21. Penyelidikan Batin Merupakan Tanda Viveka


     Jika saja setiap orang mengajukan pertanyaan ini, “Siapakah kami? Dari mana kami datang? Kemana kami akan pergi? Berapa lama kami akan berada di sini?”, maka kebenaran akan dapat dipahami dengan mudah. Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan tanda kemampuan pertimbangan atau viveka. Jika dengan kemampuan viveka ini, kesadaran akan kesementaraan dunia  berakar  dalam  pada  pikiran  manusia, secara otomatis segala kelekatan akan berakhir. Ini merupakan tahap ketidakterikatan atau vairāgya. Manusia akan bertanya, apa faedahnya jika aku terperangkap dalam dunia yang tidak nyata ini? (Alam dunia) ini tidak benar, menyesatkan, demikian ia berkata pada dirinya sendiri, kemudian mengalihkan usahanya ke kerajaan Tuhan, Satyaloka ‘alam kebenaran’. Itulah keputusan yang tepat, kebijaksanaan.

     Melalui viveka dan ketidakterikatanlah manusia memahami siapa ia sebenarnya. Tanpa kedua  hal  itu, pemahaman tersebut tidak mungkin. Hanya manusialah yang telah diberkati Tuhan dengan kedua kemampuan ini agar ia dapat menggunakannya untuk memperoleh kesadaran diri sejati. Karena itu, manusia sungguh amat beruntung. Tetapi sayangnya ia telah melupakan tugas yang merupakan tujuan kelahirannya di dunia. Ia mengabaikan pertanyaan, dari mana asal kedatangannya. Ia menutup mata, tidak melihat di mana ia berada sekarang. Ia telah menyimpangkan kecerdasannya untuk mencari hiburan serta kenik- matan, dan menghambur-hamburkan segenap kekuat- annya secara sia-sia. Alangkah tragisnya! Jika dalam kelahiran sebagai manusia yang sangat menguntungkan ini engkau tidak mencari ketuhanan, kapan lagi engkau dapat berhasil? Jika hari ini kausia-siakan, apakah hari esok akan menolongmu?

     Jika engkau telah memahami sifat dirimu yang sejati, yang lain semuanya akan kaupahami dengan mudah. Setelah itu engkau akan tahu dari mana engkau datang, di mana engkau berada sekarang, ke mana engkau pergi, dan berapa lama engkau akan berada di sini (di dunia).

     Keempat hal ini tergantung satu pada yang lain. Jika engkau dapat memahami satu, semua yang lain akan kauketahui, tetapi tidak ada satu pun yang dapat diabaikan. Misalnya saja, engkau menulis surat kepada seseorang. Apa pun juga isi surat itu, jika kaumasukkan dalam amplop (tanpa alamat) dan kauposkan, siapa yang akan menerimanya? Surat itu tidak dapat disampaikan kepada siapa pun. Apakah akan kembali kepadamu? Tidak juga. Akhirnya surat itu tidak sampai dan juga tidak kembali. Sebaliknya, jika pada amplop itu kautuliskan alamat orang yang dituju dan alamatmu sendiri sebagai si pengirim, engkau bahkan dapat menduga kapan surat itu akan sampai, bukan? Demikian pula, apa yang kaulakukan dengan suratmu, yakni hidupmu? Kepada siapa hidupmu kautujukan? Di mana engkau menulisnya? Siapa yang akan menerimanya dan kapan sampainya? Jika engkau mengabaikan pertanyaan-pertanyaan ini dan membiarkan waktu berlalu sementara engkau hanya mencemaskan urusan-urusanmu sendiri (yang bersifat duniawi), bagaimana engkau berharap dapat mengetahui kenyataan dirimu yang sejati?

     Pertama, engkau harus mengetahui alamat lengkapmu sendiri. Siapakah engkau? Diri sejati atau Tuhan. Dari mana engkau datang? Dari Tuhan. Kemana engkau pergi? Menuju Tuhan. Berapa lama engkau akan berada di sini? Hingga engkau manunggal dengan Tuhan. Di manakah engkau sekarang? Dalam dunia yang tidak nyata, yang senantiasa berganti. Dalam wujud apa? Sebagai yang bukan diri sejati (Anātma). Apa yang kaulakukan? Tugas-tugas yang fana. Karena itu, mulai sekarang, apa yang harus kaulakukan? Buanglah ketiga hal ini (yang bukan kenyataan sejati, bukan diri sejati, dan tugas-tugas yang fana) serta usahakan ketiga hal lainnya, yaitu: memasuki yang kekal, sibuklah mencari yang tidak berubah, dan nikmatilah kebahagiaan Tuhan. Pencarian ini harus merupakan usaha utama manusia, tujuannya yang abadi, petualangannya yang paling hebat di dunia ini. Semua tugas lain menjemukan dan tolol; mereka tampak gemerlapan sekejap, lalu lenyap. Engkau akan menyadari kebenaran ini bila engkau memalingkan diri dari hal-hal yang tidak berguna itu dan mengamati secara bijaksana.

     Ada cerita singkat yang melukiskan hal ini. Sekali peristiwa, ada seorang raja yang telah mengalihkan segala tanggung jawab pemerintahan kepada menterinya dan ia melewatkan waktunya untuk bersenang-senang. Raja itu tidak pernah khawatir mengenai apa pun, baik masalah penting maupun remeh. Ia mempunyai pengiring pribadi yang selalu mendampinginya, kira-kira seperti pengawal. Orang itu sangat bijaksana karena ia tidak pernah melakukan apa pun tanpa  mempertimbangkannya  dalam- dalam bagaimana, mengapa, dan untuk apa hal itu dilakukan. Raja menganggap segala pertimbangan ini sebagai kedunguan saja dan orang itu dijulukinya avivekaśikāmaṇi ‘mahkota kebodohan’. Ia bahkan bertindak lebih jauh dengan memerintahkan agar julukan itu diukirkan pada lempeng emas kemudian pengiring itu dipaksa memasangnya di dahinya agar terlihat oleh semua orang! Karena hal ini, banyak orang di istana yang salah duga dan mengira orang itu benar-benar bodoh, mereka tidak mengindahkan perkataannya.

