20. Jalan Menuju Kebebasan


     Kelahiran sebagai manusia sangat sulit dicapai. Hal ini tidak dapat diperoleh dengan mudah. Badan kita ini dapat dimisalkan sebagai penginapan (disitu musafir yang berziarah ke tempat suci berteduh di malam hari). Pikiran adalah penjaganya. Jiwa adalah peziarah yang tidak mempunyai pertalian keluarga dengan siapa pun juga di tempat penginapan. Ia sedang dalam perjalanan menuju kota kebebasan. Agar perjalanan itu lancar tanpa kesulitan, tidak ada yang dapat lebih diandalkan daripada namasmarana, yaitu mengingat dan mengulang-ulang nama Tuhan. Sekali engkau menghayati keindahan nama itu, engkau tidak akan lelah, resah, atau pun lamban. Engkau akan menempuh penziarahan di jalan spiritual dengan riang, penuh semangat, dan dengan keyakinan yang dalam. Meskipun demikian, ada syarat lain yang penting untuk melaksanakan sādhanā ini, yaitu tingkah laku yang bajik, adil, dan benar. Bila orang tidak takut berdosa, kebajikan tidak akan tumbuh; demikian pula kasih kepada Tuhan pun tidak akan berkembang. Rasa takut berdosa ini menimbulkan bhakti yang kemudian membuat orang itu memuja Tuhan.

     Ketololan adalah penyebab utama kejatuhan manusia. Sering manusia bertingkah laku seperti kambing! Bila satu terperosok ke dalam jurang, lainnya semua berjatuhan ke dalam lubang yang sama mengikutinya. Hal ini membawa malapetaka. Untuk mencegah hal ini, lebih baik engkau menimbang dulu baik buruknya, pro dan kontranya, sebelum engkau melompat. Maut tidak akan mengabaikan siapa pun juga. Kematian terus mengancam semua makhluk; bila hari ini giliran orang lain, giliranmu akan datang besok. Tengoklah bunga-bunga di taman! Bila tukang kebun memetik mereka, kuncup-kuncup bunga bersukaria karena besok akan mendapat giliran dikumpulkan di tangannya. Mereka mekar dengan wajah berseri penuh keriangan mengharapkan hal itu. Apakah mereka merasa sedih? Apakah wajah mereka murung terkulai? Apakah kecerahan mereka berkurang? Tidak. Pada saat mereka mengetahui bahwa giliran mereka akan tiba keesokan harinya, mereka mempersiapkan diri dengan penuh semangat dan kegembiraan yang besar. Engkau juga harus mempersiapkan diri sambil menempuh jalan spiritual. Ingatlah dan ulang-ulang selalu nama Tuhan dengan penuh semangat. Jangan khawatir atau sedih karena ada orang meninggal hari ini dan giliranmu akan tiba besok. Badan manusia ini seperti lampu neon. Pikiran di dalamnya selalu berkedip berganti-ganti dan resah. Melihat kejenakaannya, maut tidak habis-habisnya tertawa. Jiwa ini seperti burung dalam sangkar yang berlubang sembilan*). Sungguh menakjubkan bagaiman burung ini mempunyai badan, bagaimana ia dapat masuk ke dalam sangkar, dan bagaimana ia dapat terbang meninggalkan sangkar itu. Sura (para dewa, para malaikat), muni (kaum bijak waskita), dan manusia di seluruh dunia semuanya menjalani hukuman yang sama. Semuanya memikul beban badan. Dari semua makhluk ini, siapakah temanmu dan siapakah musuhmu? Bila egoisme lenyap, semua adalah teman. Pada waktu itu tidak ada musuh. Ini adalah pelajaran yang harus dicamkan oleh setiap orang.

     Manusia mengalami suka dan duka melalui indra pendengarannya. Karena itu, hindarilah kata-kata keras yang tajam dan menyakitkan. Gunakanlah kata-kata yang manis, menyenangkan, dan halus. Pada kehalusan itu tambahkanlah manisnya kebenaran. Bila engkau menghaluskan kata- katamu dengan menambahkan dusta, engkau hanya akan membuka jalan untuk kesengsaraan yang lebih besar.

