1.    Sri Rāma Navami adalah peringatan hari ulang tahun Sri Rāma, sebagai inkarnasi dari kesepuluh inkarnasi Sri Maha Vishnu. 
2.    Tuhan yang mewujudkan diri menjadi manusia, demikian pula Sri Rāma, memiliki tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Mengarahkan manusia untuk menjalani kehidupan di jalan yang benar. 
3.    Rāma menjadi satu sosok penting yang harus kita jadikan tokoh panutan, yang diidealkan. Rāma adalah putera, saudara, suami, ayah dan kepala pemerintahan yang ideal. Dengan kata lain, Tuhan ingin menunjukkan kepada dunia, bagaimana menjadi sosok yang ideal. 

Dengan demikian, arti penting dan utama dari perayaan Sri Rāma Navami adalah bagaimana membuat kita meneladani Rāma, bukan pada ritualnya. Pada hari ulang tahun Rāma ini, sekaligus juga dilaksanakan upacara pernikahan antara Rāma dan Sītā. Pernikahan suci ini disebut Sītā Kalyanam.

 

ARTI NAMA RĀMA


1.    Sudut pandang yang pertama 
Kata Rāma terdiri dari 3 huruf yaitu: Ra, A dan MA. 
    ‘Ra’, dari api, Tuhan. Kualitas api adalah untuk membakar, menghancurkan. Ketika kita mengucapkan ‘Rāma’, maka semua dosa kita akan dibakar sampai menjadi abu. 
    ‘A’, dari matahari yang dimaknai juga sebagai cahaya. Pada saat matahari terbit, kegelapan akan tersingkir, kegelapan akan lenyap. Dengan mengucapkan ‘Rāma’, kegelapan yang diakibatkan oleh kebodohan akan disingkirkan, dilenyapkan. 
    ‘Ma’, dari bulan. Api adalah ‘agni’, matahari adalah ‘surya’ dan bulan adalah ‘chandra’. Setiap orang menikmati cahaya bulan yang lembut dan menyejukkan. Pengaruh cahaya bulan bisa membuat kita terlena. Pikiran yang bergelora dan mudah dihasut akan ditenangkan oleh kesejukan sang bulan. Inilah arti dari ‘ma’ Berarti, dari sudut pandang yang pertama ini, dengan mengulang-ulang nama ‘Rāma’ kita akan mendapatkan 3 keuntungan, yaitu: (1) dosa dibakar habis, (2) kegelapan disingkirkan, (3) marah, kegalauan dan kegelisahan ditenangkan.
2.    Sudut pandang yang kedua
Ada dua pola pemahaman filsafat dalam Sanathana Dharma. Yang pertama, mereka yang menyembah Vishnu disebut Vaishvavites. Sedangkan mereka yang menyembah Shiva disebut Shaivites. Vaishnavites mengucapkan ‘Narayana Namo Narayana Narayana’, sedangkan Shaivites mengucapkan ‘Namah Shivaya Namah Shivaya’. Pada waktu yang lampau, kedua kelompok ini tidak pernah saling bertegur-sapa, tetapi pada masa sekarang ini mereka sudah berdamai. 
Menurut Bhagawan, kebijaksanaan sejati tidak membeda-bedakan. Bila kita mengira bahwa Vishnu dan Shiva adalah dua sosok yang berbeda, berarti kita bodoh. Dengan kata lain, Vishnu dan Shiva adalah identik; mereka adalah satu dan sama. Coba perhatikan permainan kata yang dicontohkan oleh Bhagawan. Vaishnavites yang menyembah Vishnu mengucapkan ‘Narayana’, kata ‘Ra’ diambil dari situ. Sedangkan Shaivavites mengucapkan ‘Namah Shivaya’, dan kata ‘Ma’ diambil dari situ. Kedua suku kata bila digabung akan menjadi ‘Rāma’. Dengan kata lain, kita mendapatkan keuntungan dengan melakukan pemujaan kepada Vishnu sekaligus kepada Shiva bila engkau mengulang-ulang nama ‘Rāma’.
3.    Sudut pandang yang ketiga
Kata ‘Rāma’ berasal dari Hara (Shiva) dan Uma (Parvathi, shaktinya Shiva). Bila kita mengucapkan ‘Rāma’, berarti kita juga sudah melakukan pemujaan kepada Shiva-Shakti. Kita tidak perlu melakukan pemujaan kepada para dewa secara terpisah. Bila kita mengucapkan ‘Rāma’, maka Dewi Parvathi akan puas, dan Dewa Shiva pun akan memberkati kita dalam waktu bersamaan.

