Kitab-kitab suci yang ditulis oleh kaum bijak waskita Bhārat1) merupakan surat wasiat yang berisi pengalaman tulen. Kitab-kitab ini ditafsir dan dipraktekkan oleh orang-orang yang telah mempelajarinya dengan takzim sesudah menjernihkan akal budinya dengan disiplin yang keras. Jika digunakan seperti itu, kitab-kitab ini dapat memberikan kebahagiaan jiwa yang abadi. Akan tetapi, para penyelidik yang mempelajarinya secara skolastis, atau filologis, atau dari segi tata bahasa, yang berusaha memberikan ulasan membingungkan, hanya akan membuat kitab-kitab itu diabaikan dan isinya yang berharga hilang.

Kitabkitab itu siap mengajarkan kebenaran spiritual dan membimbing para siswa menuju kebahagiaan jiwa (ānanda). Ajaran kitab-kitab itu dimaksudkan untuk membawa manusia menuju keabadian dan menyelamatkannya dari lingkaran kelahiran serta kematian yang menyedihkan. Sesungguhnya para putra Bhārat2) itu mujur karena memiliki pusaka yang tak ternilai ini. Veda dan Shāstra (kitab-kitab suci) membicarakan tentang kemujuran ini; kaum bijak waskita menyanjung negeri ini karena alasan tersebut. Upanishad mengelu-elukan mereka yang mempunyai guru dan pembimbing spiritual semacam itu.

Pencapaian para peminat kehidupan rohani dan para pencari kebenaran spiritual generasi demi generasi merupakan bukti harta spiritual yang tak ternilai ini. Akan tetapi, beberapa orang sinis yang tidak tahu (atau tidak mau tahu), membuang harta spiritual yang sangat berharga ini dan mengecamnya sebagai sesuatu yang menarik orang banyak menuju hal yang tiada hasilnya! Kita hanya dapat merasa kasihan kepada mereka karena tidak mempunyai pandangan ke masa depan. Bhārat adalah nama suatu cara hidup, bukan suatu wilayah di antara samudra dan Pegunungan Himālaya. Bhārat adalah nama lain untuk toleransi dan sikap saling mengasihi yang telah membuatnya menjadi taman dengan aneka agama, aliran filsafat, kepercayaan, dan keyakinan.

 

Darma Mengandung Banyak Arti, Petunjuk tentang Apa yang Harus Dilakukan dan Apa yang Dilarang.

Bhārat adalah negeri tempat dinyatakannya persamaan antara manusia dan Tuhan oleh orang-orang yang telah mencapai kesadaran itu. Manusia terselubung, terkurung, sedangkan Tuhan tidak terbatas. Individu percaya dirinya terbatas, mempunyai nama serta wujud, menganggap dirinya sebagai badan dan perlengkapannya. Api yang laten dalam bahan bakar hanya dapat tampil jika dinyalakan dengan api dari luar. Demikian pula sifat ketuhanan akal budi, pikiran, dan peralatan batin untuk pemahaman, hanya dapat terungkap jika didorong dan didesak oleh atma. Sebaliknya, bila mereka didorong dan didesak oleh indra, mereka hanya akan membawa manusia menuju neraka dan delusi (pikiran atau pandangan yang tidak berdasarkan kenyataan sejati, keterangan penerjemah). Setiap petunjuk mengenai latihan atau pengendalian yang diberikan dalam kitab-kitab suci dimaksudkan untuk membantu peminat kehidupan rohani menyadari kesamaan ini dan memperoleh kebahagiaan jiwa yang timbul dari kesadaran kemenunggalan ini. Misalnya saja nasihat dalam sloka Bhagavad Gītā yang menyatakan,

Sarva-dharmān-parityajya, Mām-ēkam sharanam vraja.

Artinya, ‘Tinggalkanlah semua jenis Darma dan berlindunglah hanya kepada-KU.’ (Bhagavad Gītā 18; 66)

 

Dharma apa yang harus ditinggalkan? Apakah semua tugas dan tanggung jawab harus dibuang? Atau, apakah darma di sini hanya menunjuk pada beberapa dari hal ini? Darma adalah pernyataan yang mencakup berbagai hal, yang mengandung banyak arti, sikap, pola-pola tingkah laku, dan adat istiadat. Sering darma hanya berisi berbagai peraturan yang dikenal sebagai vidhi “perintah atau hal yang diwajibkan’, dan nishedha ‘larangan’. Kalau engkau ingin naik bus, pesawat terbang, atau kereta api ke suatu tempat, engkau harus sudah menunggu di perhentian bus, bandara, atau setasiun sebelum waktu tertentu. Itu disebut vidhi. Jika dua saudara lelaki membagi harta warisan ayah mereka, masing-masing mendapatkan separuh; ini darma, dengan kata lain, hal yang benar dan sudah sepantasnya, sesuai dengan moral, dan dapat disetujui. Sekarang darma seperti ini digariskan dan diikuti sehingga kita mendapat kedamaian dan puas, sehingga kebahagiaan dapat ditingkatkan. Darma semacam ini diikuti di dunia yang bersifat relatif. Yang Mahamutlak tidak berurusan dengan keuntungan atau manfaat yang bersifat relatif ini. Mereka yang berada dalam keadaan ajnāna (tidak mengetahui kenyataan diri sejati dan menyamakan diri dengan badan) akan menginginkan kebahagiaan dan menghindari kesedihan.

