BAB II
DHARMA KETUHANAN BERHADAPAN DENGAN DHARMA KEDUNIAWIAN


Dharma tidak dapat dibatasi pada masyarakat atau bangsa tertentu saja karena ia berhubungan erat dengan nasib semua makhluk hidup di dunia. Dharma adalah dian yang tak kunjung padam. Kebajikannya tak kenal kekangan. Kṛṣṇa mengajarkan Gītā kepada Arjuna, tetapi ajaran itu Beliau maksudkan untuk seluruh umat manusia. Arjuna hanyalah instrumen. Gītā itulah yang sekarang memperbaiki kehidupan seluruh umat manusia. Ajaran tersebut bukan untuk kasta, agama, atau bangsa tertentu saja. Ajaran Gītā adalah napas utama kehidupan semua manusia di dunia.

Dharma mengungkapkan dirinya dalam berbagai bentuk. Terkadang dikenal sesuai dengan nama orang-orang yang menyusunnya, seperti Manu-dharma; terkadang oleh kelompok penganutnya, seperti Varna-dharma; kadang- kadang oleh tahap kehidupan yang menerapkannya, seperti Gṛhastha-dharma dharma untuk orang yang berumah tangga’, dan sebagainya, tetapi semua ini merupakan rincian praktis tambahan, bukan norma dasarnya. Ātma-dharma atau dharma ketuhanan itulah pokok pembicaraan kita sekarang.

Āchāradharma atau ‘dharma praktis’, ‘peraturan tingkah laku yang baik’, bertalian dengan berbagai masalah dan kebutuhan jasmani yang sementara; dengan hubungan yang tidak langgeng antara manusia dan dunia kebendaan. Alat untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut yakni badan manusia itu sendiri tidak langgeng; jadi bagaimana dharma ini dapat langgeng? Bagaimana mungkin jenis dharma praktis ini dinyatakan sebagai dharma yang sejati? Yang langgeng tidak dapat dinyatakan dengan segala sesuatu yang bersifat sementara; kebenaran tidak dapat mengungkapkan diri dalam ketidakbenaran; terang tidak dapat diperoleh dari kegelapan. Yang langgeng hanya dapat timbul dari yang langgeng; kebenaran hanya dapat timbul dari kebenaran. Karena itu, peraturan-peraturan objektif dharma’ yang berkenaan dengan berbagai kegiatan duniawi dan kehidupan sehari-hari memang penting dalam ruang lingkup tersebut, tetapi, hal ini harus diikuti dengan pengetahuan dan kesadaran penuh akan Ātma-dharma yang merupakan dasar batiniahnya. Setelah itu dorongan-dorongan lahir dan batin baru dapat saling bekerja sama dan membuahkan kemajuan harmonis yang membawa kebahagiaan.

Bila dalam kegiatan sehari-hari engkau menerapkan nilai sejati dharma yang abadi itu dalam tindakan-tindakan yang penuh kasih, maka kewajibanmu terhadap kenyataan batin, yakni ātma-dharma, juga terpenuhi. Usahakan agar engkau selalu membina hidupmu di atas landasan ātma; dengan demikian pastilah engkau akan mencapai kemajuan.

Lihatlah Batu Sebagai Tuhan

Mengubah Tuhan menjadi batu, itulah usaha yang tengah dilakukan sekarang ini ! Bagaimana mungkin usaha semacam itu membimbing kita menuju kebenaran bila tugas kita yang sebenarnya adalah melihat batu itu sebagai Tuhan? Pertama-tama wujud Tuhan harus kita renungkan dan kita resapkan dalam kesadaran. Kemudian wujud itu harus kita bayangkan dalam batu dan batu itu kita lupakan dalam proses tersebut, hingga batu itu berubah menjadi Tuhan. Dengan cara ini pula engkau harus meresapkan dharma yang utama ke dalam kesadaranmu, yakni fakta fundamental bahwa ātma adalah satu-satunya kenyataan yang ada. Setelah itu, sarat dengan keyakinan dan pandangan tersebut, engkau harus menghadapi dunia kebendaan yang beraneka ragam ini, menghadapi daya tarik dan daya tolaknya. Hanya dengan demikianlah cita-cita dapat diwujudkan. Bila hal tersebut kaulakukan, maka tidak akan ada bahaya mengaburnya makna yang asli atau memudarnya ātma-dharma.

