Wacana Bhagawan pada perayaan Mahashivaraatri, 9 – 3 – 2005 ( sore )
Semuanya Terikat oleh Hukum Karma
"Setiap makhluk harus menghadapi akibat karmanya. Siapa yang membuat kelelawar bergantung di cabang pepohonan dengan kepala di bawah? Itu nasib mereka. Demikian pula, tidak seorang pun dapat terlepas dari akibat karmanya."
( Puisi Bahasa Telugu)
Setiap manusia, serangga, unggas, margasatwa, atau hewan, bahkan setiap makhluk hidup di dunia ini terikat oleh nasibnya. Tidak seorang pun dapat terlepas dari akibat karmanya, baik atau buruk. Sudah wajarlah, bila setiap makhluk hidup mematuhi hukum alam dan hukum karma. Misalnya saja, kelelawar bergantung di cabang-cabang pepohonan dengan kepala di bawah. Itu sifat mereka. Mereka lahir untuk hidup seperti itu.
Setiap manusia di dunia ini mengira bahwa ia mengalami penderitaan, walaupun ia tidak melakukan apa pun yang buruk. Ia merasa, “Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa! Jadi, mengapa aku mengalami penderitaan seperti ini?” Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Kesenangan atau penderitaan apa pun yang dialami oleh setiap makhluk hidup tentu merupakan akibat karma yang dilakukannya.
Setiap manusia melakukan karma dan akibatnya ia akan mendapat ganjarannya. Meskipun demikian, sampai hari ini ia tidak mengetahui dengan jelas apakah hal-hal ( yang dialaminya ) itu merupakan akibat yang wajar dari perbuatannya, atau karena suatu sebab yang tidak diketahuinya. Tidak hanya manusia, bahkan bakteri, unggas, serangga, margasatwa, dan hewan semuanya mengalami akibat-akibat karma mereka.
Untuk mendukung ( adanya ) hukum karma yang tidak dapat dihindari ini, Aku akan menceritakan peristiwa tertentu yang terjadi pada masa lampau. Aneka kejadian ini menjelaskan bagaimana berlangsung kelahiran-kelahiran tertentu, hanya untuk memperlihatkan kebenaran ( hukum karma ) ini.
Dahulu di Puttaparthi ada seorang bakta agung yang bernama Subbaammaa. Ia sangat kaya. Ia tidak mempunyai anak. Apa pun yang dimilikinya biasa dibagi-bagikannya sebagai amal kepada semua orang dengan perasaan, “Aku hanya membagikan harta yang dianugerahkan Tuhan kepadaku kepada sesama manusia.” Ia menempuh hidup yang saleh dan mulia dengan hati yang tenang. Meskipun demikian, ia mempunyai satu keinginan. Ia sering memohon, “Swami, pada waktu saya akan meninggalkan dunia ini, mohon redakan dahaga saya dan tuangkan beberapa tetes air ke dalam mulut saya dengan tangan Swami yang suci.” Aku berjanji kepadanya bahwa hal itu akan Kulakukan. Enam tahun setelah Kuberikan janji itu kepadanya, Aku harus pergi ke rumah seorang bakta di Chennai untuk menepati janji-Ku. Pada waktu itu Perang Dunia Kedua sedang berlangsung. Setiap jam terdengar sirene tanda serangan udara dan jalanan langsung menjadi sunyi. Aku tinggal di sana selama tiga hari lalu mulai menempuh perjalanan pulang dengan mobil dari Chennai langsung ke Bukkapatnam.
