LINGKARAN CAHAYA GANDA


 

Baba sedang berada di Dharmakshetra, Bombay (sekarang disebut Mumbai). Tempat itu dibangun di atas sebuah bukit kecil. Di kompleks itu terdapat sebuah gedung  berukuran  sedang  yang digunakan sebagai tempat tinggal beberapa bakta dalam rombongan Baba bila Beliau berada di sana. Selain kamar-kamar untuk tidur, ada sebuah dapur dan sebuah ruang makan. Bagian depan bangunan tersebut  mempunyai  dua  deretan  kamar  tidur di samping kiri dan kanan yang dipisahkan dengan plaza      di tengahnya. Wanita dalam kelompok tersebut menggunakan satu deretan kamar, dan biasanya hanya ada tirai di depan pintu, kecuali pada waktu jam tidur. Situasi kaum pria pun sama di deretan kamar seberangnya.

Sudah diketahui benar, Baba hampir selalu berada dalam suasana hati yang riang, dan Beliau dengan bebas masuk ke kedua bagian gedung itu untuk berbicara dan bergurau dengan bakta Beliau. Tempat tinggal pribadi Beliau terletak di gedung utama, beberapa puluh meter dari situ.

Pada suatu hari setelah makan siang, Beliau datang ke sebuah kamar di bagian pria. Saya baru saja datang dari Amerika kira-kira tiga hari sebelumnya, dan mendapat pengalaman yang menarik ketika makan siang. Saya selalu bermaksud mempersembahkan hidangan yang akan saya makan kepada Baba sebelum suapan yang pertama. Walaupun sudah bertekad demikian, saya selalu lupa, dan saya sudah telanjur memakan sebagian hidangan sebelum teringat bahwa saya harus mempersembahkan makan- an itu kepada Tuhan. Reaksi saya selalu dapat diperkirakan, saya marah sekali kepada diri sendiri.

Pada acara makan siang itu, Baba duduk di meja pribadi Beliau sebagaimana biasanya, dan kami semua duduk berderet- deret di lantai. Ketika suapan pertama sedang dalam perjalanan ke mulut, tiba-tiba saya teringat pada tugas saya. Saya sisihkan makanan itu sejenak, lalu diam-diam saya persembahkan kepada Tuhan dan berpikir, “Terima kasih Tuhan! Akhirnya saya ingat!” Kemudian saya membuka mata dan melihat Baba sedang menatap langsung ke arah saya sambil tertawa. Apakah kita berteriak atau berpikir, sama saja bagi Baba. Beliau mendengar atau mengetahui pikiran sama jelasnya seperti saya mendengar perkataan orang yang duduk di samping saya, atau lebih baik dikatakan, Beliau mengetahui segala sesuatu, karena Beliau melampaui ruang dan waktu.

Setelah makan siang, Baba pergi ke sebuah kamar di bagian pria. Saya melihatnya dan mengikuti Beliau, demikian pula para lelaki yang lain. Baba mengambil kursi malas di hadapan dinding sebelah dalam ruangan, dan kami semua duduk (di lantai) di hadapan Beliau, kemudian percakapan pun dimulai. Dalam kesempatan pertama, saya mulai dengan kebiasaan yang patut disesalkan, yaitu menanyai Baba. Saya menganggap Beliau sebagai perwujudan  Tuhan yang  langsung.  Karena  itu, saya pusatkan perhatian saya sepenuhnya kepada Beliau, terutama bila sedang berbicara dengan Beliau. Tanya jawab pun berlangsung di antara kami selama beberapa waktu, dan perhatian saya terpusat kepada Baba.

Saya segera melihat sesuatu yang bagi saya sangat luar biasa. Cahaya keemasan mengelilingi kepala Beliau. Sinar itu tidak seperti lingkaran cahaya di sekeliling kepala seperti yang dilukiskan seniman. Cahaya keemasan itu kuat, seolah-olah kita melihat lembaran emas murni yang sedang disinari dengan suatu cara, dan cahaya itu memancar dari kulit kepala Beliau, melalui rambut, sampai kira-kira 30 cm dari kepala Beliau. Tepi cahaya itu tidak rata, agak tidak teratur. Bila Beliau menggerakkan kepala, lingkaran cahaya emas itu bergerak bersama kepala, dan gerakan alamiah ini memperlihatkan situasi luar biasa yang kedua. Di dinding, di belakang kepala Baba, ada piringan emas yang garis tengahnya tampak lebih kecil daripada lingkaran cahaya. Lingkaran emas ini cukup rata tepinya, tetapi yang benar-benar menakjubkan yaitu lingkaran tersebut tetap tidak bergerak. Bila Baba menggerakkan kepala, piringan emas kedua yang bundar sempurna itu tetap berada di tembok tanpa ikut bergerak. Tentu saja pandangan saya melekat sepenuhnya kepada Swamiji. Pada waktu itu saya terus mengajukan pertanyaan dan Beliau menjawab. Ketika saya sudah mengajukan pertanyaan yang terakhir kepada Baba, ada keheningan sejenak. Kemudian salah se- orang pria yang hadir di situ berkata, “Hislop, mengapa Anda memandang Swami dengan tatapan seperti itu?” Tanpa melepas pandangan dari Baba, saya berikan pen- jelasan. Kemudian Baba berkata, “Apa yang dilihat Hislop benar.” Orang yang bertanya itu kemudian berkata, “Oh, mengapa kami tidak melihatnya?” Baba menjawab, “ (Sinar) itu selalu ada.

Setiap orang bisa melihatnya kapan saja. Hanya diperlukan minat yang kuat.” Kemudian kunjungan Baba kepada kami diakhiri. Beliau bangkit dan meninggalkan ruang itu. Sayangnya tidak ada kesempatan untuk menanyakan ling- karan emas yang tidak bergerak itu. Sampai hari ini pun saya tidak mempunyai informasi dan tidak memahaminya.

Engkau boleh mengatakan bahwa kemajuan (spiritual) hanya mungkin dicapai dengan karunia-Ku, tetapi walaupun selembut mentega, hati-Ku hanya akan luluh jika ada sedikit kehangatan dalam doamu. Jika engkau tidak berusaha secara disiplin, melakukan sādhanā, rahmat tidak dapat turun kepadamu. Ke- rinduan, kesedihan karena tujuan yang belum tercapai, itulah kehangatan yang meluluhkan hati-Ku. Itulah penderitaan batin yang mendatangkan karunia.