Apa yang terjadi bila batu disembah sebagai Tuhan?

Tuhan Yang Tidak Terbatas, Yang Maha Ada, Yang Mahabesar dan berada dalam segala sesuatu, Yang Mahamutlak, divi- sualisasikan dalam yang khusus, yang konkret. Demikian pula dharma yang bersifat universal, sama, dan bebas itu, dapat kita lihat dan kita uji dalam suatu tindakan yang konkret. Jangan terkecoh oleh pendapat bahwa hal itu tidak mungkin. Bukankah banyak hal yang sulit telah kaucapai, hal-hal yang hanya memperbesar kekhawatiran dan rasa takutmu? Bila manusia cukup bijaksana, bukankah sebaliknya, ia dapat berusaha meraih hal-hal yang lebih berharga, yang mampu memberinya kedamaian batin?

Ikuti Dharma Ketuhanan Dan Jadilah Bebas

Mengupayakan kebebasan dan bukannya mengusaha- kan keterkekangan, adalah hak asasi manusia. Engkau baru benar-benar bebas bila melangkahkan kakimu di jalan yang diterangi oleh dharma universal yang tidak terbatas. Jika engkau menjauhi terang itu, engkau akan terbelenggu dan terperangkap.

Mungkin ada yang ragu, bagaimana mungkin dharma yang membatasi pikiran dan perkataan, yang mengatur dan mengendalikan itu, dapat membuat kita bebas? “Kebebasan” adalah nama yang kauberikan pada sejenis kekangan tertentu. Kebebasan sejati hanya akan diperoleh bila tidak ada khayal atau kekeliruan pandangan, bila tidak ada identifikasi dengan raga dan indra, tidak ada perbudakan terhadap dunia kebendaan. Orang yang telah berhasil membebaskan diri dari perbudakan ini dan mencapai kebebasan yang sejati amat sedikit jumlahnya. Setiap tindakan yang dilakukan dengan menganggap badan raga sebagai diri sejati, merupakan keterikatan karena dengan demikian manusia menjadi bulan-bulanan indra. Hanya mereka yang berhasil melepaskan diri dari belenggu ini akan merdeka; kebebasan semacam itu merupakan tahapan ideal yang dituju oleh dharma. Bila engkau selalu mengingat tahapan tersebut pada waktu melakukan kegiatan hidup sehari-hari, engkau akan menjadi bebas, menjadi mukta- puruṣa ‘jiwa yang telah mencapai kebebasan’.

Karena engkau mengikat dirimusendiri, engkau menjadi terkekang dan menyimpang dari jalan dharma. Memang selalu demikian halnya; tidak ada orang lain yang dapat mengikatmu; engkaulah yang mengikat dirimu sendiri. Jika engkau benar-benar yakin bahwa Tuhan ada di mana-mana, engkau akan menyadari bahwa Ia adalah dirimu sendiri dan engkau tidak akan pernah terbelenggu! Agar keyakinan itu dapat berkembang, engkau harus berpegang teguh kepada ātma-nanda ‘kebahagiaan ātma. Kenyataan ātma adalah batu penyangganya, kebijaksanaan yang tidak dapat dibantah atau nishchita-jñāna. Tanpa landasan itu, manusia akan menjadi bulan-bulanan keraguan, keputusasaan, dan kesesatan. Gadis dharma tidak akan mendampingi orang semacam itu.