     Sementara itu raja jatuh sakit dan berada di pembaringan. Utusandikirimkesegala pelosok kerajaan untuk mencari dokter yang dapat menyembuhkannya. Mereka pergi ke mana-mana mencari obat dan dokter. Ratusan orang sibuk di sekeliling pasien ningrat ini, tetapi segala usaha gagal; dari hari ke hari penyakitnya semakin parah. Raja berada di ambang maut.

     Raja itu merasa bahwa ajalnya sudah dekat, maka ia tergesa-gesa membuat wasiat dan berbicara dengan semua yang ingin ditemuinya. Selama itu ia tenggelam dalam kesedihan. Ia tidak memikirkan Tuhan atau kekuatan kebajikan. Ia sangat takut menghadapi kematian dan tidak dapat berpikir mengenai hal lain.

     Suatu kali dipanggilnya ‘Mahkota  Kebodohan’ ke samping tempat tidurnya lalu berbisik lemah di telinganya, ‘’Aku akan segera pergi, sahabatku!” Si Bodoh bertanya tanpa ragu, ‘’Pergi? Tuan demikian lemah dan tidak kuat berjalan walau hanya beberapa langkah. Saya akan memesan pelangkin, tolong tunggu dulu sampai pelangkinnya siap.” “Tidak ada pelangkin yang dapat membawaku ke sana’’, kata Raja. ‘’Kalau begitu saya akan memesan kereta,” si Bodoh memohon. 

     “Kereta pun tidak ada gunanya,” jawab Raja. “Kalau begitu, pastilah perjalanan itu hanya dapat ditempuh dengan kuda,” keluh pengiring itu, yang tampaknya ingin sekali menolong tuannya dan hendak membantu memudahkan perjalanannya. Raja berkata bahwa kuda pun tidak dapat masuk ke tempat itu. Si Bodoh kehabisan akal. Tiba-tiba ia mendapat ide, “Mari Tuan, akan saya gendong Tuan ke sana.” Raja menjadi sedih; katanya, “Sahabatku terkasih, manusia harus pergi seorang diri ke tempat itu bila saatnya tiba. Tidak ada teman yang dapat menyertainya.” Si Bodoh menjadi sangat bingung. Ia berkata kepada Raja, “Alangkah anehnya. Tuan berkata bahwa pelangkin tidak dapat mencapai tempat itu, bahwa kereta maupun kuda tidak dapat pergi ke situ, dan tidak seorang pun dapat ikut menyertai Tuan. Setidak-tidaknya dapatkah Tuan memberitahu saya di manakah tempat itu?” Raja menjawab, “Saya tidak tahu”.

     Segera si Bodoh menanggalkan lempengan emas yang berukir gelar Mahkota Kebodohan dan mengikatkannya di dahi Raja sambil berkata, “Baginda, Tuan tahu demikian banyak tentang tempat itu, bahkan mengenai apa saja yang tidak dapat pergi ke sana, tetapi Tuan tidak tahu di mana letaknya, walau Tuan akan segera pergi ke sana. Oh, Tuan lebih cocok mendapat gelar ini.” Raja merasa sangat malu, ‘’Aduh, sayang sekali,” demikian ia berkata pada dirinya sendiri. “Selama bertahun-tahun aku menyia-nyiakan hidupku untuk makan, tidur, dan mencari kesenangan. Aku tidak pernah berminat menyelidiki siapakah aku sebenarnya, dari mana aku datang, apa yang sekarang kulakukan, ke mana aku akan pergi, dan mengapa aku datang (lahir). Jangka waktu amat berharga yang dianugerahkan kepadaku sudah hampir berakhir.  Aku tidak punya waktu lagi untuk melakukan semua penyelidikan batin itu. Malaikat maut sudah mengetuk pintu, anak-anakku menangis, rakyatku sangat cemas. Dalam keadaan semacam ini, bagaimana aku dapat melakukan penyelidikan batin? Dapatkah gagasan yang tidak pernah kupikirkan sepanjang hidupku, tiba-tiba sekarang timbul pada saat akhir hayatku? Ini mustahil. Ya, aku lebih pantas mendapat gelar Mahkota Kebodohan daripada siapa pun juga karena telah kusia-siakan hidupku untuk mencari hal-hal yang tidak berguna tanpa pernah memikirkan kenyataan yang sejati.”

     Raja lalu membuat pengumuman sebagai berikut. “Penyelidikan batin merupakan cara yang terbaik untuk mengetahui kebenaran. Penyelidikan batin ini harus ditujukan untuk memisahkan yang benar dari yang tidak benar, yang kekal dari yang sementara. Orang-orang harus sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan merupakan satu-satunya kenyataan yang kekal. Setiap orang harus melakukan penyelidikan batin dan tidak hanya memahami Tuhan secara intelektual, tetapi juga harus memperoleh rahmat Tuhan dengan menempuh hidup yang suci.” Setelah mengumumkan amanat ini kepada rakyatnya, raja itu menghembuskan napas terakhir.

     Perhatikan betapa raja tersebut dibutakan oleh kekuasaan dan kesenangan materiel sehingga ia menyalahgunakan tenaga dan kekuatannya untuk (kesenangan) duniawi, menjauh dari Tuhan, dan mengakhiri hidupnya dalam penderitaan yang tidak terhingga.