PIKIRAN KITA YANG MURNI


Kata “pikiran” dan sebutannya “yang murni” adalah simbol tidak tertulis yang menggambarkan sesuatu atau sifat tertentu. Namun, keduanya tidak menunjukkan sesuatu yang dapat diukur sehingga dapat diberi definisi standar agar bisa dimengerti. Bila kita berbicara tentang pikiran yang murni, kita membicarakan sesuatu yang subjektif, dan kita tidak yakin apakah kita semua memberikan arti yang sama pada kata-kata tersebut. Walaupun demikian, yang dimaksud adalah sesuatu yang nyata.

Bagaimana kita bisa menyetujui apa yang dimaksud dengan pikiran yang murni? Pilihan kita tidak banyak. Kita dapat mempelajari apa yang dikatakan oleh kaum bijak waskita yang agung. Kita bisa mendapat sejumlah pendapat dari berbagai macam orang, dan berusaha mendapatkan pandangan umum, atau kita bisa beranggapan bahwa kita benar-benar mengerti apa yang kita bicarakan bila kita mengatakan “pikiran yang murni”, walaupun hal itu bersifat subjektif, tidak terukur, atau tepat.

Akan setujukah kita bahwa pikiran yang kacau bukan apa yang dimaksud dengan pikiran yang murni? Saya percaya kita akan setuju. Seandainya ada pikiran yang kita sadari karena aliran gagasannya yang jernih, tepat, dan logis, mungkin kita akan mengagumi pikiran semacam itu, tetapi saya sangsi apakah itu yang kita maksud dengan pikiran yang murni.

Bagaimana dengan kualitas pikiran sebagai faktor yang menentukan kemurnian pikiran? Hampir semua orang akan setuju bahwa ada beberapa pikiran yang tidak murni, tetapi bukan berarti semua pikiran tidak murni. Ada pikiran yang penuh kasih terhadap sesama penghuni planet bumi. Ada pikiran yang masuk  akal dan kira-kira  bersifat  netral  mengenai berbagai topik, dan ada pikiran yang penuh bakti mengenai hal-hal yang suci. Akan tetapi, semua pikiran timbul dari suatu masalah atau urusan yang mungkin murni , atau mungkin tidak murni sama sekali. Pikiran-pikiran itu berlangsung beberapa saat, kemudian hilang/lenyap. Kita mungkin menyebut beberapa pikiran  tertentu mengagumkan dan murni ketika gagasan itu timbul. Namun, ketika pikiran-pikiran itu hilang/lenyap, ada disintegrasi dan produk samping, salah satunya yaitu pola pikiran telah dipengaruhi dan diubah oleh pemikiran itu, walaupun dalam tingkatan yang kecil sekali. Saya ragu apakah istilah “pikiran yang murni” kita artikan sebagai pikiran yang sebagian murni atau hanya murni pada waktu-waktu tertentu.

Bila kita mengatakan “pikiran yang murni” yang kita maksud pastilah pikiran yang memang murni dengan sendirinya, dan bukannya murni karena suatu hal lain. Kita sebut matahari sebagai cahaya yang murni karena matahari pada hakikatnya adalah cahaya. Bukankah itu yang kita maksud bila kita berbicara tentang pikiran yang murni? Setidak-tidaknya pada saat ini, tampaknya bila kita menggunakan kata “pikiran yang murni”, yang kita maksud bukanlah kemurnian karena adanya suatu jenis pikiran tertentu. Tampaknya yang kita maksud adalah pikiran itu murni karena sama sekali tidak ada gagasan.

Pikiran tanpa gagasan! Seperti apakah pikiran yang tidak menggagas hal yang halus, kasar, atau gagasan apa pun? Kadang-kadang kita mengalami keadaan pikiran semacam itu. Banyak orang, atau mungkin semua orang, sekali-sekali meng- alami pikirannya menjadi lambat dan hampir tidak memikirkan apa pun, atau pikirannya berhenti sama sekali. Kata orang, dalam saat-saat seperti itu mereka merasa damai dan bahagia. Bila tidak ada pikiran, kita berada dalam keadaan yang damai, dan kedamaian itu dirasakan sebagai kebahagiaan. Akan tetapi, pada kebanyakan orang, saat-saat yang damai dan bebas dari pikiran itu tidak berlangsung lama. Berbagai masalah sudah menunggu untuk mengganggu kita. Segera datang lagi gagasan di dalam pikiran. Jadi, bila kita berkata,“pikiran yang murni”, akan diragukan apakah yang kita maksud adalah pikiran yang tidak bisa berbuat lain selain memikirkan berbagai urusan?  Setiap  hari pasti ada berbagai masalah mendesak yang tidak dapat kita abaikan.

