JANGAN MENJADI BUDAK DORONGAN-DORONGAN DALAM DIRIMU


Mereka yang dipimpin oleh dorongan dan naluri, mengembara di dunia bagaikan pemabuk yang tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk, yang benar dan yang salah. Pengaruh dorongan- dorongan hewani yang tidak tertahankan ini membuat mereka lupa pada akibat mengerikan yang timbul karena menuruti kecenderungan tersebut. Mereka tidak mempunyai rasa malu atau takut, tetapi hanya bersukaria dalam usaha mencari kenikmatan duniawi, mengumpulkan kesenangan, dan menikmati kemewahan belaka. Mereka yang tenggelam dalam dorongan-dorongan ini, akal budinya menjadi tidak berguna dan tidak berfungsi. Jika manusia terus-menerus mengejar kenikmatan indra, maka dorongan-dorongan dalam dirinya menjadi keras dan berurat akar semakin dalam serta kuat.

Itulah sebabnya dalam kitab Bhagavad Gītā diberikan nasihat agar manusia tidak mengharapkan hasil perbuatannya. Dorongan-dorongan menjadi semakin kuat bila hasil atau pahala itu selalu dipikirkan pada waktu melakukan kegiatan. Ini membuat orang merasa bangga serta congkak dan selalu berusaha untuk menonjol-nonjolkan kebanggaan mereka kepada orang-orang lain. Dorongan memperbudak mereka. Di bawah pengaruh ini mereka menjadi hina sehingga melakukan perbuatan jahat yang paling keji sekalipun, untuk mengumpulkan  kekayaan dan memperoleh uang yang diperlukan guna memuaskan aneka keinginannya. Mereka mulai memuja mammon sebagai Tuhan mereka. Tentu saja harta benda itu perlu, tetapi kekayaan yang berlebih-lebihan, kekayaan yang menimbulkan kekhawatiran, kecemasan, dan kesedihan, sama sekali tidak patut diinginkan. Manusia haruslah tidak berusaha memperoleh kekayaan hingga seperti itu.

Selain itu, pada umumnya manusia berusaha agar mendapat pujian orang lain dan tidak dicela. Ini pun harus digolongkan sebagai dorongan yang tidak murni (malina).


Mencari Pujian dan Menyalahkan Orang Lain adalah Dorongan Jahat

Dunia ini seperti sarang burung gagak, beberapa berkaok- kaok memuji, beberapa berkaok-kaok mencela, tetapi engkau harus tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan. Anggaplah pujian sebagai suatu hal yang remeh, sebagai sesuatu yang diludahkan oleh orang lain. Hanya pada waktu itulah engkau dapat bebas dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya. Tentang celaan, lihatlah, dunia bahkan tidak membiarkan Rāma, Kṛṣṇa, Viṣṇu, Śiva, dan Baba lolos dari kecenderungannya untuk mencela! Para dewa pun mereka jelekkan dan makhluk-makhluk sempurna itu mereka tuduh mempunyai maksud buruk dan perbuatan jahat!

Dapatkah kita mengharap orang-orang busuk hati semacam itu mempunyai pertimbangan (yang baik) terhadap ‘manusia’ (biasa)? Mereka dapat menggunakan dalih apa pun. Orang kulit putih membenci orang berkulit hitam. Orang kulit hitam membenci mereka yang berkulit putih. Penganut Śiva memfitnahkan hal-hal yang keji kepada penganut Viṣṇu, dan penganut Viṣṇu menyebarkan cerita yang tidak benar mengenai penganut Śiva. Sebagaimana setiap orang mencintai agamanya, tanah kelahirannya, dan dirinya sendiri, demikian pula ia mencintai cara, bentuk, dan upacara pemujaan yang dianutnya. Cinta ini tampil dalam wujud pujian bagi kepercayaannya sendiri dan celaan pada keyakinan orang lain. Walaupun semua ini mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, kecenderungan semacam ini termasuk dan harus digolongkan ke dalam dorongan yang tidak murni (malina).

Sikap yang memalukan semacam itu, penuh dengan kebodohan, harus dilenyapkan dengan pengulang-ulangan nama Tuhan dan meditasi yang akan memenuhi hati dengan penghayatan ātma yang luas dan universal. Dengan demikian dorongan yang picik akan diubah dan diganti oleh dorongan yang suci, dan akan lenyap.

