14. Dunia Objektif Ini Bukan Kenyataan Sejati


     Manusia melihat bayangan dan mengira hal itu adalah kenyataan yang sesungguhnya. Mereka melihat panjang, lebar, tinggi, dan ketebalan, kemudian menyimpulkan bahwa ada suatu benda di depan mereka. Mereka mengalami suatu rangkaian pengindraan serta ingatan dan dari hal ini mereka berpendapat bahwa ada benda-benda yang menimbulkan pengindraan serta ingatan tersebut. Manusia menganggap rupa atau penampilan sebagai kenyataan dan anggapan yang keliru ini secara salah disebut pengetahuan. Bagaimana mungkin hal itu adalah pengetahuan? Dapatkah gambar seseorang menjadi orang itu sendiri? Bila gambar itu dikira orang yang sesungguhnya, dapatkah anggapan yang keliru ini disebut pengetahuan? Namun semua pengetahuan (duniawi) saat ini bersifat demikian; hal-hal yang dilihat atau dianggap sebagai objek sesungguhnya sama sekali tidak nyata. Kenyataannya tidak dapat diketahui.

     Penganut pandangan non dualisme (Advaita) percaya pada pernyataan, ‘’Aku adalah Yang Mutlak” (Aham Brahmasmi). Bagaimana ia dapat memperoleh keyakinan ini? Bila hal ini kautanyakan padanya, ia akan menjawab, “Kitab suci Veda mengatakan demikian.” Tetapi, sekadar mempelajari hal ini dari sumber-sumber tersebut tidak membuat orang berhak membuat pernyataan yang sangat mendalam itu. Bila seseorang sekadar mengucapkan aham, brahma, dan asmi, dapatkah kesadarannya menunggal dengan Tuhan? Tidak. Dengan usaha keras yang tiada putusnya selama kelahiran-kelahiran yang sudah tidak terhitung lagi, dengan melakukan latihan rohani yang ditetapkan oleh kitab- kitab suci secara tekun, maka manusia dapat memurnikan hatinya. Dalam hati yang murni itu tumbuhlah benih bhakti. Bila dipelihara dengan penuh pengertian dan perhatian, bunganya pun mekar. Buahnya timbul dan menjadi ranum sehingga penuh dengan sari yang manis dan harum. Bila buah itu dimakan, manusia menjadi satu dengan Yang Maha Tinggi. Kesadarannya menunggal dengan kekuatan yang memenuhi segala sesuatu, seluruh kawasan, yaitu kekuatan dan kekuasaan yang selama-lamanya ada, sadar, dan penuh kebahagiaan.

     Seseorang mungkin dapat mengucapkan rumusan Aham Brahmasmi dengan tepat. Mungkin ia mengetahui segala hal berkenaan dengan asal usul kata itu. Meskipun demikian, bila ia tidak menghayati maknanya, tidak menyadari ‘aku’ atau dirinya yang sejati dan sama sekali tidak mengetahui perihal yang mutlak, dapatkah ia merasakan kebahagiaan langka yang dihayati oleh orang yang kesadarannya telah menunggal dengan Tuhan? Yang penting bukanlah penguasaan ucapan dan makna kata-kata itu. Kesadaran, penghayatan, inilah pokoknya.

     Belanga terbuat dari tanah liat. Hanya tanah liat sajalah kenyataannya. ‘Kesadaran belanga’ timbul akibat tidak adanya keinsafan perihal tanah liat. Tanah liat adalah bahan dasar dan hakikat belanga itu. Mana mungkin ada belanga tanpa tanah liat? Bagaimana akibat timbul tanpa sebab? Hanya bagi mereka yang berada dalam kekaburan batin, dunia tampak sebagai keanekaragaman. Bagi orang yang telah mencapai penerangan batin, hanya Tuhanlah yang ada. Segala hal yang lain hanya ditimpakan pada yang mutlak. Orang semacam itu hanya melihat ‘diri yang sejati’ (dalam segala sesuatu), tidak ada hal yang lain. Itulah penghayatan non dualisme (advaita).

     Bila dunia ini nyata, maka dalam tahap tidur yang dalam dan tanpa mimpi pun engkau menyadarinya. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Pada waktu tidur nyenyak kita tidak menyadarinya sama sekali. Jadi, alam yang kelihatan ini sama tidak nyatanya seperti alam mimpi. (Bila engkau melihat seutas tali di kegelapan dan mengiranya seekor ular, engkau akan bereaksi pada tali itu seperti pada ular yang sebenarnya). Khayal atau gagasan yang keliru mengenai ular ini ditimpakan pada tali. Demikian pula khayal atau gagasan yang keliru mengenai dunia ditimpakan pada ‘kenyataan yang sejati’. Engkau tidak melihat ular dan tali pada saat yang sama. Seluruh tali kaulihat sebagai ular. Demikian pula, segala sesuatu di dunia ini, semua keanekaragaman nama dan rupa yang tidak terhingga banyaknya ini, sesungguhnya adalah Brahman (Tuhan Yang Mutlak). Meskipun demikian bayanganmu tentang keanekaragaman ini sebetulnya tidak benar. Hanya Brahman Yang Mutlak, tidak bernama, tidak berwujud, Tuhan Yang Mahatinggi; kekal, dan melampaui segala sesuatu, ini sajalah yang benar.

     Langit mungkin tercermin dalam semangkuk minuman keras, tetapi tidak tercemar. Demikian pula, dalam wadah badan ini bersemayamlah ātmā, murni dan tidak bernoda. Hasil perbuatan manusia, baik atau buruk, jujur atau curang, melekat pada wadah saja, bukan pada ātmā, saksi abadi yang bersemayam di dalamnya.

     Bila pengertian semacam ini timbul dalam diri manusia, bayangan tiga macam karma - āgāmī (karma masa depan), sañcita (karma masa lampau), dan prarabdha (karma yang sekarang kita jalani) - yang gelap akan lenyap. Ya, bahkan karma masa lampau yang sudah mulai membuahkan akibatnya dalam hidup sekarang ini pun dapat diatasi. Karena kehendak Tuhan bersifat mahakuasa. Tidak ada batas atau pengecualian  untuk kemahakuasaan   Tuhan. Bila dengan usaha spiritualmu engkau dapat memperoleh karunia Tuhan, dengan karunia itu engkau akan dapat mengatasi akibat perbuatan masa lalu yang seharusnya akan kautanggung dalam hidup sekarang ini. Karena itu, jangan berkecil hati dalam hal apa pun juga.​

     Kesedihan dan penderitaan dunia ini sebetulnya bersifat māyā dan fana. Pusatkan pikiranmu dengan teguh pada kebenaran yang agung ini dan majulah dengan perkasa di jalan sādhanā yaitu sādhanā bhakti kepada Tuhan.