Karena itu, pertama-tama berusahalah mencapai kebebasan. Dengan kata lain, untuk menyiapkan suatu kehidupan yang berhasil, engkau harus meningkatkan keyakinan pada ātma sebagai inti kepribadianmu. Kemudian pelajari dan terapkanlah disiplin yang diperlukan untuk mencapaiintitersebut.Setelahberhasilmelakukannya,engkau dapat menyibukkan diri sepenuhnya dalam kegiatan-kegiatan duniawi, dengan mengikuti dharma yang telah ditetapkan sebagai pedomannya. Dengan demikian engkau akan menjadi orang yang bermoral, menjadi dharma-puruṣa.

Orang yang menganggap dunia lahiriah yang objektif ini sebagai segala-galanya dalam kehidupan dan menganggap tubuhnya sebagai diri yang sejati, hanya menempuh hidup yang sia-sia, sama tidak berartinya seperti mengubah Tuhan menjadi batu. Mengubah batu menjadi Tuhan merupakan tugas yang lebih suci dan bermanfaat. Demikian pula, dengan berpegang teguh pada ātma-dharma dalam setiap perbuatan, ubahlah kegiatanmu menjadi pemujaan, luhurkanlah kegiatan itu, dan hilangkan sifatnya yang mengikat. Bila kewajiban dalam kehidupan duniawi dilakukan tanpa menghiraukan satya-dharma yang sejati, maka itu sama buruknya dengan memperlakukan Tuhan sebagai batu. Tingkah laku yang baik (āchāra-dharma) yang diusahakan tanpa hukum kebenaran (satya-dharma), dan hukum kebenaran tanpa tingkah laku yang baik sama sia- sianya. Tingkah laku yang baik dan hukum kebenaran, keduanya saling terjalin tidak dapat dipisahkan dan harus diterapkan bersama. Karyawan senior memerlukan bantuan karyawan yunior, sebagaimana halnya karyawan yunior memerlukan bantuan karyawan senior. Dengan demikian, siapakah yang terikat dan siapa pula yang bebas? Keduanya terikat pada keinginan untuk berbahagia dan hidup senang. Sebelum rahasia ātma yang mendasar ini kita ketahui, perbudakan lahiriah akan terus berlangsung. Baru setelah rahasia mendasar itu kita ketahui, beban perbudakan pada indra dan dunia kebendaan akan berkurang. Kemudian pedoman kelakuan untuk dunia objektif akan menyatu dengan pedoman untuk Tuhan di dalam batin kita, dengan demikian semua dorongan atau kecenderungan kita akan bekerja sama secara serasi.

Vedānta, kitab-kitab suci yang berkenaan dengan Yang Mahatinggi (Adhyātma Śāstra), dan dharma, semuanya mengimbau manusia agar hidup dan bertindak sebagai Tuhan (dengan kesadaran Tuhan), dan bukannya sebagai hamba sahaya. Dengan demikian semua perbuatan menjadi perbuatan yang bajik (dharma-karma) dan bukannya perbuatan yang dilakukan dengan keinginan untuk memperoleh hasilnya (kāmya-karma). Belenggu perbudakan tidak dapat dihindarkan hanya dengan mengubah jenis kegiatan. Belenggu itu hanya dapat dilepaskan dengan mengubah segi pandangan dari ciptaan kepada Tuhan (deha ‘badan’ ke Deva). Dengan demikian kualitas moral pun akan menjadi lebih kuat.

Egoisme Yang Didasarkan Pada Badan Adalah Neraka

Ada orang yang beranggapan bahwa menjadi karyawan itu berarti menjadi budak, sedangkan duduk berpangku tangan di rumah adalah kebebasan! Ini merupakan tanda kurangnya inteligensi. Bila bekerja sebagai karyawan, ia harus mematuhi atasan. Namun, dapatkah menghindari tuntutan dan desakan sanak keluarga sekalipun ia berada    di rumah? Yah, bahkan sewaktu berada di antara kawan- kawan, dapatkah orang menghindari keharusan untuk bertindak sesuai dengan keinginan atau selera mereka? Setidak-tidaknya dapatkah seseorang membebaskan diri  dari kebutuhan untuk memelihara badannya sendiri dan menuruti kesenangannya? Jadi bagaimana manusia dapat merasa bebas sewaktu berada dalam sangkar perbudakan? Semua kehidupan adalah penjara, apa pun juga perbedaan bentuk hukumannya. Keadaan itu akan tetap demikian selama kita masih menyamakan diri dengan tubuh kita.