Sementara itu Subbaammaa jatuh sakit, keadaannya menjadi parah dan ia dibawa dari Puttaparthi ke Bukkapatnam, tempat tinggal orang tuanya. Di situ ia meninggal. Sanak keluarganya mulai memberi komentar dengan nada mencemooh, “Sai Baba berjanji kepadanya bahwa Beliau akan menuangkan air ke mulutnya pada saat terakhirnya. Datangkah Beliau? Ke mana Beliau pergi?” Saudara-saudara lelaki Subbaammaa dan sanak keluarganya melakukan segala persiapan untuk memperabukan jasatnya. Pada masa itu tidak mudahlah mendapatkan kayu untuk memperabukan jenazah, terutama di pedesaan. Meskipun demikian, mereka memperoleh sejumlah kayu bakar dan menyiapkan segalanya.
Ketika melewati rumah Subbaammaa, Kulihat beberapa orang berkumpul di situ. Aku bertanya, “Siapa yang akan diperabukan?” Subbaanna, tukang cuci, hadir di situ. Ia menjawab, “Swami! Subbaammaa meninggal.” Aku bertanya lagi, “Oh ya? Kapan dia meninggal?” “Tiga hari yang lalu, Swami,” jawabnya. Aku pergi ke rumahnya tempat jenazahnya dibaringkan. Sanak keluarganya sedang bersiap-siap akan membawa keluar jasat itu untuk diperabukan. Adik perempuannya melihat Aku lalu mulai menangis. Ia berkata, “Baba! Ia mengharap-harapkan kedatangan Swami. Ia ingin sekali Swami menuangkan air ke mulutnya sebelum ia mengembuskan napas terakhir. Akhirnya ia meninggal dengan keinginan yang tidak terpenuhi.” Kukatakan kepadanya bahwa hal semacam itu tidak mungkin terjadi dan Kuminta ia agar mengambilkan air dalam gelas. Kuletakkan sehelai daun tulsi ( ocimum sanctum ) ke dalam air itu. Kusibakkan kain yang menutup wajahnya. Tubuhnya sudah dirubung semut. Dengan lembut Kupanggil namanya, “Subbaammaa!” Ia membuka mata dan melihat Aku. Ia memegang tangan-Ku lalu menangis. Ia bertanya, “Kapan Swami datang?” Kujawab, “Aku baru saja sampai.” Dengan lembut Kuseka air matanya dengan sehelai handuk. Kukatakan kepadanya, “Subbaammaa! Lihatlah.” Kemudian Kutuangkan beberapa tetes air suci ke dalam mulutnya dan berkata, “Sekarang pejamkan matamu dengan tenteram.” Subbaammaa meneguk air dari tangan-Ku lalu mengembuskan napas terakhir. Dengan demikian Kupenuhi janji-Ku kepada Subbaammaa.
Sementara peristiwa aneh ini berlangsung, semua kerabatnya dan para dokter yang merawatnya mengamati kejadian itu dengan takjub dan hormat. Mereka tidak dapat mempercayai mata mereka. Mereka bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimana mungkin! Subbaammaa meninggal tiga hari yang lalu. Ia sudah tidak bernapas lagi. Bagaimana sekarang ia bisa membuka matanya dan berbicara dengan Swami? Mungkin ini mukjizat suci Sai Baba.”
Selama hidupnya Subbaammaa selalu cemas karena Swami sering bepergian mengunjungi berbagai tempat; ia khawatir jangan-jangan keinginannya yang terakhir tidak bisa terkabul. Akan tetapi, Kutepati janji yang Kuberikan kepadanya bertahun-tahun yang lalu. Akhirnya jasat Subbaammaa diperabukan oleh kaum kerabatnya sesuai dengan tradisi keluarga. Ia adalah seorang perempuan brahmana.
