Nilai : Prema (Cinta Kasih)
Sub Nilai : Bhakti (Keyakinan pada Tuhan)
Tujuan : Anak-anak dapat memahami makna Tapas, Swadhaya dan Ishwara Pranidaana yang merupakan bagian dari disiplin
spiritual yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Mutiara :

"Sadhana adalah hal yang paling berguna yang bisa digunakan kapan saja"

Usia :

15-17 Tahun (Teen Balvikas)

 

Metode Pengajaran :  
Duduk hening : Meditasi cahaya
Doa : Gayatri Mantra

RAJA PARIKESIT

Kala itu Maharaja Parikesit sedang berburu di hutan, hari sangat panas dan dia merasa sangat kehausan. Sang Raja masuk ashram seorang pertapa dan minta air penghapus dahaga. Sang pertapa sedang khusyuk bermeditasi, matanya tertutup dan tidak ada perhatian dengan kedatangan sang maharaja. Parikesit berkata, “Apakah Resi benar-benar bermeditasi sehingga pikiran dan indera terabaikan, ataukah hanya mencoba menghindari saya karena keangkuhan dari seorang resi? Apabila seorang maharaja yang belum mencapai kesadaran sempurna datang, apakah seorang resi tidak perlu membuka mata?”

Dalam keadaan tak nyaman karena sangat kehausan, pikiran jernih sang raja sedikit terkesampingkan. Keangkuhan seorang maharaja bangkit, dirinya mengambil bangkai ular dan meletakkannya di leher sang resi. Dan sang maharaja pun pergi meninggalkan pondok tersebut.......

Di dalam salah satu kamar, Sringi, putra sang resi mendengar gerutuan seorang ksatria yang tidak sopan dan kemudian melihat ada ular yang dilingkarkan di leher ayahnya yang sedang bermeditasi. Putra sang resi menjadi marah, “Bagaimana etikanya seorang kesatria dapat melakukan hal demikian terhadap seorang brahmana? Tugas kesatria adalah melindungi orang-orang suci. Hal ini dapat terjadi karena Sri Krishna sudah tidak ada tak ada di atas permukaan bumi lagi. Wahai kesatria kukutuk dirimu agar digigit ular beracun dalam waktu seminggu!”

Saumika, sang resi terganggu oleh kemarahan sang putra dan membuka mata, “Wahai putraku, kau telah berdosa terhadap seorang maharaja. Akibat kesalahan kecil, kau mengutuk terlalu berat. Apabila sang maharaja mati, para penjahat akan berkembang biak, peran agama menurun dan terjadi kebingungan di masyarakat. Dan, semua kejahatan yang akan terjadi ini berasal dari ketergesa-gesaanmu dan akan membunuh kita semua. Semoga Yang Mahakuasa mengampuni pemahamanmu yang belum matang ini.”

Sang resi berkata dengan penuh kewibawaan, “Akibat kemarahan, kau telah melupakan swadharma seorang brahmana. Kewajiban brahmana adalah untuk memaafkan. Kau tidak dapat menarik kutukanmu. Setelah berpulang, sang maharaja akan dikenang sepanjang zaman, sedangkan kau, apakah ada yang masih mengingatmu setelah kau mati nanti?”

Sang putra menangis penuh penyesalan, “Baik ayahanda, kami mohon ampun atas kesalahan kami, kami akan segera pergi ke istana dan mohon sang baginda mengetahui kutukan kami dan agar beliau dapat mempersiapkan diri.”

Sesampai di istana Raja Parikesit merasa menyesal, mengapa melakukan tindakan yang tidak perlu. Dirinya telah menganggap sang resi yang sedang bermeditasi angkuh, padahal dirinyalah yang angkuh. Orang menjadi tidak adil karena keangkuhannya. Rasa angkuh membuat orang menjadi keras kepala, merasa benar sendiri. Raja Parikesit sadar, bila keadaan ini dibiarkan makin lama ia menjadi makin keras dan akan bertindak tidak adil untuk mempertahankan pendapatnya.

Tidak beberapa lama, Sringi, putra resi yang yang dilecehkan sang maharaja datang dan menangis di hadapan sang maharaja dan mengatakan kesalahannya karena telah terlanjur mengutuk sang maharaja. Entah kekuatan apa yang membuat maharaja Parikesit memeluk Sringi, *“Wahai putra resi, adalah keberuntungan karena engkau mengutukku sehingga aku tidak harus menanggung kesalahanku di kehidupanku mendatang karena telah berbuat tidak sopan dengan orang suci. Kau adalah utusan Yang Maha Pengasih untuk menyampaikan berita yang tidak mungkin disampaikan oleh manusia biasa. Kelahiranku, kehidupanku, semua sudah ditentukan sebelumnya, tetapi bagaimana kuhadapi ketentuan itu sepenuhnya tergantung pada diriku.”*

Resi Shuka dengan pancaran keilahiannya menemui Parikesit di tepi Sungai Gangga.

Beliau bersabda, “Tujuh hari sudah cukup untuk membebaskanmu dari samsara, dari lingkaran kelahiran dan kematian yang tidak berkesudahan. Raja, jangankan tujuh hari, sekejap pun cukup untuk membebaskanmu dari samsara. *Bersoraklah dengan gembira, sebut nama Govinda, dan saat itu pula kau terbebaskan dari samsara!”*

Resi Shuka berkata kembali, “Hormatku pada ayahandaku yang telah menyusun Bhagavata Purana, tujuh hari ke depan akan menjadi tujuh hari teragung dalam hidupmu. Khatvanga saja bisa mencapai kaki Narayana dalam waktu 1 muhurta (48 menit). *Umat manusia ke depan akan menerima manfaat dari kisah yang kuceritakan kepadamu. Potong tali ikatan keluarga dan duniawi, mandi dan duduk meditasi, persiapkan dirimu menghadapi kematian!”*

*Tujuh hari dihabiskan oleh Parikesit dengan mendengarkan dan merenungkan kisah kemuliaan Shree Krishna, seluruh pikiran dan jiwanya tenggelam dalam nama suci dan keindahan Shree Krishna, ia lupa dengan segala-galanya selain Shree Krishna. Bahkan sebelum ular Taksaka menggigitnya, Parikeshit telah mencapai kesatuan dalam Shree Krishna.*

 

GRUP AKTIVITAS

  • Penjelasan bagaimana memahami makna Tapas, Swadhaya dan Ishwara Pranidaana yang merupakan bagian dari disiplin spiritual yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
  • PERMAINAN :
    Adu pantun berisi arti dan makna dari materi yang diajarkan. Pantun berisi materi dari Tapas, Swadhyaya, dan Iswara.
  • DISKUSI :
    Anak-anak diminta berdiskusi dan berbagi apa yang sudah pernah dibaca yang berkaitan dengan topik.