harus menyebarluaskan keagungan dharma dengan menjadikan dirimu sendiri sebagai contoh cemerlang orang yang telah memperoleh kedamaian dan kebahagiaan darinya. Jangan menempuh jalan sempit logika yang dangkal; jangan kaukacaukan pikiranmu dengan sinisme dan prasangka. Jangan pedulikan apa yang dikerjakan atau diyakini orang lain dan berusaha untuk memperbaiki atau meluruskan langkah mereka. Percayalah kepada dasar ātma yang merupakan kebenaran diri sejatimu. Ujilah setiap perbuatan berdasarkan hal ini, apakah perbuatan itu akan menghalangi proses pengungkapan ātma atau tidak; kemudian lakukan tugas serta ibadatmu sehari-hari setelah ditinjau dari segi keyakinan dan ujian tersebut. Dengan demikian engkau tidak akan pernah tergelincir ke dalam kesalahan. Engkau pun akan memperoleh kegembiraan batin yang besar.

Ada beberapa semboyan keduniawian misalnya “berkarya merupakan tanda bahwa engkau adalah manusia” (Udyogam  puruṣa  lakshanam),  atau  ‘menjalankan tugas​ adalah tanda seorang manusia’ (karmam puruṣalakshanam) dan sebagainya. Namun semboyan yang sejati adalah, “Menjalankan dharma merupakan tanda bahwa engkau adalah manusia.” (Dharmam puruṣa lakshanam). Setiap manusia harus menjalankan dharmakarma atau ‘tugas yang dijiwai oleh dharma’ pada waktu ia berusaha meraih keempat tujuan hidup manusia, yaitu: dharma, artha, kāmā, dan mokṣa.

Dharma Untuk Pria

Sebagaimana kesetiaan kepada suaminya (pativratā- dharma) berlaku bagi wanita, maka selibat (brahmacharya) berlaku bagi pria. Sebagaimana halnya wanita harus menganggap hanya satu pria saja sebagai panutan dan suaminya, pria pun harus setia kepada satu wanita saja sebagai pasangannya, istrinya. Wanita harus menganggap suaminya sebagai Tuhan, memujanya, serta melayani dan menuruti keinginannya untuk memenuhi tugasnya dalam kesetiaan kepada suaminya (pativrata). Pria pun harus menghormati istrinya sebagai ratu rumah tangga dan bertindak sesuai dengan keinginannya karena ia adalah Lakshmi dalam rumah tangganya (Grihalakshmi). Dengan demikian barulah ia layak memperoleh status pria.

Nama dan kemasyhuran, kehormatan dan  kenistaan, kebajikan dan kekejian, baik dan buruk, semuanya itu sebanding dan seragam bagi pria atau wanita. Tidak ada hal-hal yang hanya mengikat wanita saja, tetapi pria boleh melakukannya; baik pria maupun wanita terikat oleh aturan- aturan dharma. Keduanya akan tergelincir ke dalam adharma bila  mereka  bertingkah  laku  tanpa  mempertimbangkan tuntutan keempat pasang sifat tersebut di atas. Pria pun terikat dalam hal-hal tertentu seperti halnya wanita; pria tidak dibenarkan untuk melakukan hal-hal tertentu. Ada beberapa ikatan akad yang penting antara suami dan istri.