Itulah sebabnya Sankara pernah berkata bahwa,“Egoisme atau rasa keakuan yang dilandaskan pada badan raga adalah neraka.” Egoisme semacam ini semata-mata merupakan sikap kontra Tuhan. Siapa yang dapat menghilangkan semua duri   dan kerikil dari muka bumi? Satu-satunya cara untuk menghindarinya adalah berjalan dengan mengenakan alas kaki. Begitu pula halnya dengan filsafat Vedānta, dengan pandangan tertuju kepada satya atau realitas, dengan keyakinan penuh kepada Brahman yang merupakan hakikat dirimu sendiri, engkau dapat menghindari keinginan untuk mengubah dunia luar sesuai dengan konsepmu mengenai kebahagiaan, kemudian engkau akan dapat mencapai penerapan kebenaran (satya-dharma). Siapa pun yang berhasil membinasakan  keakuannya  dan dengan mantap menyatakan, “Aku bukan hamba badan yang merupakan gudang segala jenis perbudakan ini; justru badanlah yang merupakan budakku. Akulah yang berkuasa dan menentukan segala sesuatu. Aku adalah perwujudan kebebasan,” maka orang itu sudah mencapai kebebasan. Semua norma kewajiban harus membantu proses pembinasaan ego ini; norma-norma tersebut jangan sampai memperbesar ego dan membuatnya tumbuh tanpa kendali. Itulah jalan menuju kebebasan. Jika seseorang tidak kerasan tinggal bersama anak lelakinya, lalu pergi dan tinggal di rumah anak perempuannya, itu tidak berarti dia berhasil mewujudkan kebebasan! Itu hanya merupakan cara untuk menyuapi egonya. Upaya untuk mengejar kesenangan ragawi ini tidak dapat ditingkatkan menjadi dharma.

Dharma Sejati Adalah Dasar Asasi

Sebenarnya untuk apakah tempat tinggal itu? Untuk menikmati kebahagiaan jiwa yang diperoleh dari perenungan kepada Tuhan, untuk memperoleh kesempatan agar dapat bermeditasi kepada Tuhan dengan tenang tanpa gangguan. Semua hal lainnya dapat diabaikan, tetapi bukan hal-hal tersebut di atas. Menikmati kebahagiaan manunggal dengan Tuhan yang mutlak dan mencapai kebebasan sejati merupakan dharma yang sesungguhnya bagi manusia. Orang yang telah mencapai tingkat itu tidak akan dapat dikungkung, sekali pun misalnya ia dikurung dalam sel penjara yang paling mengerikan. Di lain pihak, bagi seseorang yang masih menjadi hamba raganya, bahkan sehelai rumput pun dapat menjadi penyebab kematiannya.

Dharma yang benar adalah: (1) berusaha agar selalu berada dalam kebahagiaan ātma, (2) tenggelam dalam pandangan batin, (3) memiliki  keyakinan  yang  teguh bahwa hakikat kita yang sejati sama dengan (Tuhan) Yang Mahamutlak, (4) menyadari bahwa semuanya adalah Brahman ‘Tuhan yang tidak terlukiskan, Yang Mahabesar’. Keempat hal ini merupakan dharma yang sejati. Dalam eksistensi fisik kita sebagai individu yang unik, keempat   hal ini disebut kebenaran, kedamaian, kasih, dan tanpa kekerasan (satya, śānti, prema, dan ahiṃsā), untuk memudahkan pelaksanaannya, sehingga individu-individu yang sebenarnya merupakan perwujudan dari Yang Mahamutlak, dapat mengikutinya dalam kehidupan sehari- hari. Meskipun demikian, keempat hal tersebut sarat dengan dharma batin atau realitas ātma. Baik sekarang maupun pada masa yang silam, manusia mengikuti dharma dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang luhur ini dalam setiap pikiran dan perbuatannya. Kebenaran, kedamaian, kasih, dan tanpa kekerasan masa kini merupakan (ekspresi) kesadaran manusia yang selalu tenggelam dalam ātma, pandangan yang dipusatkan pada kebenaran batin, renungan pada kenyataan diri yang sejati, dan pengertian bahwa semuanya adalah Brahman, Yang Maha Esa. Semua ini, yakni yang mendasar dan yang diperoleh, harus diselaraskan dan dipadukan. Kemudian barulah hal itu dapat disebut ātma- dharma.

