TIGA CINCIN DAN PREMA SAI


Saya menunjukkan cincin yang rusak kepada Baba dan bertanya apakah Beliau berkenan memperbaikinya. “Ya,” kata Baba.“Tetapi jangan membawa cincin itu ke tukang emas. Swamiji adalah tukangnya.” Namun, Beliau tidak memperbaikinya waktu itu.

Istri saya dan saya kembali ke Amerika, dan sekarang, setahun kemudian, kami berada di India lagi. Cincin itu masih tetap rusak; belum diperbaiki. Kemudian, suatu sore di beranda rumah Swami di Brindavan, ketika ruang  itu  penuh  dengan  para mahasiswa untuk bhajan sore, Baba berpaling ke arah saya dan berkata agar memberikan cincin itu kepada-Nya. Beliau memeriksanya, lalu memberikan kepada para mahasiswa untuk mereka lihat secara bergiliran. Begitu cincin itu kembali kepada Baba, Beliau meniupnya, dan seketika itu juga muncullah cincin yang baru. Baba tersenyum kepada saya, tetapi tidak memberikan cincin itu kepada saya. Beliau malah memberikan lagi cincin itu kepada para mahasiswa agar dilihat bergantian. Ketika cincin itu kembali, Baba memasangnya di jari saya. Cincin ini sama sekali berbeda. Bukan emas berat seperti yang sebelumnya, tetapi ringan, dengan hiasan dari benang emas yang halus di sekeliling ikatan mata cincin dan turun sampai ke lingkaran  cincinnya.  Mata cincin itu batu biru muda dengan potret Baba yang kecil, tetapi indah. Karena saya kurang hati-hati, cincin itu tidak bertahan lama. Batu mata cincin itu pecah, lepas, dan segera jatuh dari ikatannya. Saya gantungkan cincin itu pada rantai kalung di leher saya, dan tetap di sana hingga saya ke India lagi.

Dalam perjalanan berikutnya, bila saya di hadapan Baba, saya kenakan cincin yang kosong itu, dan sering-sering menyentuh hidung saya agar cincin itu terlihat. Orang lain di sana bergurau bahwa Baba telah memberikan cincin yang sempurna untuk saya, karena dengan imajinasi, saya dapat mengisinya dengan potret Beliau yang mana saja pada bagian yang kosong.

Akhirnya saya menyerah, takut mengatakan secara langsung bahwa saya sudah merusakkan lagi cincin Baba, dan saya pasang kembali pada rantai kalung saya. Pada suatu sore ketika saya sedang bersama Baba dalam acara kidung suci di beranda yang berkaca di Brindavan, Beliau memandang saya dan berkata, “Benjolan apa itu di balik bajumu, Hislop?”

Tentu saja Beliau tahu benar benda apakah itu. Namun, seketika itu juga saya mengeluarkannya dan berkata, “Ini cincin saya Swamiji. Pecah lagi.”

“Berikan kepada-Ku,” perintah Baba, dan dengan cepat saya berikan. Beliau memeriksanya lalu berkata, “Batu ini tidak bagus.” Beliau melemparkannya kembali kepada saya. Kemudian dengan gerakan tangan-Nya yang kami kenal, Beliau meniup di antara ibu jari dan telunjuk yang kosong, dan saya dapat melihat kilauan emas, tetapi bukan cincin. Sekali lagi, untuk menggoda saya, Beliau memberikan cincin itu kepada orang di samping saya untuk dilihat secara bergantian ke arah yang menjauhi saya, tetapi akhirnya kembali, dan Beliau berikan kepada saya.

Cincin baru ini sungguh menakjubkan, suatu ciptaan yang indah sekali. Cincin ini berat. Beratnya paling tidak pasti tiga ounces (kira-kira 85 gram) emas. Lingkarannya lebar dan berat, menopang piringan emas yang tebal, dan dari situ timbul potret Baba dengan relief yang tegas, dari kepala hingga dada, semuanya satu unit emas padat. Malam itu di rumah, istri saya dan saya mengagumi cincin tersebut dan merasa amat gembira. Untung kami telah mencermatinya karena cincin itu hanya berumur semalam.

Keesokan harinya ketika para mahasiswa perguruan tinggi berkumpul di jalan kecil di luar beranda untuk memberi hormat kepada Baba ketika Beliau turun tangga, dan ketika kami mengerumuni Beliau, Beliau berkata, “Berikan cincin itu kepada Ku, Hislop.” Dengan hati-hati Beliau memeriksa cincin tersebut kemudian berkata kepada saya, “Apa yang kaukehendaki,  gambar Swami atau gambar Prema Sai?”(Prema Sai akan menjadi penjelmaan ketiga Avatar ini).