Sungguh mengherankan mengapa manusia  tidak dapat mengarahkan segenap tenaganya untuk menghapus dorongan yang tidak murni karena dengan mengikuti kecenderungan buruk tersebut ia hanya akan memperoleh kepedihan, kesedihan, dan kesengsaraan! Naluri serta dorongan ini membawa akibat yang menyesatkan sehingga manusia yakin dan merasa bahwa ia berada di jalan yang benar menuju kebahagiaan. Itulah sebabnya mengapa ia enggan melepaskan hal tersebut dan bersikeras memegangnya erat- erat. Jika ia membaca beberapa kitab kerohanian yang baik tentang Ātma Yang Mahatinggi, pikirannya dapat dijernihkan. Mereka dapat setidak-tidaknya memahami intisari kitab- kitab suci (Śāstra).


Sekadar Membaca Tanpa Dipraktikkan Merupakan Dorongan yang Tidak Baik

Jumlah kitab-kitab suci tidak terhitung banyaknya sehingga tidak cukup waktu untuk mempelajari semuanya, dan juga banyak halangan dalam usaha tersebut. Apa faedahnya membaca buku-buku yang tidak berguna, kitab-kitab Śāstra yang sulit, atau mempelajari cara-cara  kebaktian,  bila tidak dilaksanakan? Semuanya adalah usaha yang sia-sia. Menggunakan seluruh waktu untuk belajar tanpa praktik juga patut disebut sebagai dorongan yang tidak baik (malina vāsanā).

Dengarlah! Bhāradvāja mempelajari Veda selama tiga kehidupan berturut-turut. Ketika lahir yang ke empat kalinya, ia mulai membaca lagi! Karena itu, Indra datang kepadanya dan mengajarkan pengetahuan Brahman yang tertinggi (Brahma Vidyā) serta memberitahukan rahasia untuk mencapai kebebasan. Kemudian Bhāradvāja mengakhiri bacaan serta pelajarannya dan melakukan meditasi yang terpusat secara serius. Ia mencapai kesadaran ātma.

Belajar merupakan latihan yang tidak berguna bila intisarinya tidak diserap dan diterapkan. Ketamakan untuk membaca segala macam masalah dan bahan pembicaraan itu bukan kecenderungan yang amat sehat.

Sekali peristiwa, seorang suci yang bernama Durvasa datang ke hadirat Śiva dengan buku-buku keagamaan segerobak penuh. Nārada kemudian membandingkannya dengan keledai dalam perumpamaan, karena kelekatan yang terlalu besar pada buku itu sendiri adalah kebiasaan yang tidak diinginkan.

Walaupun seorang membawa beban sejumlah besar buku yang berat mengenai seluruh cabang ilmu pengetahuan dan walaupun mungkin ia telah membaca semuanya, ajaran yang terkandung di dalamnya tidak akan dapat dipahami sama sekali tanpa pengalaman praktis yang sesungguhnya. Merasa bangga hanya karena (sudah) belajar itu merupakan dorongan yang tidak baik (malina vāsanā), dorongan ketamakan!

Mendengar nasihat itu, Durvasa lalu sadar. Segera dibuangnya tumpukan bukunya ke laut dan ia terjun dalam meditasi yang mendalam. Lihatlah betapa orang-orang bijak merasa bahwa meditasilah yang paling penting untuk mencapai pengetahuan yang sempurna!

Tidak mungkinlah  memahami  kebenaran  ātma  hanya dengan mempelajari berbagai kitab suci (Śāstra), dengan mencapai gelar kesarjanaan, dengan mempertajam kecerdasan, atau dengan diskusi perdebatan yang logis. Ātma tidak dapat dihayati dengan cara-cara tersebut. Śvetaketu, putra Uddālaka, adalah seorang cendekiawan besar. Suatu hari sang ayah bertanya kepada putranya, “Śvetaketu, sudahkah engkau mengetahui kitab suci tertentu yang bila kaupahami, segala kitab Śāstra dapat dimengerti?” Śvetaketu menjawab bahwa ia tidak  mengetahui  kitab  suci semacam itu dan belum mempelajarinya. Kemudian Uddālaka mengajarnya kitab suci yang tiada bandingnya (Brahma Vidyā), yang memberi pengetahuan mengenai kebenaran ātma.


