BAB I
APAKAH DHARMA?


Manusia harus mengabdikan dirinya kepada dharma dan senantiasa mengikuti serta mengamalkan dharma sehingga ia dapat hidup dengan damai dan dunia pun dapat menikmati kedamaian. Ia tidak akan dapat memperoleh kedamaian yang sejati atau memperoleh rahmat Tuhan melalui sarana apa pun juga selain kehidupan yang ber- dharma. Dharma adalah landasan bagi kesejahteraan umat manusia, dharma adalah kebenaran yang tidak tergoyahkan sepanjang masa. Bila dharma tidak berhasil mengubah kehidupan manusia, dunia akan dirundung penderitaan dan ketakutan, dihantam oleh berbagai badai revolusi. Bila kecemerlangan dharma gagal menerangi hubungan antar manusia, maka umat manusia akan terselubung dalam kegelapan duka dan penderitaan.

Tuhan Adalah Perwujudan Dharma

Tuhan adalah perwujudan dharma; rahmat-Nya dapat diperoleh melalui dharma. Beliau senantiasa membantu perkembangan dharma, Tuhan selalu menegakkan dharma, Tuhan adalah dharma itu sendiri: kitab-kitab Veda, Śāstra, Purāṇa, dan Itihāsa menyuarakan kemuliaan dharma dengan lantang. Dalam kitab suci berbagai agama, dharma diuraikan secara rinci dalam bahasa yang dapat dipahami oleh para penganutnya. Adalah tugas setiap manusia di mana pun ia berada dan pada setiap saat untuk menghormati Dharma Nārāyana, yakni ‘personifikasi dharma’.

Arus kegiatan ber-dharma jangan sampai mengering; bila airnya yang sejuk tidak lagi mengalir, dapat dipastikan akan timbul bencana. Umat manusia telah mencapai tahap ini semata-mata karena dharma, seperti halnya Sungai Sarasvatī yang mengalir tanpa terlihat, di bawah permukaan tanah, memberi makan akar-akaran dan mengisi mata air. Tidak hanya umat manusia, bahkan burung dan margasatwa pun harus mengikuti dharma agar mereka dapat mengenyam kebahagiaan dan mampu mempertahankan hidup dengan senang dan sentosa.

Karena itu, air dharma harus dijaga agar tetap mengalir selama-lamanya dan sepenuhnya sehingga dunia dapat menikmati kebahagiaan. Saat ini bencana tengah berkecamuk di muka bumi karena kebenaran telah diabaikan dan ada kesangsian mengenai pentingnya hidup menurut dharma. Karena itu, manusia harus memahami dengan jelas intisari dharma.

 

Orang-Orang Salah Memahami Dharma

Apa yang dimaksud dengan dharma? Apakah hakikat dharma? Dapatkah manusia, yakni orang biasa, menempuh kehidupan yang bahagia dan mampu bertahan jika ia berpegang teguh kepada dharma? Wajarlah bila pertanyaan- pertanyaan ini membingungkan manusia pada masa hidupnya. Pemecahan masalah tersebut merupakan hal yang penting, bahkan mendesak sifatnya.

Begitu mendengar kata dharma, orang awam mengartikannya sebagai: bersedekah, memberi makan dan tempat berteduh kepada para peziarah, menekuni bidang pekerjaan tradisional atau keahlian masing-masing, membeda-bedakan antara yang benar dan yang salah, upaya menemukan diri sendiri atau jalan pikiran sendiri, perwujudan hal-hal yang sangat didambakan, dan lain- lainnya.

Tentu saja sudah sejak dahulu kemurnian dharma itu ternoda sehingga tidak dikenali lagi. Ladang dan pepohonan yang indah menjadi liar karena tidak terawat dan segera menjadi semak belukar serta hutan beronak yang tidak dapat dikenali lagi. Pepohonan yang rimbun ditebangi oleh orang- orang yang rakus dan wajah bentang alam menjadi berubah. Dengan berlalunya waktu, manusia menjadi terbiasa dengan lingkungannya yang baru itu dan mereka tidak merasakan atau melihat perubahan dan kemundurannya. Hal semacam itu dialami pula oleh dharma.

