PENYELIDIKAN BATIN


Sebagian besar orang tidak terbiasa melakukan penyelidikan batin. Dibutuhkan perubahan dari kebiasaan kita sekarang yang demikian sibuk dengan keduniawian sehingga tidak pernah menyediakan waktu untuk bertanya kepada diri sendiri mengenai diri kita sendiri. Menurut kamus, menyelidiki berarti mencari tahu, mempelajari dengan mengajukan pertanyaan, dengan menelaah. Arti diri adalah orang, makhluk, atau benda berkenaan dengan individualitasnya, sifatnya, wataknya, dan sebagainya. Definisi ini akan berguna agar kita dapat memulai (pembahasan ini).

Sebagai contoh: kita pergi ke rumah sakit,  memeriksakan diri, dan melaporkan hasilnya kepada keluarga kita. “Dokter memeriksa saya dan mengatakan bahwa saya kuat dan sehat.” Beberapa waktu kemudian kita sakit dan mengeluh kepada keluarga kita, “Seluruh tubuh saya sakit semua.” Jika kemudian kita menghentikan sejenak pekerjaan  rutin  kita  dan  bertanya  di dalam hati, “Mengapa saya melihat diri saya dengan dua cara yang berbeda? Ketika saya pergi ke dokter, saya menyebut tubuh saya sebagai diri saya sendiri, dan sekarang saya menunjuk tubuh sebagai milik saya, sebagai tubuh saya. Apakah ini hanya variasi kecil dalam cara bicara saya, ataukah sesuatu yang penting yang harus saya perhatikan?” Pada saat itu, ketika kita bertanya-tanya tentang diri kita sendiri, maka kita melakukan penyelidikan batin. Jika minat kita tersentuh cukup dalam, akan timbul berbagai pertanyaan tambahan seperti, “Sesungguhnya dapatkah saya terpisah dari tubuh saya dalam pengertian bahwa walaupun tubuh ini mungkin musnah, diri saya tetap tidak binasa? Jika tubuh ini bukan saya, bagaimana ia bisa  menjadi  milik  saya? Jika saya mempunyai kuasa dalam  hal ini,  sudah pasti saya akan meminta tubuh yang lebih baik dan indah! Jika benar tubuh ini milik saya, dan tidak hanya dianggap sebagai milik saya, lalu apa tanggung jawab saya terhadap tubuh ini? Lebih jauh, siapakah kita ini, saya ini, yang pada saat yang sama menyatakan diri sebagai badan dan juga sebagai pemilik badan?”

Dengan cara ini, penyelidikan batin dapat dimulai, atau suatu peristiwa mungkin membangkitkan minat untuk mulai melakukan penyelidikan batin. Dalam berbagai kesempatan Sri Sathya Sai Baba menyatakan dengan tegas bahwa penyelidikan batin itu perlu jika kita memilih untuk bebas dari ilusi serta delusi dan kesengsaraan yang menyertainya. Baba berkata, “Kita bukan badan, pikiran, intelek, dan indra. Semua itu kita gunakan. Pada saat kita memahami perbedaan ini dan menempuh hidup kita sesuai dengan pengertian tersebut, sejak saat itu kita mengetahui kenyataan kita yang sejati dan tujuan kita.”

Sekarang banyak di antara kita yang sangat berminat pada dunia. Karena minat kita kepada dunia dan karena keinginan kita pada objek-objek duniawi, maka kita terikat pada dunia dan sangat tertarik pada dunia. Namun, kitalah yang tertarik pada objek-objek dan pengalaman duniawi. Bukan dunialah yang menangkap dan menahan kita sebagai tawanannya. Baba memberi tahu kita bahwa di antara keduanya, dunia dan kita, semua itu tergantung pada diri kita sendiri, dan dari keduanya, kita sendirilah yang sesungguhnya mahakuasa dan benar-benar mengagumkan. Penyelidikan batin adalah suatu cara untuk memahami kebenaran yang nyata ini dan segera bertindak sesuai dengan pemahaman itu.

