SARI YANG MENANGIS


 

Dapatkah sari menangis? Mungkinkah  sari,  benda  mati yang terbuat dari kapas, dapat menangis dan mengucurkan air mata, seperti air mata yang mengalir dari mata kita? Ya. Memang demikian. Bersama orang-orang lain di Dharmakshetra di Bombay (sekarang nama kota itu telah diganti menjadi Mumbai), saya menyaksikannya. Di antara orang banyak, sayalah yang pertama melihatnya. Keempat helai sari yang ditolak berada dalam sebuah kotak di atas meja.  Saya  melongok  ke  bawah  dan melihat air merembes dari kotak, lalu saya mengatakannya agar Baba memperhatikan. Beliau membuka tutupnya dan kami semua berkerumun untuk melihat. Air keluar dari tepi sari. Saya berkata, “Swami, di sini tidak ada air. Kita telah berdiri di sekitar meja ini hampir sejam. Meja ini benar-benar kering.”

Baba menjawab, “Mereka menangis karena Aku menolak mereka.” Saya berkata, “Swami! Menangis! Apakah Swami ber- maksud mengatakan bahwa kain yang tidak bernyawa mempu- nyai perasaan?”

Dari sini, biarlah Baba yang bercerita. Kisah ini termasuk sebagai bagian dari wacana Baba di Prashānti Nilayam dan dicetak dalam Sathya Sai Speak VII sebagai berikut.

“Tiada apa pun pernah terjadi tanpa alasan yang layak, biarpun tampaknya kebetulan atau misterius. Akarnya ada jauh di dalam dan tidak terlihat. Aku memberitahukan hal yang sama kepada Hislop di Bombay, di Dharmakshetra.”

“Jembatan menuju Langka sedang dibangun melintasi selat agar Sri Rāma dan pasukan Beliau dapat berbaris menyeberang ke kerajaan penguasa raksasa, Rāvana, tempat Sītā ditawan. Pasukan kera yang gagah berani mencabuti gunung dan melompat jauh di angkasa sambil memanggul puncak-puncak gunung itu di bahu mereka, agar kemudian dapat mereka lemparkan ke laut untuk dijadikan jalan bagi Rāma! Para kera itu membentuk deretan dari Himalaya turun hingga ke ujung paling Selatan, tempat jembatan itu dibangun dengan cepat. Ketika pembangunan jembatan telah selesai, Rāma memberi perintah yang disampaikan dengan cepat di sepanjang barisan itu bahwa bukit-bukit sudah tidak diperlukan lagi, dan setiap kera yang memanggul bukit harus meletakkannya ke tanah di mana pun mereka berdiri.”

“Meskipun demikian, sebuah bukit tidak duduk diam. Bukit itu mulai menangis meratapi nasibnya! ‘Mengapa saya dipindahkan dari tempat saya semula, dan mengapa sekarang saya ditolak? Aduh! Tadinya saya senang sekali dan merasa bangga karena saya ditakdirkan melayani keperluan Sang Avatar. Saya sangat gembira karena pasukan Rāma dan Rāma sendiri akan berjalan di atas saya. Sekarang saya tidak di sana atau pun di tempat saya yang semula!’ Air matanya mengucur deras. Berita itu sampai ke Rāma, dan belas kasihan Beliau amat besar. Rāma mengirim pesan bahwa dalam Avatara berikutnya, ketika Beliau akan datang lagi dalam wujud manusia untuk menunaikan misi- Nya, Beliau pasti akan memberkati bukit yang sedih itu. Bukit itu adalah Puncak Govardhana yang diangkat Rāma di atas jari- Nya (sebagai Krishna kecil), dan diunjukkan tinggi-tinggi selama tujuh hari penuh untuk melindungi para gembala Gokul dari hujan deras, hujan yang dengan lancangnya dicurahkan oleh Dewa Indra kepada mereka.”

“Kututurkan cerita ini kepada Hislop ketika ia bertanya kepada-Ku apakah benda-benda tidak bernyawa juga mem- punyai emosi dan perasaan kecewa serta putus asa. Hal itu terjadi di Dharmakshetra. Aku minta dibawakan kira-kira seratus sari agar dapat Kupilih beberapa untuk dibagikan kepada para pekerja wanita di Anantapur yang membantu membangun Sathya Sai College  di  sana.  Aku  memilih  sembilan  puluh enam helai dan menyuruh mereka mengembalikan yang empat ke toko. Kusisihkan keempat sari itu, lalu yang 96 diletakkan di kamar-Ku. Kemudian, ketika Aku melewati meja tempat keempat sari yang dikesampingkan itu diletakkan, (Hislop sedang berdiri di samping meja), diketahuilah bahwa kotak karton yang berisi keempat sari itu meneteskan air mata! Sari-sari itu menangis karena mereka tidak mendapat penghargaan dari-Ku dan dinyatakan tidak layak. Ya! Mereka telah menangis! Mungkin engkau bertanya apakah ini mungkin. Kujawab, tiada apa pun di dunia ini yang tidak mempunyai hati, yang tidak dapat merasakan suka atau duka! Hanya saja engkau harus mempunyai mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan hati yang tanggap.”

Di Dharmakshetra, Bombay, Baba menuturkan kepada kami kisah puncak gunung pada zaman Rāma, kira-kira sepuluh ribu tahun yang lalu, dan tentang Puncak Govardhana pada zaman Krishna, kira-kira lima ribu tahun yang lalu. Setelah Beliau selesai bercerita, saya berseru, “Swami! Drama yang sama yang terjadi pada zaman Rāma, kemudian terjadi lagi pada zaman Krishna, hari ini dipentaskan lagi di ruangan ini!”

Baba menjawab, “Ya, dan dengan Rāma yang sama, dan Krishna yang sama ada di sini lagi hari ini, di ruangan ini!”

Seperti halnya dengan puncak gunung yang ditolak, sari- sari yang ditolak ini pun mendapat belas kasihan Sang Avatar, dan mereka dihadiahkan kepada para wanita dalam rombongan Baba agar bisa mereka kenakan. Sesungguhnya istri saya menerima salah satu sari tersebut, dan sari itu menerima banyak penghargaan darinya!

Bayangan pagi hari bergerak di hadapanmu. Betapapun ce- patnya engkau berlari, engkau tidak dapat menangkapnya, baik di dataran maupun di gunung. Atau, bayangan itu mungkin mengejarmu dan engkau tidak dapat melepaskan diri darinya. Inilah sifat keinginan. Mungkin engkau mengejarnya, atau keinginan itu mengejarmu, tetapi engkau tidak dapat mengatasinya atau menangkapnya. Keinginan adalah bayangan yang tidak nyata. Palingkan keinginanmu ke dalam batin, ke arah harta spiritual, maka hasrat itu akan memberikan hasil yang besar.