Bila kita menyelidiki apa yang dimaksud bila kita mengatakan “pikiran yang murni”, tampaknya kita akan menghadapi masalah karena pikiran yang menampung gagasan tidak bisa dianggap “murni”. Namun, berbagai urusan timbul dalam kehidupan sehari-hari, hal ini tidak dapat dihindari, lalu pikiran terpancing dan menjadi giat. Di sini tampaknya mungkin “pikiran” dan “murni” tidak cocok digabungkan bersama. Kemurnian itu sendiri adalah hal yang nyata bagi kita, karena kita tahu bahwa seorang anak kecil atau orang yang mulia bisa “berhati murni”, mempunyai “niat yang murni”, dan lain-lain. Pikiran itu sendiri merupakan hal yang nyata bagi kita karena kita perhatikan bahwa apa yang kita sebut pikiran di dalam diri kita juga terlihat bekerja di dalam diri orang lain. Mungkinkah karena pikiran itu mudah dipengaruhi dan digerakkan oleh berbagai gagasan, maka kita perlu membuat persetujuan bersama tentang topik kita dan berbicara tentang “pikiran kita yang barangkali murni”? Mungkin demikian, tetapi masih ada beberapa kemungkinan yang perlu dijajaki. Dapatkah pikiran dilenyapkan? Dapatkah kita hidup sebagai manusia yang cerdas dan luwes tanpa pikiran? Atau, adakah pikiran yang keheningannya demikian teguh dan kokoh sehingga tidak ada masalah yang dapat memecahkan keheningan itu; dan tanpa pikiran, bagaimana mungkin ada kegiatan yang paling remeh pun yang perlu untuk mempertahankan hidup?

Saya percaya kita akan mengakui bahwa pengetahuan  kita tidak demikian lengkap sehingga kita selalu dapat segera memberikan jawaban yang benar, terutama mengenai sesuatu yang tidak mudah dimengerti seperti pikiran. Saya yakin sebagian  besar  dari  kita  harus  mengakui  bahwa beberapa aspek dalam hidup kita masih belum jelas benar bagi kita. Banyak di antara kita, mungkin sebagian besar dari kita, tidak dapat mengatakan secara pasti apakah pikiran bisa atau tidak bisa dilenyapkan, apakah kita bisa atau tidak bisa hidup secara efektif tanpa pikiran, atau apakah pikiran yang murni dan selalu hening itu ada atau tidak mungkin ada. Bidang pengetahuan ini tidak ada dalam pengalaman kita sekarang. Jika kita berusaha membuat kesimpulan tanpa mengalaminya lebih dahulu, itu akan merupakan spekulasi saja, dan bukan pemikiran yang benar. Yang kita perlukan adalah mengalaminya lebih jauh, kemudian membuat suatu kesimpulan yang masuk akal.

Setelah penyelidikan kita berada dalam tahap ini, yaitu tentang apa yang kita maksud dengan “pikiran yang murni”, kita dapati diri kita berada dalam situasi yang sulit karena terbatasnya pengalaman. Sebaiknya kita bertanya kepada Sri Sathya Sai Baba untuk mendapatkan informasi tentang pikiran dan untuk memperoleh nasihat bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan pengalaman yang langsung dan mendalam untuk mengatasi masalah kita. Mereka yang telah mendengarkan dan berbicara dengan Sai mengetahui bahwa kebijaksanaan Beliau tidak terukur dan tidak ada seorang pun bisa mengajukan pertanyaan yang tidak dapat segera Beliau jawab dengan benar. Sri Sathya Sai memberi kita informasi tentang pikiran yang akan sulit kita dapatkan di tempat lain. Beliau memberi tahu kita bahwa kemurnian, di mana pun juga, adalah kasih Tuhan yang tidak dikhususkan oleh gagasan diri pribadi. Dari gagasan tentang diri pribadi timbullah konsep tentang “milikmu” dan “milikku”. Dari perasaan memiliki, timbullah hasrat dan rasa cinta pada objek-objek keinginan itu, kemudian terbentuk pikiran mengenai objek-objek tersebut, dan aliran keinginan serta pikiran ini disebut sebagai “pikiran kita”. Baba memberi tahu kita bahwa bila keinginan akan objek-objek (duniawi) dan stimulasi pengalaman yang menyenangkan dilenyapkan, pikiran akan mereda. Beliau memberi tahu kita bahwa komunikasi langsung yang sejati dan murni antara orang yang satu dengan yang lain berlangsung melalui keheningan, bukan melalui pikiran yang diresahkan oleh berbagai gagasan terbatas yang kemudian dinyatakan dengan kata-kata yang terbatas. Untuk menerangkan hal ini, dikutip contoh tentang seorang bijaksana yang  bernama Dakshinamūrti. Melalui keheningan Dakshinamūrti me- nyampaikan pengetahuan tentang kebebasan yang mutlak, murni, dan sempurna kepada para muridnya. Para muridnya melihat secara langsung, seperti bila kita melihat gunung, kita tahu bahwa gunung terlihat, dan kita tidak perlu berusaha memikirkan atau menarik kesimpulan.