Hal yang dapat kita amati berada baik di dunia di luar diri kita, atau pun di dunia batin, maka kita merasa, “Saya memperhatikan semua ini.” Penyelidikan batin berarti mencari sang aku ini yang merasa bahwa dialah yang mengamati semua ini. Penyelidikan batin adalah menelaah, siapakah aku ini sesungguhnya? Siapakah sesungguhnya  dan  sebenarnya  aku  ini?  Apakah  pengamat subjektif yang tidak terlihat ini mempunyai dasar atau sumber? Tentang hal ini, orang bijaksana Rāmana Maharshi mengamati, “Pikiran mengenai aku bukanlah individu itu sendiri secara total karena pikiran ini lenyap setiap hari dalam tidur yang nyenyak, tetapi tidak ada jeda dalam kesinambungan keberadaan kita.”

Sebelum kita mengetahui jawaban penyelidikan semacam ini, dan sebelum kita menyadari serta mempunyai pendirian yang mantap tentang kebenaran kenyataan kita yang sejati, maka ada kemungkinan yang mengerikan bahwa keputusan dan perbuatan kita bisa sama sekali salah. Karena inilah, maka Baba berkata, “Selama manusia belum mengetahui siapakah dirinya yang sebenarnya, ia tidak dapat menghindari kesedihan ini. Selama seseorang tidak menyadari kehadiran Tuhan di dalam segala sesuatu, ia tidak dapat menghindari kesedihan. Selama manusia tidak mengerti bahwa kelahiran dan kematian itu hanya untuk satu tujuan yaitu untuk memahami sifat atma atau ‘diri sejati’, maka ia tidak dapat menghindari kesedihan.”

Pertanyaan formal, “Siapakah aku?”, walaupun menolong dalam usaha penyelidikan batin ini, tidak selalu perlu. Manusia bisa langsung dan segera menyadari dirinya yang sejati. Ini ditunjukkan oleh kisah yang terjadi berabad-abad yang lampau. Raja Janaka bertanya kepada Resi Ashtāvakra—seorang bijak yang telah mencapai kesadaran diri sejati—bagaimana caranya supaya ia bisa bebas (dari lingkaran kelahiran dan kematian). Resi Ashtāvakra menjawab, “Oh Raja, ketahuilah diri sejati sebagai kesadaran murni, saksi yang tidak terpengaruh, yang menyaksikan dunia yang dapat dipersepsi dengan panca indra ini, maka Anda akan bebas.”

Jika kita bermaksud mengikuti nasihat Resi Ashtāvakra yang diberikan kepada Raja Janaka, langkah pertama, yaitu mengenali diri kita yang sejati sebagai kesadaran murni, tidak sulit. Kesulitannya yaitu untuk terus menetap dalam kesadaran murni itu. Kita ingin menyadari kebenaran mutlak, tetapi sebagai orang dewasa yang (pribadinya terbentuk secara) kompleks, kita berbeda jauh dari keadaan kita ketika masih kanak-kanak. Berbagai perubahan besar telah terjadi dalam hidup kita. Namun, walaupun selama tahun-tahun yang berlalu itu kita telah mengalami berbagai perubahan yang besar, kesadaran kita tidak berubah sedikit pun.

Rasakan dan hayati kesadaran Anda. Akan Anda sadari bahwa pada tahap kesadaran yang sangat mendalam (yang dimaksud di sini adalah kesadaran aku sebagai eksistensi murni, tidak berkaitan dengan badan, perasaan, dan pikiran, keterangan penyunting), maka apa pun yang telah terjadi, baik di luar tubuh kita atau di dalam tubuh kita, tidak ada pengaruhnya sedikit pun pada kesadaran kita (sebagai eksistensi yang murni). Kesadaran aku ini tetap tidak tersentuh dan tidak berubah.