Setiap manusia harus mengetahui garis besar dharma yang terpapar dalam kitab-kitab Veda, Śāstra, serta Purāṇa. Salah pengertian akibatnya kurangnya kecerdasan, emosi yang tidak terkendali, dan nalar yang tidak murni, telah mengakibatkan lunturnya wajah dharma dan menyurutkan kejayaannya. Seperti halnya air hujan yang menitik dari langit yang biru jernih berubah warnanya dan tercemar pada waktu jatuh ke tanah, demikian pula kemurnian amanat para ṛṣi purwakala, kecemerlangan teladan perbuatan mereka, motivasi luhur yang melandasi tindakan-tindakan mereka, semua yang pada mulanya agung dan mulia berubah menjadi karikatur-karikatur buruk karena keteledoran para juru tafsir dan cendekiawan yang kurang berbudaya.

Buku bacaan khusus untuk anak dihias dengan gambar-gambar untuk memperjelas isinya atau uraiannya; tetapi anak-anak asyik mengamati gambar-gambar itu dan melupakan isi uraian yang seharusnya akan dipertegas dengan gambar tersebut. Demikian pula,  mereka  yang  tidak waspada, kurang arif, dan kurang terpelajar, mengira upacara-upacara yang sesungguhnya dimaksudkan untuk melukiskan kebenaran yang agung - sebagai hal yang paling penting. Akhirnya mereka mengabaikan kebenaran yang hendak diperjelas oleh upacara itu. Para musafir beristirahat sejenak di tempat-tempat berteduh yang dibangun di tepi jalan, tetapi pada waktu berteduh di situ karena lalai atau menyalahgunakannya, mereka justru merusak bangunan yang memberi mereka naungan itu. Demikian pula orang- orang yang bodoh dan jahat telah mengubah wajah moralitas Veda dan menyesatkan umat manusia ke suatu keyakinan bahwa hasil karya mereka itulah yang merupakan ajaran Veda!

Bila dharma teraniaya seperti itu, bila wajah dharma dirusak oleh musuh-musuh Tuhan, maka Tuhan menanggapi seruan para dewa serta orang-orang yang saleh dan menye- lamatkan dunia dari kehancuran dengan memulihkan keadilan serta kebenaran dalam bidang dharma dan karma, yakni keadilan dan kebenaran dalam cita-cita maupun pelaksanaan. Lalu siapakah yang dapat menyembuhkan kebutaan sekarang ini? Manusia harus membinasakan enam macam binatang buas yaitu sadripu atau arishadvarga yang menyeretnya ke jurang bencana dengan tarikan nafsu kāmā, amarah, keserakahan, kelekatan, kesombongan, dan kedengkian, hanya dengan demikianlah dharma dapat dipulihkan.

 

Buddha Dan Śaṅkara Mengikuti Dharma

Tuhan disebut Dharma (dalam konteks ini berarti ‘pengejawantahan kebajikan’, keterangan  penyunting) dalam kitab-kitab Veda dan disebut Vijñāna ‘pengetahuan atau kebijaksanaan yang tertinggi’ oleh Buddha karena  pada zaman itu tidak ada seorang  pun  yang  menyukai  kata Veda. Seperti halnya pada zaman Asura yang disebut Somaka, penganut Veda sendiri tidak berani menyebutnya sebagai Veda. Kelakuan semacam itu  dapat  dimengerti  bila orang sangat ketakutan. Meskipun demikian, Buddha sangat mengagungkan Veda; beliau selalu menyatu dengan kesadaran Tuhan. Buddha sering disebut-sebut sebagai orang yang atheis (nāstika)! Yah, kalau Buddha itu nāstika, maka siapa yang patut disebut āstika ‘orang yang percaya kepada Tuhan’? Seluruh kehidupan Buddha merupakan riwayat dharma.

Ada beberapa orang yang mengecam Śaṅkara sebagai penentang dharma dan karma marga. Tetapi Śaṅkara hanya menentang dharma dan karma yang diwarnai dengan upaya untuk memenuhi keinginan dan nafsu. Sesungguhnya beliau adalah guru agung yang mengajarkan jalan dharma dan karma, usaha keras yang dilakukan karena terdorong oleh pengertian mengenai dasar kebenaran.

Berpegang teguhnya Śaṅkara kepada dharma dan karma yang berlandaskan pada kebenaran, dan keyakinan Buddha terhadap hakikat Veda, hanya dapat dipahami oleh mereka yang memiliki penglihatan yang lebih tinggi. Tanpa hal itu, kita akan tersesat dalam menafsirkannya. Untuk naik ke tempat yang tinggi sekali kita memerlukan tangga yang sesuai tingginya dengan tempat itu, bukan?