     Peminat kehidupan rohani harus menggunakan kata- kata yang sangat halus, manis, benar, dan menyenangkan. Orang semacam itu dapat dikenal dengan mudah karena sifat-sifat baiknya. Pikirannya adalah Mathurā, hatinya adalah Dvārakā, dan badannya adalah Kashi. Di kaki gerbang yang kesepuluh ia dapat menyadari penerangan batin yang tertinggi (paramjyoti). Tetapi semua usahanya tidak akan ada gunanya bila hatinya tidak murni. Lihatlah ikan! Selamanya tinggal di dalam air, tetapi dapatkah ia melepaskan dirinya dari bau yang anyir? Tidak. Dengan demikian tidak menjadi soal betapa pun banyaknya latihan spiritual yang kautempuh untuk memurnikan pikiran dan perasaanmu, bila hatimu penuh dengan egoisme, engkau tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari keinginan dan hawa nafsu. Bila engkau ingin membebaskan diri dari rasa keakuan dan kemilikan, pujalah Tuhan. Jadilah seorang sādhaka tanpa memiliki rasa suka atau tidak suka. Keresahan pikiran semacam ini tidak dapat tinggal di dalam hatimu bersama dengan kebajikan dan  kebijaksanaan.  Terang  dan  gelap  tidak  dapat  berada di tempat yang sama pada saat yang sama, bukan? Mereka yang hatinya dikuasai oleh enam macam hawa nafsu*)  hanya akan memiliki egoisme. Dan mereka yang egois lebih buruk daripada orang-orang yang kurang pengetahuan, walau mungkin mereka mengaku sebagai sarjana, pendeta, atau petapa.

     Dapatkah keledai yang mengangkut minyak wangi berubah menjadi gajah? Dapatkah keledai menjadi gajah hanya dengan mengangkat seikat kayu cendana? Keledai itu dapat merasakan berat bebannya; tetapi tidak dapat menghargai harumnya! Sedangkan gajah tidak memperhatikan berat bebannya, ia senang menghirup bau yang harum itu. Demikian pula peminat kehidupan rohani yang sejati, sannyasi, atau bakta hanya akan menerima kebenaran yang suci, hakikat murni perbuatan yang baik. Dari usahanya mempelajari kitab-kitab suci, Veda, Upanisad dan Śāstra, ia akan menghirup kesalehan. Sebaliknya, bila orang menyukai perdebatan demi perdebatan itu sendiri dan untuk memamerkan kesarjanaannya, ia hanya akan mengetahui beratnya beban logika tersebut. Ia akan kehilangan ‘keharuman’ kebenaran! Mungkin penonton akan memuji sarjana yang suka berdebat ini sebagai tokoh kitab-kitab suci (Śāstra dan Veda), tetapi bagaimana dapat demikian bila para sarjana tersebut tidak memiliki sifat- sifat dasar yang diperlukan? Beban tidaklah penting bagi mereka yang mencari hakikat kebenaran. Tetapi, bila hanya penalaran yang digunakan, mereka tidak akan memperoleh hal yang berarti. Kasih adalah alat yang utama untuk mengingat Tuhan dengan tiada putusnya. Untuk menjaga agar alat itu aman dan kuat, sādhaka tidak memerlukan apa pun juga selain sarung pedang viveka.

     Di dunia ini banyak orang yang menggunakan pengetahuannya yang luas dalam perdebatan dan menganggap dirinya sendiri lebih unggul. Ini adalah kesalahan yang besar. Orang yang sungguh-sungguh sangat terpelajar bahkan sama sekali tidak suka berdebat. Mereka akan menganggap keheningan sebagai bahasa yang tepat. Karena mereka yang benar-benar terpelajar telah menghayati hakikat Veda, Śāstra, dan Upaniṣad. Mereka mengetahui bahwa manusia mungkin memilih jalan yang berbeda, tetapi inti ajaran- ajaran tersebut dan kesucian Tuhan adalah satu. Mereka mengerti bahwa Tuhan Yang Mahakuasa dapat mengambil wujud apa saja yang dianggap sebagai lambang Tuhan dan dipuja olehnya. Ia memperlihatkan sifat-sifat yang dianggap sebagai sifat-Nya oleh pemuja-Nya.