Aku memulai perjalanan-Ku kembali ke Puttaparthi. Sebuah pedati yang ditarik lembu jantan sudah disiapkan untuk perjalanan-Ku pulang. Aku dan adik Griham Ammayi ( Iishvaraammaa ) duduk dalam pedati itu lalu kembali ke Puttaparti. Namanya Chandramauli ( paman jasmani Swami dari pihak ibu ). Kami melihat asap membubung dari tempat jenazah Subbaammaa dikremasi. Chandramauli bertanya, “Swami! Swami baru saja mendampingi jasat Subbaammaa. Mengapa Swami tidak menunggu sampai perabuan selesai?” Kukatakan kepadanya, “Chandramauli! Aku bukan orang yang ingkar janji. Aku berjanji kepada Subbaammaa bahwa Aku akan mendampinginya pada saat-saat terakhirnya dan menuangkan air suci ke mulutnya. Itu sudah Kupenuhi. Kunasihati ia agar meninggalkan dunia ini dengan tenteram. Kutepati janji-Ku dan sekarang Aku kembali ke tempat tinggal-Ku.” Chandramauli senang sekali.
Sesungguhnya Subbaammaa sangat dihormati oleh seluruh penduduk desa. Sebagai istri Karanam, ia adalah kepala desa. Semua tanah dan bangunan di desa itu tercatat sebagai miliknya. Meskipun demikian, sejak ia menjadi bakta Swami, ia tidak menaruh minat pada apa pun juga selain Swami. Sejak dini hari sampai beristirahat di tempat tidur, ia hanya bekerja dengan tiada hentinya untuk Swami. Pada beberapa kesempatan Aku sering menyepi di gua-gua yang terdapat di perbukitan dekat tempat ini tanpa memberitahu dia. Perempuan yang malang! Ia lalu pergi berkeliling ke bukit-bukit untuk mencari Aku. Ia biasa membungkus upma, dosa, vada, idli, dan sebagainya ( berbagai makanan khas India Selatan ) dalam wadah makanan lalu datang mencari Aku. Ketika akhirnya ia dapat menemukan Aku, Aku biasa bertanya untuk menggodanya, “Subbaammaa! Apa yang kaubawa untuk-Ku?” Ia biasa menjawab, “Swami! Saya membawa makanan kesukaan Swami.” Lalu Aku biasa berkata kepadanya, “Berilah Aku dosa ( semacam dadar ).” Ia lalu menaruh dosa dalam sebuah piring dan menghidangkannya untuk-Ku. Aku biasa menggodanya lagi dengan berkata, “Subbaammaa! Aku tidak suka dosa ini. Berilah Aku idli, upma, vada, dan sebagainya.” Perempuan yang malang! Ia biasa menyajikan semua makanan itu untuk-Ku. Dari pagi sampai sore ia sibuk menyiapkan beberapa makanan dan menanti Aku. Meskipun demikian, ia ingin sekali mengetahui apa lagi yang mungkin Kuperlukan. Pernah Kukatakan kepadanya, “Subbaammaa! Engkau tidak perlu cemas. Aku tidak memerlukan apa-apa. Aku mengajukan berbagai pertanyaan kepadamu meminta ini dan itu agar bakti dan kepasrahanmu diketahui oleh dunia.” Kemudian Subbaammaa memohon kepada-Ku, “Swami! Saya senang karena dapat menyiapkan dan menyajikan makanan untuk Swami. Saya juga senang karena Swami memakan hidangan ini dengan kasih sayang kepada saya. Saya akan bahagia bila Swami berkenan menyuapkan sedikit makanan ini ke mulut saya dengan tangan Swami yang suci.” Kemudian Kuambil secuil idli dari piring dan Kusuapkan ke mulutnya dengan sedikit chutney ( semacam saus sambal pelengkapnya ). Bukan main senangnya ia. Demikianlah Subbaammaa mengalami kebahagiaan jiwa yang tak terhingga dalam kedekatannya dengan Swami hingga napasnya yang terakhir.
Pada beberapa kesempatan Chandramauli menyaksikan betapa Aku melimpahkan kasih dan karunia kepada Subbaammaa. Ia berkata, “Swami! Betapa penuh welas asih sikap Swami kepada para bakta! Perbendaharaan kata kami tidak cukup untuk mengungkapkan welas asih Swami kepada para bakta, terutama Subbaammaa.” Benar! Kata-kata tidak dapat melukiskan kasih sayang dan belas kasihan Swami kepada Subbaammaa. Bakti Subbaammaa kepada Swami bahkan melebihi bakti Prahlaada.
