17. Tuhan Yang Maha Esa Bersemayam dalam Semua Makhluk


     Kitab-kitab Veda, Śāstra, dan amanat para resi yang agung telah mengatakan dengan jelas dan tanpa ragu, dari dahulu sampai sekarang, bahwa Tuhan Saksi Abadi, selalu ada dalam segala sesuatu. Naskah-naskah spiritual yang agung ini juga membahas mengenai hubungan antara ‘Tuhan yang diabdi’, ‘manusia yang mengabdi’, dan ‘sarana yang diperlukan untuk pengabdian’ yaitu ‘alam dunia’. Semua orang yang dibesarkan dalam tradisi Hindu pasti telah mendengar ayat kitab Bhāgavata mengenai Prahlāda, seorang bakta yang agung. Berdasarkan penghayatan spiritual yang dialaminya, ia mengatakan bahwa Tuhan berada dalam setiap makhluk, Tuhan tidak perlu dicari ke mana-mana dan sesungguhnya berada sangat dekat dengan orang yang mencari-Nya.

“Ia di sini. Ia tidak ada di sana.

Buanglah kesangsian semacam itu.

Ke mana pun engkau mencari

dan ke mana pun engkau memandang,

Di sana ... dan di sanalah ... Ia berada!”

     Tuhan digambarkan sebagai memiliki sifat-sifat tertentu, karakteristik tertentu, wujud tertentu, dan sebagainya. Pernyataan-pernyataan ini hanyalah benar sejauh khayal dan dugaan dapat digunakan untuk memperkirakan​ kebenaran, tetapi pernyataan tersebut bukan kebenaran asasi. Gambaran semacam itu benar sejauh berhubungan dengan pengertian duniawi yang praktis. Tetapi tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan yang benar tentang Tuhan Yang Mahabesar. Tidak mungkinlah kita memahami kebesaran serta kesempurnaan (Pūrnam) Tuhan atau berbicara mengenai hal itu.

     Meskipun demikian, para bhakta dan peminat kehidupan rohani selama ini telah menggambarkan suatu wujud Ilahi sebagai dasar pemujaan mereka, masing-masing tergantung pada tahap kemajuan spiritualnya. Mereka memuja Tuhan seakan-akan Beliau berada di Ayodhyā atau Dvārakā dan tidak berada di tempat lain. Mereka memuja Tuhan di tempat patung atau gambar tertentu dan tidak di tempat lainnya. Mereka memuja arca atau gambar itu sendiri sebagai Tuhan Yang Mahatinggi. Tentu saja hal itu tidak salah. Hanya saja para bhakta itu haruslah tidak mengatakan bahwa keyakinannya sajalah yang benar, bahwa nama dan wujud Tuhan yang mereka puja adalah satu-satunya yang benar dan bahwa nama dan wujud lainnya tidak bernilai dan lebih rendah. Mereka harus menyadari bahwa nama dan wujud yang dihormati orang lain adalah sama berharganya dan sama sucinya bagi mereka seperti halnya nama dan wujud yang kaupuja berharga dan suci bagimu.

     Bila suatu wujud dipuja sebagai simbol Tuhan, wujud itu benar-benar menjadi simbol yang universal. Tetapi, bagaimana sekadar simbol dari yang universal dapat merupakan yang universal itu sendiri? Insafilah selalu hal ini: kalian masing-masing harus mempunyai pandangan bahwa wujud-wujud yang dipuja sebagai lambang Tuhan,semuanya sama-sama sah dan benar. Jangan memberi peluang untuk rasa benci yang tidak beralasan dalam hidupmu. Tanpa pengertian ini tidak mungkinlah engkau menyadari Tuhan. Wujud-wujud yang dipuja sebagai simbol Tuhan ini semuanya sarat dengan prinsip Ilahi yang sulit dimengerti. Rasa lautan dapat dikecap secara lengkap dan tidak berkurang dalam setiap tetesan airnya. Tetapi ini tidak berarti bahwa tetesan air itu adalah samudra. Kita melihat tetesan air dan lautan sebagai dua hal yang terpisah, tetapi keduanya mempunyai sifat dan rasa yang sama. Demikian pula Tuhan, saksi abadi dan penggerak batin yang berada dalam segala sesuatu, tidak berbeda dari nama dan wujud materiel yang dikenakan-Nya, nama dan wujud yang dapat digunakan untuk menyadari-Nya, mereka bukanlah keberadaan yang terpisah. Mereka sama.

