28. Perbedaan antara Orang Biasa dan Peminat Kehidupan Spiritual
Mereka yang menempuh jalan spiritual harus memperhatikan perbedaan antara kelakuan orang kebanyakan dan peminat kehidupan rohani. Orang biasa tidak memiliki daya tahan atau ketabahan, tetapi ia sombong. Ia penuh dengan hawa nafsu atau keinginan yang berhubungan dengan dunia dan dalam hal itu ia berusaha memperoleh kepuasan hidup. Manusia spiritual adalah mereka yang selalu merenungkan kemuliaan Tuhan dengan tiada putusnya bagaikan gelombang samudra. Ia mengumpulkan harta keseimbangan batin dan kasih yang sama bagi semua makhluk. Ia puas dalam keyakinan bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan dan tidak ada apa pun juga yang merupakan miliknya. Tidak seperti orang kebanyakan, mereka yang menempuh kehidupan spiritual tidak mudah menyerah bila mengalami kesedihan, perubahan-perubahan yang tidak terduga, kemarahan, kebencian, atau egoisme, lapar atau haus. Engkau harus berusaha menguasai kelemahan-kelemahan tersebut sedapat mungkin dan menempuh perjalanan hidup dengan tabah, berani, riang, tenteram, dermawan, dan rendah hati. Ketahuilah bahwa pemeliharaan badan bukanlah hal yang sangat penting. Tanggunglah lapar dan haus dengan sabar. Selalulah tenggelam dalam perenungan yang tiada putusnya kepada Tuhan.
Sebaliknya, bertengkar mengenai hal-hal yang sepele, lekas kehilangan kesabaran, merasa sedih karena kekecewaan-kekecewaan kecil, menjadi marah karena terhina sedikit saja, cemas karena lapar, haus, dan kurang tidur, hal-hal tersebut bukan sifat khas seorang sādhaka. Beras tidaklah sama dengan nasi. Beras yang keras menjadi lunak setelah dimasak. Sejumlah orang seperti beras yang telah matang, bersifat lembut, manis menyenangkan, dan tidak berbahaya. Lainnya yang mentah, keras, angkuh, dan penuh kekaburan batin. Sudah jelas kedua jenis ini adalah manusia yang berjiwa. Mereka yang tenggelam dalam khayal lahiriah dan kebodohan sifat-sifat duniawi adalah ‘orang biasa’; sedangkan mereka yang tenggelam dalam khayal batin atau hasrat untuk memperoleh pengetahuan yang sejati adalah sādhaka. Tuhan tidak tenggelam dalam kedua hal itu. Tuhan tidak memiliki khayal apa pun juga. Orang yang tidak terpengaruh oleh khayal lahiriah adalah sādhaka; bila khayal batin pun sudah tidak dimilikinya lagi, ia dapat disebut sebagai Tuhan, karena hatinya menjadi tempat Tuhan bersemayam. Karena itu, engkau dapat menyimpulkan bahwa segala sesuatu diliputi oleh Tuhan. Walaupun Tuhan berada dalam setiap hati, latihan spiritual tetap penting agar engkau dapat menghayati sendiri kebenarannya bukan? Bukankah engkau tidak dapat melihat wajahmu sendiri? Engkau harus mempunyai cermin untuk memperlihatkan bayangan wajahmu. Demikian pula engkau harus mempunyai suatu jalan utama, suatu metode sādhanā untuk membebaskan dirimu dari segala sifat.
Mereka yang menempuh jalan spiritual harus memperhatikan perbedaan antara kelakuan orang kebanyakan dan peminat kehidupan rohani. Orang biasa tidak memiliki daya tahan atau ketabahan, tetapi ia sombong. Ia penuh dengan hawa nafsu atau keinginan yang berhubungan dengan dunia dan dalam hal itu ia berusaha memperoleh kepuasan hidup. Manusia spiritual adalah mereka yang selalu merenungkan kemuliaan Tuhan dengan tiada putusnya bagaikan gelombang samudra. Ia mengumpulkan harta keseimbangan batin dan kasih yang sama bagi semua makhluk. Ia puas dalam keyakinan bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan dan tidak ada apa pun juga yang merupakan miliknya. Tidak seperti orang kebanyakan, mereka yang menempuh kehidupan spiritual tidak mudah menyerah bila mengalami kesedihan, perubahan-perubahan yang tidak terduga, kemarahan, kebencian, atau egoisme, lapar atau haus. Engkau harus berusaha menguasai kelemahan-kelemahan tersebut sedapat mungkin dan menempuh perjalanan hidup dengan tabah, berani, riang, tenteram, dermawan, dan rendah hati. Ketahuilah bahwa pemeliharaan badan bukanlah hal yang sangat penting. Tanggunglah lapar dan haus dengan sabar. Selalulah tenggelam dalam perenungan yang tiada putusnya kepada Tuhan.
Sebaliknya, bertengkar mengenai hal-hal yang sepele, lekas kehilangan kesabaran, merasa sedih karena kekecewaan-kekecewaan kecil, menjadi marah karena terhina sedikit saja, cemas karena lapar, haus, dan kurang tidur, hal-hal tersebut bukan sifat khas seorang sādhaka. Beras tidaklah sama dengan nasi. Beras yang keras menjadi lunak setelah dimasak. Sejumlah orang seperti beras yang telah matang, bersifat lembut, manis menyenangkan, dan tidak berbahaya. Lainnya yang mentah, keras, angkuh, dan penuh kekaburan batin. Sudah jelas kedua jenis ini adalah manusia yang berjiwa. Mereka yang tenggelam dalam khayal lahiriah dan kebodohan sifat-sifat duniawi adalah ‘orang biasa’; sedangkan mereka yang tenggelam dalam khayal batin atau hasrat untuk memperoleh pengetahuan yang sejati adalah sādhaka. Tuhan tidak tenggelam dalam kedua hal itu. Tuhan tidak memiliki khayal apa pun juga. Orang yang tidak terpengaruh oleh khayal lahiriah adalah sādhaka; bila khayal batin pun sudah tidak dimilikinya lagi, ia dapat disebut sebagai Tuhan, karena hatinya menjadi tempat Tuhan bersemayam. Karena itu, engkau dapat menyimpulkan bahwa segala sesuatu diliputi oleh Tuhan. Walaupun Tuhan berada dalam setiap hati, latihan spiritual tetap penting agar engkau dapat menghayati sendiri kebenarannya bukan? Bukankah engkau tidak dapat melihat wajahmu sendiri? Engkau harus mempunyai cermin untuk memperlihatkan bayangan wajahmu. Demikian pula engkau harus mempunyai suatu jalan utama, suatu metode sādhanā untuk membebaskan dirimu dari segala sifat.