Pada waktu itu orang-orang menyadari bahwa Swami telah menepati janji yang diucapkan-Nya kepada Subbaammaa. Mereka merasa bahwa kehidupan Subbaammaa disucikan. Dengan mencontoh teladannya, beberapa orang lanjut usia biasa mengunjungi Aku sambil memohon, “Swami! Mohon berjanjilah bahwa Swami akan menuangkan air suci ke dalam mulut saya dengan tangan Swami sendiri pada waktu saya meninggal dunia.” Aku biasa berkata kepada mereka, “Sayang-Ku! Tidak semua orang bisa mendapat anugerah yang besar ini. Bila engkau ditakdirkan memperolehnya, pasti engkau akan memperolehnya. Aku akan datang pada saat yang tepat dan menuangkan air suci ke dalam mulutmu.”
Kondama Raju ( kakek jasmani Swami dari pihak ayah ) biasa melihat orang-orang ini datang menemui Swami dengan permohonan semacam itu. Dalam dirinya timbul keinginan untuk memperoleh karunia ini. Pada suatu hari ia menemui Aku dan memohon, “Swami! Swami lahir dalam keluarga kita, dalam garis keturunan kita. Swami telah menegakkan kehormatan dan kemuliaan garis keturunan kita. Tetapi, saya juga mempunyai permohonan kepada Swami. Saya berharap dan berdoa agar kelahiran saya dalam keluarga kita disucikan. Karena itu, saya mohon agar Swami berkenan menuangkan air suci ke dalam mulut saya dengan tangan Swami yang suci pada saat-saat terakhir hidup saya.” Kuyakinkan ia bahwa Aku pasti akan mengabulkan permohonannya. Ia merasa sangat gembira karena ia tahu bahwa bila Swami sudah berjanji, Beliau pasti akan menepatinya. Kondama Raju hidup sampai usia 112 tahun. Setiap pagi ia biasa berjalan dari desa menuju ke Mandir Baru untuk mendapatkan darshan-Ku. Suatu hari Aku bertanya kepadanya, “Mengapa Anda berjalan sejauh itu dari desa ke Mandir dan kembali lagi. Mungkin ada ternak sapi di jalan dan kalau mereka menerjang Anda, Anda akan jatuh dan terluka, bukan?” Ia biasa menjawab dengan berani, “Swami! Bila Swami melindungi saya dan selalu berada di samping saya, binatang mana yang bisa menyerang saya?”
Pada suatu hari ia datang ke Mandir pagi-pagi sekali dan mendapatkan darshan-Ku. Setelah itu ia pulang lalu berbaring. Setelah beberapa waktu ia memberitahu Iishvaraammaa agar pergi ke dekat Pura Satyabhaammaa dan melihat apakah Swami datang ke arah itu. Iishvaraammaa pergi ke situ, kembali lagi, lalu memberitahu dia, “Ya, Swami datang dengan mobil Beliau.” Pada waktu itu Swami mempunyai sebuah mobil kecil. Kondama Raju berkata, “Iishvaraammaa! Ambilkan segelas air dan taruh sehelai daun tulasi di dalamnya.” Iishvaraammaa melakukan hal itu. Kondama Raju memegangi gelas tersebut sambil menanti Aku. Ia tahu bahwa ajalnya telah menjelang dan bahwa Aku datang ke situ untuk menepati janji-Ku. Orang lain tidak ada yang mengetahui hal ini. Sambil memegang gelas itu ia berkata, “Swami! Saya siap!” Kujawab, “Aku juga siap.” Kutuangkan air ke dalam mulutnya. Setelah itu ia meninggal dengan damai. Sebelum meninggal, ia berkata, “Betapa beruntungnya saya bisa minum air dari tangan Swami yang suci sebelum meninggal dunia! Bahkan Raja Dasharatha yang melakukan tapa dan yajna yang hebat tidak mendapat kemujuran semacam ini. Tujuan hidup saya terpenuhi.” Sambil berkata demikian, ia memejamkan mata.
