33. Jalan Delapan Tahap


     Ada dua macam yoga: rāja yoga dan jñāna yoga. Dalam rāja yoga peminat kehidupan rohani harus mengusahakan dan menguasai delapan tahap, beberapa di antaranya lahiriah dan beberapa lainnya batiniah. Ini adalah jalan kaum Arya. Dalam jñāna yoga sama sekali tidak ada yang lahiriah. Kedua jalan ini mempunyai tujuan sama yaitu menenangkan keresahan di segala tingkat kesadaran. Orang yang telah menenangkan keresahan ini akan menghayati segala sesuatu sebagai Tuhan. Untuk tujuan ini, jñāna yoga lebih utama daripada rāja yoga; setidak-tidaknya itulah pendapat mereka yang mengetahui Brahman. Mereka berkata, “Itulah hal yang harus diketahui, yang harus dicapai.”

     Meskipun demikian, menurut kebijaksanaan Upaniṣad, pengetahuan langsung mengenai Brahman juga dapat dicapai dengan delapan tahap rāja yoga yaitu :

(1) yama ‘pengendalian diri’,

(2) niyama ‘pembinaan sifat-sifat yang baik’,

(3) āsana ‘sikap yang benar’,

(4) prāṇāyāma ‘pengendalian napas’, (5) pratyāhāra ‘pengendalian indra’, (6) dhāranā ‘konsentrasi’,

(7) dhyāna ‘meditasi’ ,

(8) samādhi ‘manunggal dengan Tuhan’.

 

     Langkah pertama, yama atau ‘pengendalian diri’ menghendaki agar sādhaka tidak melakukan kekerasan (dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, yaitu ahimsa), jujur dan tidak berbohong (satya ‘berpegang teguh pada kebenaran), tidak mencuri (asteya), selibat (brahmacarya), dan tidak terikat pada harta milik, bebas dari kekikiran serta ketamakan (aparigraha).

     Inilah arti yang biasa diberikan untuk kata yama, tetapi menurut pendapat-Ku yama atau ‘pengendalian diri’ adalah membuang segala keterikatan pada tubuh dan indra. Tuhan Yang Mahamutlak tidak memiliki nama, rupa, dan sifat. Ia tiada akhirnya, tidak memiliki suka, duka, dan tidak berubah. Ia abadi. Sifat-Nya adalah eksistensi, pengetahuan, dan kebahagiaan. Akibat māyā, Tuhan Yang Mahamutlak tampak sebagai seluruh ciptaan ini. Tuhan yang tidak terbatas tampaknya seakan-akan memiliki aneka sifat dan perubahan yaitu: nama, rupa, pasang, surut, suka, dan duka. Dunia māyā ini ada akhirnya dan memiliki berbagai keterbatasan lain. Ia tampak seakan-akan selalu bergerak dan karena itu disebut samsāra ‘lingkaran kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali yang tiada putusnya’. Dengan demikian Tuhan Yang Mahamutlak tampak baik dalam wujud individu maupun dalam bentuk kosmis sehingga para cendekiawan dan ahli-ahli kitab suci yang hebat pun teperdaya.

     Satu Kesadaran Yang Maha Esa mengejawantah dalam berbagai cara sehingga tampak sebagai seluruh keanekaragaman ini. Karena itu, kita berbicara dari yang khusus. Yang khusus adalah (gagasan atau bayangan) yang ditumpangkan sehingga menutupi Tuhan Yang Mahamutlak, (suatu ilusi) seperti misalnya danau yang tampak pada fatamorgana, atau orang yang mengira melihat ular, padahal sebenarnya hanya seutas tali. (Kitab suci menyebutkan adanya tiga badan atau tiga tingkat kesadaran yaitu: yang kasar, yang halus, dan yang kausal). Orang yang telah mencapai penerangan dan menghayati Brahman sadar bahwa masing-masing dari ketiga badan ini pun merupakan (gagasan) yang ditumpangkan pada Tuhan Yang Mahamutlak. Kurang tepatlah jika kita menyatakan bahwa dunia ini nyata atau tidak nyata. Dunia ini mithya ‘bukannya nyata, tetapi juga bukan tidak nyata’. Orang yang berada dalam kekaburan batin terperangkap dalam jerat māyā ini; ia mengira bahwa dunia ini langgeng dan merupakan sumber kebahagiaan.

     Karena keliru menyamakan diri dengan tubuhnya, manusia menderita dalam jerat keterikatan terhadap ibu, ayah, istri, anak-anak, kaum kerabat, dan teman- temannya. Mereka tidak sadar bahwa mereka tidak memiliki tubuh, indra, atau akal budi, bahwa mereka adalah Tuhan. Yang Mahamutlak, pemelihara dan penopang ketiga macam badan serta semua lainnya.

     Dengan tiada hentinya, renungkan Tuhan Maha- mutlak yang bersifat eksistensi, pengetahuan, dan kebahagiaan. Bedakan terus menerus hal-hal yang berubah dan yang tidak berubah. Bergaullah selalu orang bijaksana. Murnikan budimu. Dengan demikian engkau akan menyadari bahwa segala sesuatu adalah Tuhan Yang Mahamutlak. Mantapkan budimu dalam kesadaran ini, karena itulah vairāgya sejati atau ketidakterikatan pada tubuh dan indra. Inilah arti kata yama atau ‘pengendalian diri’ seperti yang telah Kutegaskan sebelum ini. Inilah yang disebut yama dalam jñāna yoga ‘jalan pengetahuan’.

     Janganlah engkau keliru menganggap nyeri dan sakit pada tubuh dan indramu sebagai penyakitmu. Bergembira pada waktu mujur dan sedih pada waktu mengalami kemalangan, sikap dan perasaan yang keliru semacam ini harus kauatasi. Sedikit demi sedikit engkau harus membuang kecenderungan untuk menyamakan dirimu dengan tubuh dan indra. Inilah tanda orang yang telah menguasai tahap yama ‘pengendalian diri’. Tahap ini merupakan landasan jalan  pengetahuan (jñāna yoga).