Bagaimanapun juga tidak dapat diingkari bahwa pikiran, atau paling tidak potensi pikiran, memang ada. Sai sendiri berkata bahwa pikiran yang murni adalah aspek Tuhan, oleh karena itu, pada hakikatnya merupakan kasih serta kedamaian Tuhan. Bila gagasan tentang diri pribadi lenyap dan tiada minat pada keinginan, maka pikiran tak lain adalah (kesadaran) Tuhan sendiri. Jadi, jika kita berspekulasi bahwa pikiran yang murni dan tidak diresahkan oleh pola-pola pikiran dengan demikian tidak dapat menghadapi berbagai tantangan kehidupan sehari- hari, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa tidak dapat melaksanakan kehendak-Nya. Pendapat semacam itu tidak dapat dipertahankan karena baik kenyataan eksistensi kita atau pun kegiatan dan energi alam semesta yang tidak terukur tidak tergantung pada gerakan dan rangkaian perubahan pikiran serta keinginan yang bersifat sementara yang kita sebut “pikiran kita”.

Jika kita bersedia mengakui kemungkinan bahwa Tuhan tidak dapat dihalangi, katakanlah, oleh tiadanya aliran keinginan dan pikiran yang selalu berubah-ubah yang kita yakini sebagai “pikiran kita”, maka kita dapat meminta nasihat kepada Sai bagaimana caranya agar kita dapat menenangkan kegelisahan mental kita.

Pastilah cukup jelas bagi kita bahwa jika hidup kita terus berlangsung seperti sekarang, pikiran kita pun akan terus berlangsung seperti sekarang. Baba menegaskan bahwa itu memang benar; pikiran yang murni menggambarkan perubahan yang mendasar. Agar hidup kita mencapai takdir yang sudah merupakan sifat bawaannya bagaikan bunga yang mekar pada waktunya atau buah yang ranum pada musimnya maka anggapan kita tentang diri pribadi yang terbatas harus kita serahkan kepada pikiran yang murni, yaitu (kesadaran) Tuhan yang merupakan pembawaan kita. Baba menyamakan situasi ini dengan permainan kursi musik yang terkenal. Dalam versi khusus permainan ini, ego kita (anggapan kita tentang diri pribadi) harus mengosongkan takhtanya dalam pikiran kita agar Tuhan dapat menempati singgasana itu. Bila ditempati oleh ego, pikiran merupakan aliran keinginan dan gagasan yang selalu berubah-ubah, tetapi bila (kesadaran) Tuhan menempati singgasana itu, maka pikiran menjadi murni dan hening.

Menurut Sai, bila pikiran diubah dari gagasan dan keinginan menjadi (kesadaran) Tuhan, maka perkataan dan perbuatan kita menjadi ekspresi langsung kehendak Tuhan yang tidak terhalang. Dengan demikian, segala kegiatan timbul dari kesadaran Tuhan, dan bukannya dari pikiran individu. Untuk memberi contoh, Sai bercerita tentang Raja Janaka yang menyerahkan pikiran, perkataan, dan perbuatannya kepada Tuhan dalam wujud seorang bijaksana muda, Ashtāvakra.