 

Manusia Yang Berada Di Jalan Dharma

Barang siapa mampu menundukkan egoismenya, me- naklukkan keinginan-keinginan yang mementingkan diri sendiri, membinasakan perasaan serta dorongan kebinatan- gannya, dan melepaskan kecenderungan alami untuk men- ganggap badan sebagai dirinya, pastilah ia berada di jalan dharma; ia tahu bahwa tujuan dharma adalah manunggalnya ombak dengan samudra, manunggalnya dirinya dengan Tuhan.

Dalam segala aktivitas duniawi, engkau harus berhati- hati agar tidak sampai melanggar asas moral kesopanan, atau asas kepatutan yang berlaku dalam masyarakat, dan asas sifat yang baik. Jangan sampai engkau mengingkari bisikan suara hati, setiap saat engkau harus bersedia menghormati bisikan hati nuranimu. Engkau harus berjalan dengan hati- hati, jangan sampai engkau melangkah di jalur orang lain. Engkau harus selalu waspada agar menemukan kebenaran di balik segala sesuatu yang serba gemerlapan ini. Inilah seluruh kewajiban manusia, dharma yang harus kau ikuti. Kobaran api kebijaksanaan (jñāna) akan membuat engkau yakin (dan sadar) bahwa semua ini adalah Brahman (Sarvam Khalvidam Brahman). Keyakinan ini akan membakar habis hingga menjadi abu seluruh egoisme serta keterikatan pada segala sesuatu yang bersifat duniawi. Engkau harus mabuk oleh madu kemanunggalan dengan Tuhan; itulah tujuan akhir dharma dan karma yang dijiwai oleh dharma.

“Kurbankan kekaburan batin dan egoisme pada altar kebijaksanaan (jñāna) dan semayamkanlah dharma di dalamnya,” inilah amanat Veda. Setiap tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri yang menyiapkan landasan bagi manunggalnya jiwa dengan Tuhan, dan memperluas pandangan mengenai Tuhan yang mendasari dan berada dalam segala sesuatu, adalah tindakan yang bersifat dharma. Setiap tindakan semacam itu merupakan arus kecil yang membuat sungai kesucian meluap dan mengalir deras menuju samudra pengetahuan dan penghayatan Brahman. Semua tindakan dan kegiatanmu adalah upacara pemujaan kepada Tuhan (Paramātma) yang memenuhi jagat raya. Apa pun yang dilakukan dengan dedikasi dan sikap pasrah kepada Tuhan, merupakan suatu unsur dharma yang akan membawa manusia menuju kesadaran diri sejati. Strategi cara hidup Bhāratīya diarahkan pada penyucian setiap gerakan, setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan, sehingga merupakan suatu langkah menuju kesadaran diri yang sejati.

 

Makna Simbolis Istilah Dan Tindakan Spiritual

Engkau harus memahami dharma-karma kuno ‘berbagai upacara yang ditetapkan dalam kitab-kitab suci kuno’ dengan jalan menyelami makna simbolisnya. Bidang spiritual memiliki .banyak istilah teknis dengan maknanya sendiri. Istilah-istilah tersebut harus dipahami dengan sebaik-baiknya sehingga engkau dapat menangkap ajaran Śāstra dengan tepat.

Marilah kita mengambil suatu contoh: orang-orang pada zaman dahulu biasa menyelenggarakan yajña ‘upacara pengurbanan’ dan mereka mengurbankan hewan pada yajña tersebut. Tetapi hewan ini hanya merupakan simbol. Bukan hewan dungu itu yang harus dibantai. Hewan itu menempuh hidup yang penuh pengorbanan, meskipun manusia  tidak

mengakhiri hidupnya di tiang pengurbanan! Hewan yang harus dibuang isi perutnya dan dipersembahkan sebagai sesaji itu berbeda.

Dalam kosa kata spiritual, hewan berarti ‘kesadaran raga’, ‘kesadaran aku’, dan inilah yang harus dibantai. Tuhan dikenal sebagai Paśupati atau Govinda. Paśupati berarti ‘penguasa segala jiwa’ karena paśu berarti ‘jiwa’. Govinda berarti ‘pelindung sapi atau jiwa’ karena go berarti (sapi atau) ‘jiwa’. Menggembalakan sapi merupakan permainan simbolis Śrī Kṛṣṇa sebagai perlambang misi-Nya memelihara dan melindungi jiwa-jiwa.

