20. Hanya Manusialah yang Dapat Mencapai Kesadaran Tuhan


     Ada banyak yang memperdebatkan bahwa  harga diri mendatangkan kedamaian. Tetapi, mereka mengacaukan hormat pada diri sejati dengan hormat yang diberikan kepada wahana yang lebih rendah tingkatnya, pada tubuh, atau pada kedudukan. Itu adalah hormat pada  pribadinya,  bukan  hormat  pada diri sejati atau ātma. Hormat yang diberikan kepada Tuhan di dalam diri manusia, pada ātma, itulah hormat pada diri yang sejati, bukan lainnya. Ātma adalah kebenaran; ātma adalah kasih murni; ātma adalah ‘Tuhan; ātma adalah pengabdian tanpa pamrih. Hormat kepada semua ini adalah harga diri atau hormat pada diri yang sejati, dan hanya hormat semacam inilah yang dapat mendatangkan kedamaian, bukan hormat jenis lainnya. Selalu mengingat Tuhan yang penuh belas kasihan, perwujudan kebenaran, Tuhan yang sifat-Nya adalah kasih, itulah harga diri yang sesungguhnya. Untuk memperoleh ini, engkau harus mengesampingkan kehormatan yang diberikan oleh dunia pada kekayaan dan kedudukan, sebagai hal yang tidak berharga; engkau harus mengabaikan pujian dan celaan, cemoohan dan sanjungan yang menjilat. Engkau harus melakukan latihan rohani dengan kepercayaan penuh pada kebenaran dan pada Tuhan. Itulah kedamaian sejati, kedamaian murni, dan kedamaian yang abadi.

     Tiada kedudukan yang lebih tinggi daripada Tuhan, tiada pengejawantahan-Nya yang lebih tinggi daripada kebenaran, tiada keindahan-Nya yang melebihi kedamaian, tidak ada, bahkan di dalam empat belas loka dan dalam seluruh ciptaan, baik pada masa lalu, sekarang, dan selama-lamanya. Ini adalah kenyataan yang sebenarnya dan Aku mengulanginya. Kebenaran yang terselubung dalam kegelapan maya akan tetap bersinar cemerlang. Betapa pun gigihnya engkau mengurungnya dalam kekelaman, seri cahayanya tidak dapat dipadamkan. Kebenaran tidak pernah sirna. Ketidakbenaran tidak akan dapat bertahan hidup. Kalian semua harus mempunyai keyakinan yang teguh mengenai hal ini.

     Dalam hal apa manusia dapat berkata, ini permanen? Ya, bagaimana ia dapat mempercayai bahwa ada sesuatu yang tidak berubah? Sejak lahir ia melihat segala sesuatu di sekitarnya berubah; ia sendiri mengalami berbagai perubahan (lahir batin), suasana tempat ia tumbuh dan dibesarkan terus menerus mengalami perubahan. Bila ia tumbuh menjadi dewasa dalam lingkungan yang tidak langgeng, bagaimana manusia dapat percaya bahwa ada sesuatu yang kekal? Setelah mengamati semua perubahan ini, kita dapat menyatakan tanpa khawatir disangkal bahwa dunia ini tidak nyata. Karena jika dunia ini nyata bagaimana ia dapat mengalami perubahan? Segala sesuatu yang mengalami perubahan itu tidak nyata, hanya kenyataan sejatilah yang tidak berubah. Tuhan sajalah yang stabil dan kekal. Hanya Tuhanlah yang nyata, Tuhan sajalah abadi. Diri sejati adalah perwujudan Tuhan, ia adalah kekuatan Tuhan.

     Hanya manusialah yang memiliki kemampuan dan hak untuk mewujudkan kekuasaan itu, untuk memperoleh kekuasaan Tuhan. Tragisnya, setelah mencapai kelahiran sebagai manusia pun sebagian besar orang tidak menyadari kenyataan diri yang abadi itu. Mereka bahkan tidak berusaha memahaminya. Jika kesempatan ini disia-siakan, kapan mereka dapat mengusahakannya lagi?

     Ah, mereka bahkan tidak mengindahkan tujuan kedatangannya di dunia! Apakah mereka lahir hanya untuk hidup seperti margasatwa, atau seperti burung, atau serangga ... hanya makan, berkelana, tidur, dan mencari kenikmatan? Jika jawabannya tidak, lalu untuk apa? Dapatkah kita berkata bahwa manusia hanyalah salah satu hewan, seperti binatang lainnya? Manusia mempunyai tiga kemampuan yang tidak dimiliki binatang, yaitu: daya penalaran, kemampuan meninggalkan (segala keinginan dan ketagihan); serta kemampuan menentukan yang benar dan yang salah. Ini adalah kemampuan khusus dalam diri manusia, tetapi apa gunanya semua itu jika tidak diterapkan dalam  perbuatan  yang  nyata?  Jika  kemampuan itu digunakan maka sebutan manusia tepat baginya, jika tidak, ia harus disebut binatang.

     Ketiga kemampuan yang telah disebutkan tadi harus diterapkan tidak hanya dalam masalah duniawi, tetapi juga dalam mencari kebenaran terakhir. Sesungguhnya jika viveka, penyangkalan diri, dan penyelidikan batin diterapkan pada waktu mengarungi suka duka kehidupan, pada suatu saat akan timbullah keyakinan bahwa semua ini tidak nyata, bahwa semua ini tidak mempunyai landasan kebenaran. Bila kesadaran ini timbul, pastilah manusia menempuh jalan spiritual dan melakukan latihan rohani. Kemudian ia akan melakukan penyelidikan batin yang membawanya menuju kebenaran. Inilah tugas yang harus dilaksanakan manusia.