Raja Janaka meminta kepada pemuda bijak itu sesuatu yang dapat memberikan kebebasan (dari lingkaran kelahiran dan kematian). Ashtāvakra menjawab bahwa sebagai penggantinya  ia menghendaki sesuatu yang sangat berharga. Raja Janaka menyatakan bahwa ia adalah seorang pria yang terhormat, bahwa perkataannya adalah keputusannya, dan tanpa ragu sesaat pun ia akan memberikan apa saja yang diminta. Ashtāvakra yang bijak berkata, “Oh Raja, berikan pikiran, perkataan, dan perbuatan Anda kepada saya. Raja menjawab,“Guru Yang Mulia, saya berikan kepada Guru pikiran, perkataan, dan perbuatan saya,” lalu raja pun diam. Ashtāvakra memerintah raja, “Duduklah di sini di atas tanah,” kemudian ia pergi ke dalam hutan. Para pejabat istana tidak berhasil mendapat tanggapan ketika mereka berbicara kepada raja. Mereka membawa para ratu dari istana mereka. Namun, para ratu pun tidak berhasil mendapatkan sepatah kata pun dari raja yang sedang duduk. Sekarang para pejabat istana sangat khawatir, mereka menyebar ke hutan di sekitarnya hingga Ashtāvakra ditemukan. Mereka memprotes, “Oh Yang Bijaksana, Anda telah menyihir raja kami!” Bukan begitu,” jawab Ashtāvakra, “Marilah kita kembali.” Raja Janaka masih duduk di tanah,  dikelilingi oleh para ratu yang kebingungan. Ashtāvakra berkata kepada raja, “Bangkitlah.” Ketika Janaka berbuat demikian, Ashtāvakra berkata, “Berbicaralah kepada para wanita yang ada di sini bersama Anda.” Raja Janaka melakukannya. Kemudian raja dan para pengawalnya kembali ke istana. Sejak saat itu, Janaka yang sudah tidak mempunyai kesadaran diri pribadi sedikit pun memerintah kerajaannya selama bertahun-tahun; kesadaran Tuhan diungkapkan melalui dirinya.

Dengan demikian Sai memberi tahu kita bahwa pikiran yang murni adalah pikiran yang diserahkan kepada Tuhan, dan tidak mempunyai kesadaran diri pribadi. Perubahan yang diperlukan untuk mendapatkan pikiran yang murni tidak kurang dari, “Matilah (kesadaranmu sebagai) manusia! Sekarang hiduplah dengan kesadaran Tuhan!” Perubahan dari pikiran manusia yang sibuk dan resah menuju kesadaran Tuhan yang murni, kata Sai melambangkan loncatan kuantum, bukan kemajuan yang bertahap (sedikit demi sedikit).

Informasi Sri Sathya Sai sungguh mengagumkan, tetapi kita menyelidiki tentang diri kita sendiri sebagaimana yang kita dapati sekarang, dan kita memerlukan lebih dari sekadar kata-kata yang menggetarkan dan menerangkan. Kita sangat membutuhkan penghayatan langsung yang bersifat pribadi dalam  bidang pikiran yang murni ini sehingga kita dapat memindahkan kesadaran kita dari dasar teori ke pengalaman yang vital dan hidup. Jika ini dapat dicapai, agaknya tenaga kita bisa dikumpulkan untuk memusatkan perhatian secara intens ke kedalaman diri kita yang subjektif. Dalam kewaspadaan yang tenang dan seimbang ini mungkin akan timbul sekilas penghayatan diri sebagai kesadaran Tuhan, sebagai pikiran yang murni dan hening. Sai menyatakan, “Kemurnian adalah penerangan.”

Akan baik sekali bila kita bertanya lagi kepada Sai bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan pengalaman langsung yang pertama dalam pikiran yang murni ini. Setidaknya, jelas sekali bagi penulis bahwa Sri sathya Sai telah menunjukkan bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan pengalaman pertama yang akan membuat bidang pikiran yang murni ini nyata bagi kita. Jalannya telah ditunjukkan oleh Sai ketika Beliau berkata, “Siapakah engkau? Kesedihan dan penderitaan tidak akan berhenti sebelum engkau mengetahui jawab pertanyaan ini.” Sai memberikan sebuah lampu di tangan kita yang dapat kita gunakan tanpa tergantung kepada siapa saja di dunia  atau pun di surga, sebuah lampu yang dengan cepat dapat memperlihatkan kenyataan pikiran yang murni dan hening, yang dapat mengetahui secara langsung tanpa gerak pikiran atau gagasan tentang diri pribadi. Kita hanya perlu memperhatikan perasaan “aku” yang selalu kita sadari, lalu memusatkan segenap perhatian dan kewaspadaan mental kita ke sana; tidak secara mengotot, tetapi dengan santai. Hampir dapat dipastikan akan timbullah pengalaman pertama yang kita butuhkan, dan setelah itu hidup kita tidak akan pernah sama lagi.