Nasihat Resi Ashtāvakra bagian ini mudah dilaksanakan oleh setiap orang. Kesulitannya timbul dalam pikiran yang tidak akan puas. Tahap kesadaran yang mendalam ini dengan cepatnya ditinggalkan karena manusia sangat tertarik pada dunia yang kasat mata.

Tentang hal ini, Baba memberitahu kita, agar kesadaran terus menetap dalam keadaan tidak membeda-bedakan identitas dan objek (mantap dalam penghayatan kemenunggalan, keterangan penyunting), maka pikiran harus mengorbankan diri dalam kepasrahan mutlak pada penghayatan kemenunggalan yang mendalam ini, kepada Tuhan. Harus ada saat yang menentukan itu, yaitu kepasrahan mutlak kepada Tuhan. Saat kepasrahan mutlak yang penting itu, dan apa yang terjadi berikutnya, agaknya adalah masalah yang sangat pribadi.

Sebagai contoh, Baba menceritakan kisah Raja Janaka bahwa segera setelah memperoleh kesadaran diri sejati sepenuhnya dan mantap, ia kembali ke singgasananya dan terus memerintah kerajaannya. Sebaliknya, Sri Rāmana Maharshi—orang suci agung  yang  telah  mencapai  kesadaran  diri  sejati, setelah mengalami saat-saat kepasrahan pada  kebenaran  (spiritual) yang menentukan itu, yang timbul dalam sekejap mata ketika ia masih seorang anak laki-laki yang aktif, lalu menyepi ke dalam ruang tertutup di Pura Tiruvanamalai. Beliau tetap tinggal di sana, tenggelam dalam penghayatan diri sejati selama berbulan- bulan, sebelum beliau dapat berbicara kepada orang lain.

Subjektivitas yang asasi adalah diri sejati kita, dan segala yang bukan diri sejati bersifat objektif. Status bukan saya, yaitu status objek, harus kita berikan kepada segala sesuatu dalam kehidupan ini yang bisa kita katakan, “Saya menyadari (benda/objek) ini, saya merasakannya, saya memikirkannya, saya menyaksikannya, tetapi (benda/objek) ini bukan saya, karena bila (benda/objek) ini telah berubah atau lenyap, saya tetap ada, dan saya tahu apa yang menggantikannya (atau lebih tepat, apa yang tinggal, keterangan penyunting) bila segala objek itu lenyap.” (Bila khayal maya atau kesadaran dualitas—yang menyebabkan manusia mempersepsi objek sebagai eksistensi yang terpisah—lenyap, maka yang tinggal adalah kenyataan diri sejati atau kesadaran semesta, keterangan penyunting).

Dalam penyelidikan batin, kita tidak berhenti untuk menye- lidiki sesuatu yang kita ketahui sebagai hal yang bukan diri sejati. Kita hanya mengatakan, “Bukan ini. Bukan ini,” dan terus maju. Dikatakan bahwa segala sesuatu yang berubah dan menjadi berbeda dari sebelumnya, tidak bisa disebut sebagai diri sejati kita seperti yang dikatakan oleh kaum bijak. Karena itu, kita tidak bisa menerima apa pun yang bisa berubah sebagai diri sejati kita yang abadi.

Beberapa ahli filsafat agung beranggapan bahwa aku, sang saksi pun, selalu berubah. Si pengamat dan yang diamati selalu berubah setiap saat. Karena itu, permanen dan abadi adalah kata- kata tanpa arti. Tidak diragukan, sejauh itu mereka benar. Tetapi Baba, dan juga para resi zaman dahulu mengatakan bahwa keadaan menyaksikan  tidak dikhususkan   menjadi seorang saksi, dan bahwa jika perhatian sepenuhnya dipusatkan kepada (kesadaran) aku, maka (kesadaran) aku itu benar-benar akan berubah, kehilangan nama, kekuatan, serta wujud, dan akan menunggal dengan yang mutlak, yang tidak dapat dilukiskan dalam istilah kategori jenis apa pun, termasuk yang abadi dan sementara. Baba mengatakan bahwa yang mutlak yang tidak dapat dikategorikan dengan kategori apa pun adalah kenyataan Beliau yang sejati, dan juga merupakan kenyataan diri kita, jika kita memilih untuk menyadarinya.