Dengan kejadian yang dialami Kondama Raju ini, sekali lagi terungkaplah ke seluruh dunia bahwa Swami pasti akan menepati janji, apa pun yang mungkin terjadi! Dengan demikian kehidupan Subbaammaa dan Kondama Raju terpenuhi.
Kuungkapkan permainan ketuhanan-Ku dengan berbagai cara untuk menepati perkataan-Ku. Aku mengusahakan segala-galanya untuk memenuhi janji-Ku. Meskipun demikian, ada sejumlah bakta yang perbuatannya bertentangan dengan perkataannya.
Aku dibawa ke Kamalapuram untuk melanjutkan sekolah. Kakak tubuh ini, Seshama Raju, ingin sekali Aku menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Karena itu, ia membawa-Ku bersamanya ke Kamalapuram dan memasukkan Aku ke sekolah di situ. Pada masa itu, karena kekurangan dana, Aku berusaha dengan susah payah agar dapat melanjutkan sekolah. Seringkali Aku harus berusaha dengan kantong kosong. Karena itu, Aku sering menggunakan bakat puisi-Ku untuk mendapatkan sedikit uang guna keperluan pribadi-Ku.
Di desa itu ada seorang pedagang bernama Kotte Subbaanna. Ia mempunyai toko kelontong yang juga menjual beberapa obat Ayurveda. Suatu kali di tokonya dijual obat Ayurveda baru yang disebut Baala Bhaaskara. Obat baru ini sangat manjur. Bila dipopulerkan, ia bisa mendapat keuntungan yang lumayan. Karena itu, ia meminta-Ku agar mengiklankan obat baru itu. Aku menyetujui permintaannya dan menanyakan beberapa keterangan lain tentang obat itu. Kemudian Kugubah sebuah nyanyian tentang keampuhan obat itu. Kukumpulkan beberapa anak sebaya-Ku untuk pergi berkeliling ke desa-desa tetangga sambil memegang plakat dan melantunkan nyanyian yang Kukarang. Nyanyian itu berbunyi sebagai berikut.
"Ini dia! Ini dia! Oh anak-anak! Datanglah, datanglah!
Ada obat Baala Bhaaskara.
Apakah gangguan pencernaan atau kaki bengkak,
Apakah nyeri sendi atau perut kembung,
Penyakit apa saja, dikenal atau tidak dikenal,
Makanlah Baala Bhaaskara ini agar segera sembuh!
Bila kalian ingin tahu di mana obat ini tersedia,
Ada di toko Kotte Subbaanna.
Di toko itu kalian dapat membelinya.
Kemarilah anak-anak! Kemarilah.
Ini tonik yang manjur sekali.
Diramu oleh dokter terkenal, Gopalaachaarya.
Kemarilah anak-anak! Kemarilah!"
( Nyanyian Bahasa Telugu)
Begitu perjalanan keliling kami ke desa-desa tetangga untuk mempromosikannya selesai, seluruh persediaan obat di toko Subbaanna sudah terjual habis. Ia senang sekali. Kemudian ia memanggil-Ku dan menawarkan sepasang celana pendek serta sebuah kemeja yang dibuatkannya di penjahit untuk-Ku. Namun, pemberian itu Kutolak mentah-mentah dengan berkata, “Subbaanna! Aku tidak mengarang nyanyian itu demi pakaian baru. Aku tidak memerlukannya. Aku tidak mau menyentuhnya. Silakan Anda ambil lagi. Bila Anda menawarkan uang atau barang-barang sebagai ganti pertolongan-Ku, Aku bahkan tidak mau masuk ke toko Anda lagi.” Ia menyadari ketulusan dan kesungguhan perasaan-Ku. Sejak saat itu ia sering berkata, “Raju! Aku tidak menginginkan apa-apa di dunia ini selain kasih sayang-Mu.”
