24. Vānaprastha, Tahap Yang Ketiga Dalam Kehidupan


     Menurut tradisi kebudayaan India*), dalam kehidupan manusia ada waktunya untuk bekerja di dunia dan membina rumah tangga. Pada masa ini ia mengalami semua kebahagiaan dan suka duka yang merupakan bagian dari tingkat kehidupan ini. Setelah mempelajari makna emosi-emosi ini, pada usia​ 45 - 50 tahun, ia siap untuk hidup menyepi di hutan. Ia rela meninggalkan rumah yang telah dibangunnya dan kampung halamannya. Bila istrinya masih hidup, ia harus meminta persetujuannya. Kemudian wanita tersebut mempunyai dua pilihan. Ia tetap tinggal dalam perlindungan putra atau orang tuanya, atau ia dapat ikut menyertai suaminya. Bila mereka pergi menyepi bersama, sejak saat itu mereka harus hidup bertarak, hubungan mereka bukan sebagai suami isteri lagi, tetapi sebagai abang dan adik. Bahkan makanan mereka pun harus diubah sama sekali. Mereka hanya boleh makan buah serta umbi-umbian dan minum susu. Makanan mereka tidak boleh dimasak hingga matang sepenuhnya, tetapi hanya sepertiga matang. Makan nasi hanya diperbolehkan sedikit saja. Bila mereka tidak dapat mengusahakan diet semacam ini di hutan, sang suami dapat mengunjungi desa yang terdekat dan mengemis makanan. Tetapi ia harus membawa pulang makanan tersebut dan memakannya di tempat tinggalnya sendiri. Ia harus membagi makanan itu dengan mereka yang tergantung padanya, karena mereka tidak dapat menyiapkan hidangan yang mereka sukai atau memperolehnya. Bila mereka tidak menyukai makanan itu, mereka harus puas dengan buah-buahan dan susu saja, karena ia tidak boleh mengubah kebiasaannya sehari-hari untuk menyenangkan orang lain. Betapa pun sulitnya hal ini, disiplin ini tidak boleh diubah atau dihentikan. Ini harus diperhatikan. Ia tidak perlu melakukan ritual pemujaan, beramal, atau melakukan kewajiban-kewajiban semacam itu. Seandainya ia memberikan makanan atau pakaian pada orang lain, hal ini tidak dapat dianggap sebagai amal. Ia juga tidak boleh menerima dana dari siapa pun juga. Ia harus mempunyai kasih murni yang sama besarnya kepada semua makhluk. Sekali setahun, pada bulan Asvija, ia harus membuang pakaiannya yang lama dan mengenakan sandang yang baru. Tetapi praktek kerohanian yang berhubungan dengan bentuk bulan (candrayanavrata) merupakan hal yang paling penting bagi mereka yang berada pada tahap vānaprastha ini. Sejak tanggal satu hingga tanggal lima belas setiap bulan ia harus mengurangi makannya, setiap hari sesuap lebih sedikit daripada hari sebelumnya. Pada lima belas hari berikutnya, setiap hari ia makan sesuai lebih banyak daripada hari sebelumnya. Pada bulan baru dan bulan purnama, ia hanya boleh makan bubur nasi. Pada musim hujan ia harus melakukan tapa, berdiri dalam hujan. Pada musim dingin ia harus mengenakan pakaian basah pada waktu melakukan tapa. Ia harus melakukan olah tapa seperti ini secara sistematis dan mandi tiga kali sehari. Ia harus mempelajari kitab-kitab Upaniṣad hingga dapat memahami dan menghayati maknanya. Bila jatuh sakit, ia harus menghentikan makannya sama sekali dan hidup hanya dari udara dan air. Kemudian ia harus berjalan terus ke arah Timur Laut hingga ajal menjelang. Sebaliknya, jika ia tidak menderita penyakit apa pun juga dan bila ia sehat walafiat, ia akan mengalami secara spontan timbulnya pengetahuan yang sejati. Dengan pengetahuan ini ia akan mencapai kebebasan (mokṣa).