Jika  penyelidikan  batin  sudah  berlangsung,  kita  dapati  diri kita menjadi lebih waspada dan tidak gegabah bertindak tanpa betul-betul memahami apa yang kita lakukan. Bukannya kita menentukan sasaran, tetapi secara wajar kita tidak tertidur lelap (dalam ketidaktahuan) seperti pada masa lalu. Baba telah berkata bahwa terbangun (atau menyadari diri sejati) sepanjang hari adalah meditasi yang sejati. Cepat atau lambat, sementara kita menjadi waspada, pertanyaan yang sangat penting tentang siapa dan apakah aku, entah diungkapkan dalam kata-kata itu atau tidak, akan timbul dalam diri kita dengan sangat intens. Inilah awal yang penting; kesadaran (aku) berkembang menjadi penyelidikan batin yang mendalam.

Pertanyaan, “Siapakah aku?”, dikenal secara luas dan banyak digunakan dalam percakapan. Ini telah menjadi ungkapan yang digunakan di seluruh dunia karena merupakan ajaran utama Sri Rāmana Maharshi, orang suci agung yang tinggal di Bukit Arunachala di Tiruvanamalai, India Selatan. Namun, ini juga suatu pertanyaan yang berhubungan dengan masalah yang selalu diajukan oleh Bhagawan Sri Sathya Sai Baba dan juga oleh kaum bijak waskita agung serta para resi masa lalu yang dapat kita baca dan pelajari. “Siapakah aku?”, mungkin merupakan pertanyaan paling penting yang dapat timbul dalam hidup kita masing-masing. Pertanyaannya tidak perlu diucapkan dalam kata-kata itu. Namun, mengetahui pertanyaan tersebut dan mengulang-ulangnya adalah satu hal. Merenungkan pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh dalam kesadaran kita adalah hal yang lain lagi.

Bila kesadaran diri kita cukup mendalam sehingga benar-benar timbul perasaan yang intens, “Siapakah aku?” kemudian bagaimana cara (menyelidiki)nya, bagaimana melakukannya, apa berikutnya? Bila mendiskusikan masalah spiritual dengan orang-orang yang berminat, akan didapati bahwa sebagaian besar bakta mengajukan pertanyaan, “Siapakah aku,” dan berusaha mencari jawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu dianggap sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan yang paling dalam mengenai diri kita sendiri dari diri kita sendiri. Untuk alasan ini, bakta sering menyatakan kesangsian mereka, yaitu pertanyaan itu telah diajukan di dalam batin dengan hati yang sangat tulus, tetapi tetap tidak ada jawaban yang pasti, dan diri sejati tetap belum disadari.

Pemecahanteka-tekiinicukupsederhana, tetapikelihatannya sulit. Orang membaca berkali-kali tentang,“Siapakah aku?”, tetapi tidak memperhatikan penjelasan pertanyaan itu. Kenyataannya adalah, tidak ada dualitas antara penanya dan jawabnya. Jawabnya adalah si penanya. Itu berarti tidak ada jawaban dalam pengertian lazim mengenai dikotomi pertanyaan dan jawaban. Sesungguhnya, pertanyaan, “Siapakah aku?”,  hanyalah  suatu cara yang telah kita pilih dan kita gunakan untuk memusatkan seluruh perhatian kita pada penghayatan aku. Segala gagasan lain dihilangkan dari kesadaran, dan seluruh minat serta konsentrasi dipusatkan pada  penghayatan  aku.  Penyelidikan ini dimaksudkan untuk membebaskan kesadaran  kita  dari  segala keterikatan, minat, konsep, atau kegiatan lain selain dari memusatkan perhatian pada penghayatan aku. Tujuannya yaitu langsung  membebaskan  kesadaran  dari  segala  hambatan, agar kesadaran langsung bebas dari segala pembatasan, dan menjadi peka serta mudah menghayati kenyataan diri sejati.