Ketahuilah bahwa Engkau Selalu Sempurna, Selalu Penuh Kebahagiaan.

Keinginan (kāma) adalah dorongan untuk melakukan kegiatan (karma). Ini diatur dan diubah arahnya oleh darma (perbuatan yang benar secara moral) sehingga kebahagiaan dapat diperoleh dan kesedihan dihindarkan. Kāma adalah hasil dan ungkapan ajnāna. Karena itu, bila Bhagavad Gītā memberi petunjuk agar semua darma ditinggalkan, yang dimaksud yaitu ajnāna (ketidak tahuan atau identifikasi dengan badan yang menyebabkan timbulnya kāma, dan kāma ini menimbulkan karma yang harus tunduk kepada darma) harus ditaklukkan dan diatasi.

Dapatkan jnāna ‘kebijaksanaan spiritual atau penghayatan diri sejati sebagai kesadaran semesta’; ketahuilah kebenaran dirimu sendiri. Kemudian engkau akan bebas dari hawa nafsu dan kebencian karena engkau akan tahu bahwa engkau adalah yang selalu sempurna, selalu penuh kebahagiaan jiwa. Bayangkan seseorang yang sedang mencari beberapa barang dalam suatu ruangan.

Pandangan matanya menelusuri berbagai barang yang dikehendakinya, tetapi ia tidak memperhatikan orang yang sedang mencari! Si pencari itu tidak melihat dirinya sendiri! Bila engkau menghentikan usaha mencari berbagai objek, mencari berbagai hal yang bukan dirimu sendiri, engkau akan melihat dirimu sendiri dan mengetahui dirimu yang sejati. Jika “yang melihat (drashta)” dilihat, maka yang dilihat (dhrishya) (yang dimaksud adalah objek-objek duniawi, keterangan penerjemah) akan diabaikan. Jika manusia melihat objekobjek duniawi (dhrishya), maka yang melihat (drashta) (di sini yang dimaksud adalah diri sejati atau saksi abadi, keterangan penerjemah) diabaikan! Tadi baru saja Tideman berkata bahwa ketika ia bertemu untuk pertamakalinya dengan Aku, Kuberi tahu dia bahwa Aku Tuhan.

Sesungguhnya setiap orang adalah (perwujudan) Tuhan, (tetapi ia) membatasi diri pada nama dan wujud tertentu yang menyelubunginya! Jika engkau percaya bahwa engkau adalah nama yang diberikan kepadamu, dan menyebut dirimu sendiri dengan nama yang telah diberikan orang-orang lain kepadamu, engkau tidak akan pernah dapat mengetahui kenyataanmu yang sebenarnya dan tidak akan pernah mengalami sukacita yang tak tergoyahkan. Inilah pelajaran yang diberikan oleh Vedānta.

Setiap orang adalah, “Satyam jnānam anantam Brahma,” ‘kebenaran, pengetahuan yang menyeluruh, dan ketidakterbatasan adalah Brahman’. Akan

tetapi, karena terbenam dalam rawa ketidaktahuan (ajnāna) yang terus menerus melipatgandakan aneka keinginan sehingga menghantui pikirannya, manusia melupakan hakikat dirinya. Setiap orang harus yakin bahwa ia adalah atma, bukan badan yang merupakan tempat tinggal materiil (bagi atma). Tujuan utama perayaan Mahāshivarātri adalah untuk mengajarkan hal ini kepada kalian.

Lingga adalah Lambang Tuhan yang Tiada Awal dan Akhirnya Orang-orang bertanya, “Mengapa Swami menciptakan linggam (lambang Tuhan yang tidak berwujud) dari dalam diri Beliau pada hari ini?” Biarlah Kuberi tahu kalian, tidak mungkinlah kalian memahami sifat-sifat Tuhan dan menaksir kemampuan-Nya, atau menduga arti perwujudan Tuhan. Hal ini tidak terjangkau oleh pengertian manusia (agamya), dan misterius, tidak dapat dipahami (agōchara). Karena itu, untuk menunjukkan dan membuktikan fakta bahwa Tuhan berada di antara kalian, perlulah (Aku) mengungkapkan sifat ini. Kalau tidak, suasana yang penuh kebencian, ketamakan, kekejaman, kekerasan, dan sikap tidak sopan akan membuat orang-orang yang baik, rendah hati, dan saleh menjadi kewalahan.