     Kata-kata dan metode yang digunakan untuk melukiskan Tuhan, eksistensi murni yang memenuhi segala sesuatu dan mencakup segala sesuatu, tergantung pada prinsip-prinsip yang dianut oleh pembicara dan pada kebutuhan pendengarnya. Bila nama dan wujud Tuhan yang dipilih seorang bhakta diubah menjadi yang tidak berwujud dan tanpa sifat, maka Ia disebut Brahman ‘Yang Mahabesar, Yang Mutlak’. Bila Yang Mahabesar dan Mutlak itu muncul dengan sifat dan wujud, mungkin Ia disebut sebagai Rāma, Kṛṣṇa, Viṣṇu, atau Śiva. Meskipun demikian, penganut semua agama sependapat: bila bhakta mencapai persatuan mistik dengan Tuhan, semua perbedaan antara Tuhan dan bhakta akan lenyap. Para yogi dan filsuf dari semua kepercayaan yakin bahwa penghayatan kemenunggalan dengan Tuhan ini dapat dicapai melalui bhakti yang mendalam. Meskipun demikian, walau sudah mencapai penghayatan persatuan ini, seorang bhakta mungkin mempunyai suatu rasa keterpisahan dari Tuhan. Tetapi hal ini disebabkan oleh keinginan dan pilihan bhakta itu sendiri, bukan merupakan keharusan dalam pengalaman tersebut. Hanya bila nama serta rupa timbul, maka alam ciptaan, Tuhan Sang Pencipta, dan manusia yang memuja diberi nama berlainan. Bila tiada nama dan rupa, tidak akan ada keraguan dan perdebatan, tidak akan ada yang mempertanyakan apakah Tuhan itu pria, wanita, atau netral. Kemudian penggambaran Tuhan yang bagaimanapun juga akan tepat. Nama dan wujud yang mana saja dapat dikenakan pada sesuatu yang berada di luar jangkauan daya khayal manusia. Sesungguhnya Tuhan tidak mempunyai sifat atau wujud. Tuhan ada dimana-mana, Ia Maha Ada.

     Bila engkau memuja kemahaadaan yang sulit dimengerti ini melalui wujud Tuhan yang manapun juga dan kauanggap wujud itu memiliki sifat-sifat Ilahi, maka engkau akan menghayati-Nya melalui sādhāna tersebut. Untuk menganugerahkan kebahagiaan penghayatan tersebut kepada bhakta maka Tuhan Yang Maha Besar dan tidak dapat dilukiskan menjelma di dunia. Ia mengambil wujud manusia untuk menganugerahi semua makhluk hidup dengan suatu objek pemujaan yang akan membimbing mereka menuju kebenaran. Ia turun ke dunia untuk memberi kesempatan agar semua makhluk dapat bersuka ria mengalami kehadiran-Nya. Dengan menganugerahkan pengalaman ini, sang Avatāra membantu agar manusia dapat dengan mudah menghayati Tuhan sebagai penggerak batin (dalam segalamakhluk), ada di mana-mana sepanjang waktu, memenuhi segala sesuatu, dan merupakan ātmā, kenyataan sejati segala sesuatu di dunia. Kṛṣṇa menganugerahkan penampakan kepada Arjuna bahwa seluruh jagat raya berada dalam diri- Nya. Sebelum menyaksikan sendiri bahwa seluruh alam semesta berada dalam badan Kṛṣṇa, Arjuna pun tidak dapat memahami bahwa Kṛṣṇa bersemayam dalam segala sesuatu.

     Kasih, yang mengasihi, dan yang dikasihi (Tuhan) semuanya satu dan sama. Tanpa kasih, tidak akan ada si pengasih. Tanpa ada yang dikasihi, kasih tidak akan berfungsi walaupun ada kasih dan pengasihnya. Dalam ketiga hal ini, kasih adalah bahan utama. Segala sesuatu sarat dengan Tuhan. Tuhan ada dalam semuanya. Karena itu, tidak ada perbedaan dalam ketiga hal itu. Dalam ketiganya, kasih Ilahi berwujud sebagai penggerak batin segala sesuatu. Karena itu, tidak dapatkah engkau menyadari bahwa segala sesuatu adalah perwujudan Tuhan? Tentu saja engkau dapat. Segala sesuatu diliputi kasih. Karena itu, tanpa ragu engkau dapat berkata bahwa Tuhan adalah perwujudan kasih. Di seluruh dunia, dalam semua makhluk hidup, kasih menyatakan dirinya dalam berbagai bentuk. Sifat kasih tidak dapat berubah walaupun dikenal orang dengan berbagai nama, tergantung pada sasarannya, seperti misalnya, kasih ibu, cinta romantis, bhakti kepada Tuhan, dan sebagainya. Apapun bentuk cinta itu, hakikatnya tidak akan berubah. Berlandaskan pengetahuan dan pengalaman ini, kesimpulannya menjadi jelas bahwa Yang Maha Besar adalah Sarva Bhūta Antarātma, diri sejati dalam segala ciptaan.

     Filsafat yang mengajarkan pengetahuan tertinggi mengenai kesatuan ini dikenal sebagai advaita ‘non dualisme’. Di lain pihak, dvaita ‘filsafat dualisme’ mengajarkan prinsip kekasih dan yang dikasihi, jiwa dan Sang Pencipta. Viśistādvaita ‘filsafat non dualisme yang terbatas’ menunjukkan ketiganya: kasih, pengasih, dan yang dikasihi; alam dunia, jiwa, dan Tuhan. Sekali pun demikian, ketiga jalan spiritual ini sesungguhnya satu. Bayi berubah menjadi siswa, siswa itu kemudian menjadi orang yang berumah tangga. Meskipun demikian ketiganya adalah orang yang sama yang tingkah laku dan minatnya berubah dalam berbagai hal. Dari susu timbullah mentega dan air dadih. Susu yang mengandung semuanya adalah advaita’non dualisme’. Mentega yang mengandung air dadih adalah dvaita ‘dualisme’. Bila mentega itu dipisahkan, air dadih yang tersisa adalah viśistādvaita ’non dualisme yang terbatas’. Warna semua makanan yang telah disebutkan tadi, yang selalu sama walaupun cita rasanya berbeda, melambangkan Yang Mutlak, Tuhan yang tidak berwujud.