     Keinsafan akan tujuan hidup, kejujuran, ketenangan hati, bebas dari rasa suka dan tidak suka, inilah sifat-sifat baik yang harus diusahakan, bukan sifat suka berbantah. Apakah tujuan latihan spiritual seperti misalnya mengulang-ulang nama Tuhan, meditasi, bhajan, dan sebagainya? Bukankah untuk memperoleh pemusatan tujuan, pemusatan pikiran kepada Tuhan? Bila engkau telah mencapai pemusatan pikiran ini, usaha manusiawi tidak diperlukan lagi; makna yang terkandung dalam semua perbuatan itu akan terungkap bagimu. Bila engkau ingin menempuh jalan spiritual untuk mencapai kebebasan, jangan terpancing oleh perbantahan dan perdebatan. Jangan sampai engkau disesatkan oleh bujukan perasaan yang salah dan buruk. Insafilah kesalahan-kesalahan serta cacat celamu dan jangan diulang lagi. Jaga dan pertahankanlah pemusatan pikiran yang telah kauraih. Pusatkan pandanganmu pada tujuan dan tolaklah sebagai sampah semua kesulitan, kekalahan, serta gangguan yang mungkin kauhadapi di jalan spiritual. Pikirkan hal-hal yang membawa semangat dan kegembiraan. Jangan membuang- buang waktu yang berharga dengan mempertanyakan setiap hal, baik masalah besar maupun kecil. Setiap sādhaka mungkin menghadapi beberapa hambatan remeh, tetapi ada dua hal penting yang merupakan musuh utama baginya:

  1. kesombongan, merasa telah mengetahui semuanya;
  2. kesangsian  apakah  tujuan  yang  hendak  dicapai  itu benar-benar ada.

     Tetapi, tidak ada masalah dengan musuh ini. Engkau harus menentukan sendiri bahwa engkau benar-benar mantap menetap dalam kenyataanmu yang sejati. Bila hal itu murni, segala sesuatu murni. Bila hal itu benar, segala sesuatu benar.

     Walaupun alam berhias cemerlang dengan aneka warna, bila engkau mengenakan kaca mata biru, segala hal yang kaulihat akan tampak biru. Engkau melihat dunia sesuai dengan kacamata yang kaukenakan, bukan? Bila dunia tampak olehmu dengan bermacam-macam perbedaan, hal itu semata-mata disebabkan oleh kesalahanmu. Kesalahannya terletak pada caramu memandang. Bila engkau melihat semuanya sebagai manifestasi kasih Ilahi, itu pun disebabkan oleh kasihmu. Kasihmulah yang mewarnai hal yang kaulihat. Perasaan dalam dirimu menentukan bagaimana dunia tampak olehmu. Hanya bila engkau sendiri mempunyai cacat cela, maka engkau akan melihat dunia sebagai tidak sempurna. Bila engkau tidak memiliki kelemahan dan kekurangan, engkau tidak akan dapat menemukannya pada orang lain sekalipun engkau berusaha mencarinya. Bagaimana engkau dapat mengenali dan mengetahui kesalahan itu bila engkau tidak pernah mengalaminya?

     Mungkin akan timbul pertanyaan, apakah Tuhan sendiri mempunyai cacat cela. Bukankah Tuhan mencari kesalahanmu? Tetapi bagaimana dapat dikatakan bahwa Tuhan mencari kesalahan dan cacat cela? Tuhan hanya mencari kebaikan, bukan kekurangan dan dosa. Kelemahan ini diakibatkan oleh sifat-sifatmu. Tuhan tidak akan memeriksa kekayaan, keluarga, keturunan, status, atau jenis kelamin seseorang. Ia hanya melihat kebajikanmu. Bila engkau mempunyai keutamaan, Tuhan menganggapmu layak memperoleh karunia-Nya, tidak menjadi soal siapakah engkau atau apakah kedudukanmu.

     Karena itu, kembangkanlah kebaikan dan kebajikan. Hiduplah dan mainkanlah peranmu (dalam pentas dunia ini) dengan riang dan penuh kasih. Kedua hal ini sudah mencukupi. Pastilah engkau akan mencapai kebebasan.

 

*)Dalam kitab suci Hindu, badan sering dimisalkan sebagai “sangkar”. Kesembilan lubangnya adalah mata, telinga, hidung, mulut, dan kedua pelepasan.

*)Syahwat,   kemarahan,   ketamakan,   kelekatan,   kesombongan,   dan kedengkian.