Ketika Aku bersekolah di Kamalapuram, terjadi peristiwa lain. Aku mengikuti perkemahan pramuka di desa tetangga yang disebut Pushpagiri. Di situ sedang diselenggarakan pekan raya yang besar. Aku tidak berada di rumah selama beberapa hari dan tidak ada siapa pun untuk mengambil air buat keperluan rumah tangga dari sebuah sumur yang jauh letaknya. Karena itu, istri Seshama Raju harus memikul tanggung jawab tersebut. Ketika Aku kembali dari perkemahan pramuka, Seshama Raju merasa geram karena selama Kutinggal pergi, tidak ada orang yang membantu istrinya di rumah. Pada waktu itu ia biasa menggarisi buku dengan sebuah penggaris kayu. Begitu melihat Aku, ia berteriak kepada-Ku, “Hey! Ke sini! Selama beberapa hari ini di rumah tidak ada orang yang mengambil air. Kakak ipar-Mu terpaksa harus melakukan pekerjaan itu, di samping pekerjaan rumah tangganya sehari-hari.” Sambil berkata demikian, ia mengambil penggaris itu lalu memukuli Aku dengan berang sampai penggaris itu patah menjadi tiga. Tangan-Ku bengkak dan sakit sekali. Aku tidak menjawab dan juga tidak menceritakan kejadian ini kepada siapa pun. Kubebat sendiri tangan-Ku dengan kain basah.
Keesokan harinya anak laki-laki Seshama Raju meninggal. Ia mengirim telegram kepada Pedda Venkama Raju ( ayah Swami ). Venkama Raju bergegas datang untuk menengok Seshama Raju. Ia berangkat dari Puttaparti, sampai di Bukkapatnam, dan dari situ melanjutkan perjalanan ke Kamalapuram.
Griham Abbayi ( ayah Swami ) bertanya kepada-Ku mengapa lengan atas-Ku terbalut. Aku berusaha memberi alasan secara sambil lalu seakan-akan tidak ada apa pun yang terjadi. Kukatakan kepadanya bahwa lengan-Ku agak sakit karena melepuh dan karena itu Kubalut.
Di dekat rumah kami tinggallah seorang perempuan dari komunitas Visya yang biasa mencari nafkah dengan membuat dan menjual dosa ( semacam dadar dari tepung kacang hitam ). Ia menasihati Griham Abbayi dengan berkata, “Venkama Raju! Saya tahu Anda cukup mampu untuk menyekolahkan Raju di tempat Anda. Mengapa Anda membuat-Nya menanggung demikian banyak kesusahan dengan menitipkan-Nya pada kakak-Nya di tempat sejauh ini? Anda tidak tahu betapa menderitanya anak yang malang ini di sini. Setiap hari Ia harus mengambil air minum dari tempat yang jauh dengan memikul dua tempayan besar di bahu-Nya yang masih bocah.” Demikian ia menceritakan beberapa kejadian ketika Aku harus menanggung siksaan dan penderitaan fisik. Griham Abbayi sangat terharu ketika mendengar tentang keadaan-Ku yang menyedihkan. Ia segera memanggil-Ku dan berkata, “Anakku tersayang! Segeralah bersiap dan pergi bersamaku. Ayoh kita kembali ke Puttaparti.” Semua anggota keluarga menyayangi Aku. Karena itu, ia meratap, “Aku baru tahu kalau luka di tangan-Mu itu ternyata karena dipukuli kakak-Mu. Aku sendiri belum pernah memukul-Mu sampai hari ini. Engkau sangat menderita di sini. Ayoh! Mari kita kembali ke Puttaparti.”