Jika demikian halnya, lalu mengapa memusatkan perhatian pada kesadaran aku yang sedang berfungsi, yang tentunya adalah kesadaran aku yang empiris dan berkaitan dengan ego atau rasa keakuan kita? (Kesadaran aku yang berkaitan dengan badan, emosi, pikiran, dan budi, dan biasa disebut aku kecil. Keterangan penyunting). Sekali lagi, jawabnya sangat sederhana. Kita sedang berusaha keras mengejar jejak aku yang mutlak, sesuatu atau entah apa yang tidak terbatas,  yang tidak dapat kita proyeksikan. Dan (kesadaran) aku yang sekarang berfungsi adalah petunjuk terbaik yang kita miliki. Kita memusatkan perhatian pada petunjuk ini. Mari kita lihat, ke mana aku (kecil) ini akan membawa kita!

Yang menyatakan diri sebagai aku ini, ketika diperiksa dan dicermati, akan menyerah pada kenyataan yang tidak terlihat yang merupakan dasarnya. Akan tetapi, kini kata-kata tidak berarti lagi, usaha apa pun untuk melukiskannya akan salah. Dari titik ini, setiap orang harus melakukannya sendiri, tanpa gagasan dan kata-kata.

Dalam ajaran Baba yang suci, berkali-kali Beliau memberitahu kita bahwa praktek penyelidikan batin ini penting sekali dalam kehidupan spiritual. Penyelidikan batin dapat diibaratkan dengan kilasan cahaya kesadaran total. Latihan ini dapat dilakukan kapan saja. Orang-orang melakukan penyelidikan batin agar dapat menyadari kenyataan diri sejati, sekarang dan selama-lamanya, dan dengan demikian bebas dari segala keraguan.

Tidak ada ahli filsafat, orang bijak, atau penulis yang dapat menyatakan diri dengan bangga sebagai penemu penyelidikan batin. Sebagaimana belatung dan kuman timbul secara spontan dari daging yang membusuk, maka penyelidikan batin timbul secara spontan ketika manusia menanggung sakitnya kesedihan dan penderitaan.

Cara melakukan penyelidikan batin ini beraneka ragam, tergantung pada orang yang merasakan timbulnya dorongan untuk melakukan hal itu. Kitab dan bab tentang penyelidikan batin lebih mudah ditemukan di negeri-negeri Timur daripada di Barat. Akan tetapi, dorongan batin untuk mengetahui diri sejati kita, terlepas dari segala selubung yang dapat dibuang, terasa kuat dan hidup dalam hati setiap orang yang ingin tahu di seluruh dunia.

Ingatlah bahwa dengan setiap langkah engkau menjadi se- makin dekat dengan Tuhan, dan Tuhan pun, bila engkau maju selangkah ke arah-Nya, akan mengambil sepuluh langkah ke arahmu. Dalam peziarahan ini tidak ada tempat untuk berhenti. Ini adalah perjalanan yang berlangsung terus menerus, melalui siang dan malam, melalui lembah dan padang pasir, melalui air mata dan senyum, melalui kematian dan kelahiran, melalui makam dan rahim. Ketika jalan berakhir dan tujuannya tercapai, peziarah akan mendapati bahwa perjalanan yang telah dilakukannya hanyalah perjalanan dari dirinya sendiri menuju dirinya sendiri, bahwa jalannya panjang dan ia sendirian, tetapi Tuhan yang membimbingnya, sepanjang waktu berada di dalam dirinya, di sekelilingnya, bersamanya, dan di sampingnya!