Kuasailah Pikiran, Perasaan, dan Ingatan yang Bertingkah dengan Meditasi

Karena itu, pertama-tama manusia harus memahami dengan jelas kebiasaan serta tingkah laku pikiran, perasaan, serta ingatannya dan kecenderungan serta sikapnya. Hanya setelah itulah ia dapat mengendalikan, menguasai, dan memurnikan serta mengembangkan daya ingat, kehendak, serta imajinasinya.

Keras kepala dan sulit dikendalikan adalah sifat pikiran, perasaan, dan ingatan yang wajar. Ia seperti angin. Itulah sebabnya mengapa Arjuna melukiskannya kepada Kṛṣṇa sebagai berikut:

cañcalaṁ hi manaḥ kṛṣṇa pramāthi balavad dṛḍham tasyāhaṁ nigrahaṁ manye vāyor iva su-duṣkaram

‘Oh Kṛṣṇa, pikiran, perasaan, dan ingatan sangatlah bertingkah, ia bergerak secepat kilat, ia sangat kuat, sulit sekali mengendalikannya.’

(Bhagavad Gītā, 6.34)

Kemudian Kṛṣṇa menjawab, “Arjuna, apa yang kaukatakan memang benar. Tetapi dengan perhatian dan disiplin yang tiada putusnya dan dengan latihan penyangkalan diri, pikiran, perasaan, dan ingatan dapat dikendalikan. Karena itu, lakukanlah meditasi sebagai langkah pertama.”

Berbagai dorongan hati dan keinginan harus ditahan agar pikiran, perasaan, dan ingatan dapat dikuasai. Aneka keinginan merangsang pikiran, perasaan, serta ingatan dan membuatnya berlari ke arah indra, seperti anjing yang berlari di belakang tuannya. Malang sekali, jiwa jatuh ke dalam jerat maya. Jerat ini ditimbulkan oleh indra yang menciptakan maya dan oleh pikiran, perasaan, serta ingatan yang mengejar kenikmatan! Untuk melepaskan diri dari semua kesengsaraan ini, manusia harus berlindung pada meditasi, dan bebas dari cengkeraman keinginan serta perbudakan indra. Lakukan pengulang-ulangan nama Tuhan dan meditasi. Kemudian engkau akan dapat mengusahakan dan mengembangkan kehendak, daya ingat, dan imajinasimu dengan baik. Tanpa meditasi tidak mungkinlah mengendalikan dan menguasai pikiran, perasaan, dan ingatan. Segala cara lain sama sekali tidak berguna, seperti usaha untuk mengikat gajah liar  yang sedang berahi dengan seutas benang kecil yang tipis! Meditasi perlu untuk melebur pikiran, perasaan, dan ingatan dalam ātma.


Jangan Berkecil Hati, tetapi Tetaplah Berlatih

Karena itu, pertama-tama bebaskan dirimu dari belenggu keinginan. Sejumlah siswa dan orang-orang yang berumah tangga mempertahankan beberapa kebutuhan dan keinginan untuk kepuasan pribadi seraya melepaskan keinginan-keinginan lainnya. Bahkan orang-orang yang berumah tangga yang melakukan konsentrasi (dhāranā) dan sebagainya, merasa sulit melepaskan keinginan-keinginan tertentu. Mereka mempertahankan hal ini untuk kepuasan rahasianya. Karena itu, tenaga mereka habis dan mereka hanya maju sedikit dalam latihan rohani yang mereka lakukan. Para peminat kehidupan rohani tersebut tergelincir dari tangga yang mereka panjat dengan susah payah. Agar dapat mengendalikan ketidakmantapan semacam itu, meditasi sangat menolong. Tidak cukup jika satu indra ditaklukkan, semuanya harus dikuasai dari segala segi. Tentu saja ini merupakan tugas yang sangat sulit; mungkin engkau merasa ingin menghentikan seluruh perjuangan. Tetapi jangan berkecil hati. Sabar dan tekunlah selalu, engkau akan berhasil. Hanya, engkau haruslah tidak seperti peminat kehidupan rohani yang meninggalkan disiplin segera setelah merasa bahwa engkau tidak maju secepat yang kauharapkan. Itu bukanlah jalan menuju kemenangan. Tekunlah, sabarlah, dan akhirnya capailah kemenangan.