Ketika kejadian ini berlangsung, Griham Abbayi memberikan komentar yang sampai hari ini masih terngiang di telinga-Ku. “Sathyam! Bila manusia hidup, ia bisa mencari nafkah bahkan dengan berjualan garam. Aku tidak bisa lagi membiarkan Engkau menanggung siksaan seperti ini. Tidak bisakah aku memelihara Engkau walau dengan penghasilanku yang kecil?” Air matanya bercucuran ketika mengatakan hal itu. Sejak saat itu ia tidak mengirim-Ku pergi dengan siapa pun.
Pendidikan formal-Ku berhenti sampai Sekolah Lanjutan Pertama. Aku tidak mengikuti pelajaran di perguruan tinggi mana pun. Meskipun demikian, selama ini Aku terus melakukan misi-Ku sebagai Satya Bodhaka ‘Guru yang mengajarkan kebenaran’ dengan Puttaparti sebagai pusatnya.
Aku mengarang sajak indah yang melukiskan kemuliaan sejarah Puttaparti sebagai berikut.
"Dilingkari sungai suci Chitravatii
yang mengalir dalam keindahannya yang asli,
Dikelilingi kebun-kebun mangga yang melambangkan keberuntungan,
Keempat sisi kota itu selalu dijaga oleh Paarvatii dan Parameshvara.
Di tengah kota itu, disemayamkan dengan teguh,
Vishnu yang bersinar dengan segala kemuliaan-Nya.
Kota yang terkenal di seluruh dunia ini
Adalah Puttapuram atau Puttaparti
Dengan telaga air segar yang dibangun oleh Chikkavadiyar
Tegak bagaikan monumen abadi
Yang mengingatkan kejayaan Bukkaraya."
( Puisi Bahasa Telugu)
Kubangun suatu kompleks perumahan untuk memperingati kasih dan bakti Subbaammaa yang sangat besar kepada-Ku dan Kunamai sebagai Karanam Subbaammaa Nagar. Letaknya di samping Gokulam. Aku juga membeli beberapa sapi betina dan mempekerjakan sejumlah orang untuk memeliharanya. Beberapa di antara orang-orang itu diberi tempat tinggal di beberapa rumah di Karanam Subbaammaa Nagar. Demikianlah Aku berusaha agar nama Subbaammaa dikenang selamanya oleh para bakta.
Beberapa tahun yang lalu Aku memulai suatu proyek yang dinamai Diinajanoddhaarana Pathakam untuk mengadopsi sejumlah anak piatu, memberi mereka makanan, pakaian, dan pendidikan sehingga bila mereka tumbuh dewasa, mereka akan dapat menempuh hidupnya secara terhormat dan bermartabat. Aku mengurus anak-anak ini dengan penuh kasih dan perhatian. Kalian pasti sudah melihat anak-anak ini bila mereka datang untuk darshan setiap hari Kamis dan Minggu.
Aku juga membangun tempat tinggal untuk menampung anak-anak ini sehingga mereka dapat hidup dengan senang di perumahan tersebut. Di samping pendidikan sekolah yang biasa, sekarang mereka juga dilatih agar menguasai berbagai keahlian. Demikianlah banyak sekali kegiatan bakti sosial yang telah Kulakukan sejak masa kanak-kanak-Ku. Bila semua itu harus diceritakan, bisa mengambil waktu berjam-jam.
Para mahasiswa dan pelajar yang terkasih!
Aku sangat menyayangi kalian. Aku berharap agar kalian semua tumbuh dengan baik dan mendapat nama baik. Aku menyayangi anak-anak yang mendapat nama baik. Sesungguhnya, Kuberikan diri-Ku kepada anak-anak semacam itu. Aku akan memberimu apa pun yang kaukehendaki.
Shivaraatri, Prashaanti Nilayam, 9 – 3 – 2005 ( sore ).
Diterjemahkan : Dra. Retno Buntoro
Berikut adalah audio dari wacana ini :