Alangkah sulitnya pertanyaan yang diajukan Baba! Saya  sama sekali tidak bisa menjawab, jadi saya tidak berkata apa-apa. Kemudian Beliau berjalan berkeliling dalam kelompok tersebut, memperlihatkan cincin itu kepada setiap orang. Ketika kembali ke tempat saya berada, Beliau berkata lagi, “Nah, Hislop, akan jadi apa ini? Swami atau Prema Sai?”

Coba bayangkan. Baba saya cintai dengan segenap hati saya, dan Beliau berdiri di hadapan saya. Dapatkah saya mengatakan, “Saya memilih Prema Sai lebih daripada Anda sendiri, Swami tersayang?” Tidak akan pernah! Maka saya pun memberikan jawaban secara cerdik untuk sesaat dan berkata, “Sekehendak Swamiji.” “Baiklah,” kata Beliau, “Kalau begitu, biarlah Prema Sai. Eng- kau sudah mempunyai Swamiji.”

Para mahasiwa berdesakan di sekitar Beliau, hampir menyen- tuh Beliau, dan saya hampir tidak mendapat tempat untuk melihat. Beliau memegang cincin tersebut, menggenggamnya kembali, seolah-olah apa yang akan terjadi terlalu berharga untuk dilihat secara terbuka, kemudian Beliau meniupkan napas yang kreatif tiga kali di antara ibu jari dan telunjuk, membuka tangan Beliau, dan di situ ada Prema Sai! Cincin itu berwarna perak, terbuat dari campuran lima macam logam khas India. Batunya adalah kameo Prema Sai, Sang Pencipta yang penuh kasih, yang ditakdirkan untuk memperlihatkan diri di bumi beberapa tahun setelah wafatnya tubuh Sathya Sai. Batu ini berwarna kecoklatan, tergosok halus, dan diukir dalam bentuk profil. Batang dan panjang hidung (yang tidak tampak, hanya) terlihat dari kesan lengkungan mata kiri. Profil ini menampakkan kepala yang mulia dengan rambut sebahu, kumis, dan jenggot. Kepala Prema Sai ini terletak atau muncul dari atas kembang teratai. Wajah Beliau tenang, damai, dan agung.

Baba berkata, “Sekarang Dia sedang dalam proses kelahiran, jadi Aku tidak dapat memperlihatkan lebih banyak tentang diri- Nya. Inilah pertama kalinya Beliau diperlihatkan kepada dunia.”

Para mahasiswa senang sekali dan segera mengeluarkan kamera untuk mengambil foto. Namun, saya sembunyikan cincin itu dan bertanya apakah Baba memberi izin. Beliau menjawab, “Jangan. Jangan dipotret.” Ke mana pun saya pergi, para bakta ingin melihat cincin itu, untuk melihat wajah Prema Sai. Kira-kira dalam setahun, para bakta yang dulu sudah melihat cincin itu, mengatakan sesuatu yang mengherankan ketika melihatnya lagi. Mereka berkata, “Cincin ini bergerak. Sekarang seluruh hidungnya bisa dilihat.” Jawaban saya selalu apa adanya bahwa saya tidak melihat  perubahan. Akan tetapi, mereka berkata, “Anda melihatnya setiap hari dan tidak memperhatikannya.” Meskipun demikian, saya serahkan hal itu pada imajinasi  dan semangat mereka yang melihat cincin tersebut. Hal itu berlangsung hingga tahun ini (1980). Pada suatu hari, dalam pertemuan umat, saya perlihatkan cincin tersebut dan saya cermati. Saya terkejut, “Cincin ini berbeda! Cincin ini berubah!”

Sekarang seluruh hidungnya ada dan terlihat, sedangkan pada mulanya seluruh hidungnya tidak terlihat, atau lebih baik dikatakan bahwa dulu hidungnya lebur di tepi batu dan tidak terlihat sepenuhnya. Namun, sekarang ada jarak antara hidung dengan tepi batu. Lagi pula, sebagian mata kiri dan juga sebagian pipi kiri dapat dilihat. Kami hampir tidak sabar menunggu untuk melihatnya beberapa tahun lagi. Cincin itu akan tampak bagaimana setelah sepuluh tahun? Setelah dua puluh tahun? Agaknya saya harus sangat berhati-hati dengan cincin itu. Sekarang saya hanya mengenakannya dalam pertemuan para bakta Sri Sathya Sai. Pada waktu yang lain, cincin itu terletak dengan aman di ruang doa bersama dengan salib suci yang diciptakan Baba beberapa tahun yang lalu.