Linggam hanyalah suatu simbol, suatu tanda, untuk menggambarkan Tuhan yang tiada awal dan akhirnya serta tidak terbatas, karena linggam itu tidak mempunyai anggota badan, tidak mempunyai wajah, kaki, bagian depan, atau bagian belakang, tiada awal dan akhirnya. Wujudnya menyerupai gambar yang dibayangkan orang mengenai Tuhan yang tidak berwujud (nirākāra). Sesungguhnya lingga berarti līyathē ‘tempat menunggalnya segala nama serta wujud’, dan gamyathe ‘yang dituju segala nama dan wujud untuk mencapai pemenuhan’.

Lingga adalah lambang yang paling tepat untuk Tuhan yang meliputi segala sesuatu, Mahatahu, dan Mahakuasa. Segala sesuatu termasuk di dalamnya; segala sesuatu timbul darinya. Dari linggam timbullah alam semesta dan dunia yang fana ini (janggam), dari janggam timbul pergaulan, kelekatan, dan kegiatan yang dilandaskan pada darma (satsanggam), dan sebagai hasil satsanggam, manusia menyadari atma yang tidak bersifat (linggam). Dengan demikian, lingkaran ini disempurnakan, dari yang tiada berawal menuju yang tiada berawal. Inilah pelajaran yang diberikan oleh linggodbhavam ‘timbulnya lingga’. Badan jasmani (linggasharīra) yang dihuni atma ini hanyalah pakaian yang digunakan khusus untuk kunjungan singkat (di bumi) ini! Banyak pakaian yang telah dikenakan jiwa ini, walaupun kenyataannya abadi!

Pelajaran yang Diberikan Rāmāyan

Orang-orang belum mencamkan berbagai pelajaran yang hendak disampaikan oleh kitab-kitab suci dan epik Hindu. Misalnya saja, sering Aku

ditanya, mengapa beberapa orang yang telah menghubungkan diri dengan Prashānti Nilayam selama bertahuntahun lalu berhenti dan tidak muncul lagi. Mereka yang mempelajari Rāmāyana dengan baik akan memperoleh jawaban yang jelas. Setelah “berbakti” selama sepuluh atau dua belas tahun tibatiba orang-orang ini beralih minatnya. Sebagaimana dikatakan dalam kitabkitab Shāstra (kitab suci), “Jika kumpulan pahala habis, mereka tergelincir ke dalam lembah maut.” Sītā adalah putri bumi, alam (prakriti) yang mencari persahabatan abadi dengan Purusha (Tuhan). Ia menikah dengan Purusha, Tuhan yang menjelma sebagai Sri Rāma.

Ketika Rāma setuju pergi ke pembuangan dan berangkat ke hutan untuk tinggal selama empat belas tahun, Sītā juga meninggalkan segala kemewahan yang biasa dinikmatinya dalam hidupnya. Dengan berani ia menghadapi kehidupan yang penuh bahaya di hutan, agar dapat berada dalam kehadiran Sri Rāma. Ia membuang keinginan di hatinya demi Sri Rāma, tujuan satu-satunya. Tiga belas tahun dilewatkannya bersama Sang Avatar dalam kebahagiaan jiwa yang sempurna, sebagai hasil pengorbanan yang dilakukannya dengan tabah. Tiba-tiba timbul keinginan dalam hatinya, dan membawanya pergi, jauh dari Tuhan! Ia melihat seekor kijang kencana dan menginginkannya!

Sītā yang telah meninggalkan harta benda emas dan berlian yang sangat banyak, tertarik oleh fantasi, dan ini menyebabkan terjadinya perpisahan yang sangat menyakitkan. Demikian pula, dalam diri beberapa orang yang sudah lama mendekatkan diri kepada-Ku, (tiba-tiba) timbul beberapa keinginan: untuk memliliki tanah, pekerjaan, berkeluarga, kemasyhuran, kedudukan, harta benda, dan mereka lalu menjauh! Akan tetapi, Sītā menyesali kesalahannya, dan hatinya menderita kesedihan yang luar biasa karena terpisah (dari Sang Avatar)! Ia berseru kepada junjungannya agar diselamatkan, dan memanggili Beliau dengan penuh penyesalan, Rāma, Rāma, Rāma, Rāma, dengan setiap napasnya. Akhirnya Rāma datang kepadanya dan membawanya kembali kepada Beliau. Demikian pula, jika engkau menyesal dengan penuh penderitaan batin, menyadari bahwa engkau kehilangan (Beliau) dan ingin kembali lagi, mendambakan kehadiran Beliau, Sairām ini pun akan datang kepadamu dan menganugerahkan karunia-Nya.