Kitab-kitab Śāstra mengandung makna yang sangat mendalam. Tujuan dharma adalah membuat jiwa melepaskan kelekatannya pada alam lahiriah dan pada kekeliruan pengertian yang ditimbulkan oleh alam lahir itu. Selain itu, dharma bertujuan membuat jiwa menyadari kenyataannya yang sejati. Atau lebih tepat, dharma bertujuan mengungkapkan sifat sesungguhnya dari hal-hal yang sekarang dianggap sebagai nyata oleh jiwa, agar hal itu dapat terungkap dalam identitasnya yang sejati.

Semua makna tersebut harus dipelajari baik oleh kaum muda maupun tua. Misalnya saja tempat pemujaan Śiva. Tepat di depan arca Śiva kita lihat arca Nandi ‘sapi jantan’. Engkau diberitahu bahwa sapi keramat itu merupakan tunggangan atau wahana Śiva dan itulah sebabnya mengapa ia harus berada di sana. Tetapi, sesungguhnya sapi jantan atau paśu ‘hewan’ itu melambangkan jiwa, sedangkan linggam adalah lambang Śiva. Dinyatakan bahwa ‘’Tidak seorang pun diperkenankan menyelinap di antara sapi jantan dan linggam, atau di antara jiwa dan Śiva,” karena keduanya harus manunggal. Dikatakan bahwa Śiva harus dilihat melalui kedua tanduk Nandi.

Kalau ditanya tentang nalar yang melandasi prosedur tersebut, orang akan menjawab, ”Yah, itu merupakan cara yang lebih suci dibandingkan dengan cara-cara lain untuk melihat linggam.” Namun, makna yang tersirat adalah, ‘’Engkau harus melihat Śiva di dalam jiwa’’. Paśu ‘makhluk’ dan Paśupati ‘Tuhan’ adalah satu. Nandi dan Īśvara ‘Tuhan’ menjadi Nandīśvara ‘penguasa jiwa’ atau ‘penguasa sifat- sifat hewani’. Keduanya hanyalah dua cara untuk menyebut sesuatu yang sama. Bila dalam keadaan terikat, namanya Nandi; jika belenggu itu terlepas dan manusia mencapai kemanunggalan dengan Tuhan, ia menjadi Tuhan. Ia dipuja dan memang layak mendapat kehormatan seperti itu. Bila paśu dipersembahkan kepada Paśupati dan identitasnya disatukan, terwujudlah yajña atau ‘pengurbanan’ yang sejati. Makna simbolis ini sekarang telah dilupakan orang.

Kini tindakan-tindakan simbolis tersebut telah mengalami perubahan yang luar biasa sehingga tidak dikenali lagi aslinya. Hal yang dipraktekkan sekarang dan prinsip-prinsip masa lalu jauh terpisah satu dengan yang lain. Bahkan seluk beluk paling remeh dalam kehidupan duniawi pun harus diilhami oleh cita-cita yang lebih luhur untuk mencapai pemenuhan spiritual. Dengan demikian, bahkan orang awam pun dapat dibimbing setapak demi setapak menuju ke tujuan tersebut. Bila engkau tidak menelaah perbedaan antara proses dan tujuan setiap tindakan, namun masih tetap melakukannya, maka hal itu akan ketinggalan zaman dan menggelikan. Suatu ketika, Prahlāda  pun  pernah  berkata,  “Karena   membinasakan egoisme sangatlah sulit, maka  manusia  memilih  jalan  yang lebih mudah yakni membunuh hewan dungu sebagai penggantinya. Pengurbanan hewan merupakan manifestasi tamoguṇa, ini adalah jalan yang terkungkung. Pengurbanan hewan egoisme adalah yajña yang sāttvika, yang berada dalam jalan pembebasan menuju ke Tuhan.”

Dengan demikian apa yang pada zaman dahulu disebut paramārtha kini diganti menjadi paramārtha! Paramārtha berarti ‘tujuan tertinggi’ sedangkan paramārtha adalah ‘tujuan orang dungu’. Jadi, setiap tata cara kuno yang dulunya penuh dengan makna itu sekarang telah amat dikacaukan sehingga artinya tidak diketahui Iagi. Cabang- cabang bermunculan ke segala arah. Tata cara tersebut telah diubah dan ditambah semuanya. Sekarang tidak mungkinlah mencabut pohon ini sampai ke akar-akarnya dan menggantinya dengan yang baru. Jadi, pohon yang ada sekarang ini harus dipangkas, dirapikan, dan dilatih agar dapat tumbuh lurus. Tujuan tertinggi harus selalu kita ingat dan bukannya dinistakan ke tujuan yang paling rendah.