Tidak menjadi soal apa kegiatanmu, atau nama dan wujud apa yang telah kaupilih. Rantai adalah rantai, apa pun juga bahannya, baik besi atau pun emas, bukan? Begitu pula halnya dengan pekerjaan, baik jenis ini atau pun jenis itu, selama dilandaskan pada ātma-dharma dan bersumber pada, ātma-tattva ‘prinsip ātma’, tidak diragukan lagi pekerjaan itu adalah dharma. Pekerjaan seperti itu akan memberkati pelakunya dengan buah kedamaian (śānti).

Bila gelombang rasa takut yang egois atau keserakahan mendorong seseorang, baik  dalam  keleluasaan  pribadi di dalam rumah, atau di tengah kesunyian hutan, atau ke tempat pelarian lainnya, tidak mungkinlah ia melarikan diri dari penderitaan. Ular kobra tetap ular kobra walaupun ia diam melingkar. Dalam pelaksanaan sehari-hari, bila tindakanmu digerakkan oleh prinsip utama realitas ātma, maka setiap perbuatan akan merupakan dharma. Tetapi, bila tindakan itu timbul dari keinginan untuk mencari kemudahan dan kepentingan pribadi saja, dharma itu akan menjadi dharma gadungan. Itu merupakan suatu belenggu, betapa pun menarik tampaknya. Seperti halnya narapidana yang berbaris satu persatu dan didorong-dorong oleh sipir penjara ke depan pengadilan atau pun ke ruang makan, demikian pula desakan nafsu indra mendorong orang yang terbelenggu itu maju ke tempat penderitaan atau ke tempat pemuasan.

Bahkan perasaan, ‘’Orang ini teman’’, atau, ”Orang itu musuh”, pun merupakan suatu kekeliruan. Khayal ini harus dibuang. Tuhan yang merupakan perwujudan kasih adalah satu-satunya sahabat, sanak saudara, teman, pembimbing, dan pelindung. Ketahuilah hal ini dan hiduplah dalam pengertian tersebut. Ini adalah dharma yang dibangun di atas landasan pengertian, itulah kehidupan yang dibina pada batu penyangga dharma. Bila manusia mengabaikan landasan pokok ini dan memusatkan perhatiannya pada kemilau dunia lahiriah, tujuan yang hendak dicapainya akan semakin jauh dari jangkauan. Ikatan atau kelekatan pada dunia hanya dapat dimusnahkan dengan keterikatan pada Tuhan.

Mengapa mengeluh tidak dapat melihat tanah bila sepanjang waktu engkau menengadah menatap langit? Perhatikan tanah dan lihatlah genangan air di atasnya yang memantulkan langit, dengan demikian engkau dapat sekaligus melihat langit di atas dan bumi di bawah. Demikian pula halnya, bila engkau harus berpegang teguh pada satya- dharma (yang tidak lain adalah mempraktekkan prinsip ātma yang ada dalam segala sesuatu), maka dalam setiap tindakan engkau harus melihat pantulan keagungan ātma. Dengan demikian keterikatan kepada Tuhan akan mengubah keterikatan kepada dunia menjadi persembahan yang murni. Tujuannya jangan diubah atau diturunkan; itu berarti bahwa hal-hal yang hakiki harus tetap dipertahankan keutuhannya. Dharma tidak tergantung pada keanekaragaman nama dan bentuk penerapannya nama dan bentuk itu bukan merupakan hal yang mendasar; dharma lebih tergantung pada motif dan perasaan yang mengarahkan dan menyalurkannya.