     Ada orang-orang yang menyangsikan, bagaimana disiplin ini dapat menimbulkan penerangan batin? Bukankah latihan ini hanya merupakan pembatasan-pembatasan jasmani, demikian tanya mereka. Pengetahuan sejati hanya dapat dicapai dengan menyadari prinsip Ilahi. Bagaimana sesuatu dapat disebut pengetahuan bila tidak mengandung prinsip yang menjamin kesadaran diri yang sejati, demikian kilah mereka. Tetapi pandangan ini dilandaskan pada salah pengertian. Olah tapa jasmani ini menghancurkan hawa nafsu, keinginan, atau kecenderungan pikiran serta perasaan dan membina kemampuan konsentrasi. Selangkah demi selangkah, pernyataan-penyataan Upaniṣad yang direnungkannya membantu memelihara dan menguatkan pemusatan perhatiannya. Pemahaman pernyataan-pernyataan kitab suci ini saja sudah cukup untuk menimbulkan pengetahuan kebijaksanaan. Bukankah Upaniṣad merupakan hakikat pengetahuan kesunyataan? Dengan perwujudan kebijaksanaan ini sebagai kawan dan menyadarinya dalam penghayatan sendiri, apakah gunanya mencari-cari pengetahuan di tempat lain? Untuk membina pengetahuan kesunyataan secara kokoh di dalam hati, diperlukan pemusatan perhatian, dan hal ini dapat diperoleh secara mudah dengan disiplin jasmani serta tapa yang telah diuraikan di atas. Pengendalian lahir membantu pengendalian batin. Sebenarnya pengendalian lahir lebih sulit dicapai, bila dibandingkan dengan pengendalian batin! Bila engkau memutar kemudi ke suatu arah, roda mobil akan bergerak ke arah yang sama. Roda itu tidak akan bergerak ke kiri bila kemudinya kauputar ke kanan. Roda mawas diri dikendalikan oleh kemudi disiplin lahiriah!

     Ini adalah hal yang wajar. Kadang-kadang bila kemudi diputar ke suatu arah, rodanya dapat maju ke arah yang lain, tetapi hal ini hanya terjadi dalam keadaan yang tidak lazim. Bila bannya tidak diisi udara yang merupakan syarat utama, roda itu tampaknya seperti tidak mempunyai hubungan apa pun juga dengan kemudi. Meskipun demikian, roda itu tidak dapat melampaui batasan kemudi. Kemudi di tangan berhubungan dengan roda di bawah. Bila tidak ada hubungan semacam ini, perjalanan tidak akan mungkin dilakukan. Hal ini tidak terelakkan. Demikian pula bila engkau telah berjuang dengan kecenderungan-kecenderungan lahir dan dapat menaklukkannya, kecenderungan batin akan dapat dikendalikan dengan mudah. Kecenderungan lahir mempunyai nama serta rupa dan menarik karena merupakan objek pengalaman. Karena itu, kecenderungan lahir ini sulit dikuasai. Tetapi. kecenderungan batin tidak berwujud walau mungkin memiliki nama. Kecenderungan batin ini dapat dihayati sebagai kebahagiaan dan karena itu dapat dikuasai dengan lebih mudah. Kecenderungan batin ini dapat dikendalikan tanpa banyak kesukaran. Kecenderungan lahir, tingkah laku lahir, sulit dikendalikan karena hal ini melibatkan selera, bentuk, dan berat. Kecenderungan batin seperti air yang bersih, tidak mempunyai wujud, cita rasa, atau bobot. Air bersih tidak mempunyai wujud, atau rasa, atau berat. Air yang kotor berbeda dalam ketiga hal ini. Karena itu, sulitlah memurnikan air yang kotor, tetapi air yang bersih dapat diberi wujud dengan sangat mudah.

     Demikian pula (sebagai peminat kehidupan rohani) engkau prihatin untuk memurnikan kegiatan mentalmu yang menjadi kotor karena khayal dunia. Tetapi tidak ada kebutuhan untuk memurnikan kegiatan mental yang sudah bebas dari khayal semacam itu. Kelakuan yang tanpa māyā sudah seyogianya murni, tanpa cela atau keraguan sedikit pun. Jadi, mengapa harus dimurnikan lagi. Karena itu, bila engkau berusaha sedapat-dapatnya untuk mengendalikan dan menguasai khayal lahiriah, dengan mudah kecenderungan batinmu akan mengarah menuju kebahagiaan jiwa. Yoga dan tapa hanyalah nama yang berbeda untuk jalan yang sama, yaitu jalan yang menuju ke pengendalian dan penguasaan kecenderungan serta khayal lahiriah. Peraturan-peraturan yang diberikan bagi orang yang berada pada tingkat vānaprastha ini hanyalah sekadar cara agar mereka berhasil dalam yoga atau tapa tersebut. Bila dalam tahap ini manusia dapat menaklukkan segala jenis māyā, perjalanannya akan berakhir dalam kebebasan jiwa (mokṣa). Meskipun demikian, ini bukan jalan satu-satunya yang menuju kebebasan. Engkau dapat memilih jalan apa saja yang akan mendatangkan karunia Tuhan. Tetapi, siapa saja yang mengikuti peraturan cara hidup bagi tahap vānaprastha akan dapat meraih kebebasan jiwa. Ia juga akan bebas dari māyā dan mencapai pemusatan pikiran.

 

*) Menurut ajaran Veda, kehidupan manusia terbagi dalam empat tingkat :

  1. Siswa yang hidup selibat (brahmacari)
  2. Menikah dan membina rumah tangga (Gṛhastha)
  3. Bertapa di hutan (vānaprastha)
  4. Hidup menyepi dalam penyangkalan diri total dan melewatkan waktu hanya untuk bermeditasi pada Tuhan (sannyāsa)