 

SĪTĀ, ISTERI SRI RĀMA


Sītā sebagai isteri Rāma melambangkan Brahma Jnana atau kebijaksanaan spiritual. Setiap orang memiliki elemen kebijaksanaan spiritual seperti Sītā. Pada saat Rāma harus tinggal di hutan selama 14 tahun, Sītā mengikuti suaminya, meskipun tidak diminta, Sītā tidak harus ikut. Sītā dengan perasaan bahagia mengikuti Rāma selama 14 tahun di hutan. 
Pada saat tinggal di hutan, tiba-tiba Sītā terpesona oleh seekor rusa emas, dan hal ini mengakibatkan dirinya terpisah dari suami yang dicintainya. Tentang hal ini Bhagawan Baba menjelaskan, “Sekian lama Rāma, suaminya, selalu ada di dalam pikiran Sītā, yang dimuliakannya. Satu kali saja, Sītā mengikuti keinginannya, mengikuti keterpesonaannya kepada seekor rusa emas, dia langsung terpisah dari Rāma.” Jadi, ketika kama (keinginan) kita biarkan masuk dan menguasai kita, maka kita akan terpisah, dijauhkan dari Tuhan. Alangkah baiknya bila kita bisa menjaga agar pikiran kita selalu dekat dan bersatu dengan Tuhan.

 

KISAH TENTANG AHALYA


Bhagawan Baba menganggap perlu untuk membahas tentang kisah Ahalya, meskipun jarang dibicarakan dalam Rāmāyana. Dikisahkan bahwa Ahalya adalah simbol ketidakpatuhan. Sebagai seorang isteri, Ahalya tidak patuh kepada suaminya, Gautama, yang kemudian mengutuknya menjadi batu. Ketika Rāma menginjakkan kaki-Nya di batu Ahalya, batu tersebut berubah menjadi wujud manusia kembali, sebagai seorang wanita. 
Dalam penjelasan-Nya, Baba mengatakan bahwa wanita tidaklah sekedar jenis kelamin. Wanita melambangkan orang yang mudah berbelaskasihan, kelembutan hatinya, halus perasaannya, cerdas dan manis. Bagaimana dengan batu? Batu selalu diidentikkan dengan sesuatu yang keras, kasar dan tajam. Karena membangkang, kita bisa menjadi keras, kasar dan kejam seperti sebuah batu! Hanya dengan mengulangulang nama Tuhan, seorang yang berhati keras seperti sebuah batu bisa berubah menjadi orang yang mudah berbelaskasihan, halus perasaannya dan lembut hatinya. Orang yang hatinya sekeras batu, orang yang tidak tergerak oleh penderitaan orang lain atau pun orang yang tidak tanggap akan kebutuhan orang lain, mereka ini lebih buruk dari sebuah batu. Tetapi, ketika hati yang sekeras batu ini mau menyanyikan pujian untuk Sri Rāma, dia akan berubah menjadi orang yang berhati lembut.

 

KISAH HANUMĀN YANG MENYEBERANGI LAUTAN


Dikisahkan di dalam Rāmāyana bahwa Hanumān terbang menyeberangi lautan. Menurut Baba, lautan yang diseberangi oleh Hanumān tersebut melambangkan lautan kenikmatan duniawi, lautan khayalan yang membingungkan kita. Saat ini kita semua sedang tenggelam dalam gelombang lautan kenikmatan itu dan kita membutuhkan seseorang untuk menyelamatkan kita. Hanumān sendiri melambangkan keberanian karena hanya orang pemberanilah yang bisa menyeberangi lautan. 
Pada waktu itu, sebenarnya Rāma sudah bertanya kepada beberapa orang untuk dimintai bantuannya menyeberang ke Lanka untuk menemukan Sītā. Tetapi mereka menolak sambil mengajukan beberapa alasan. Jambhavan, seorang senior dalam rombongan Rāma memberikan alasan bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk memikul tanggung jawab tersebut. Kondisinya tidak sehat, sakit-sakitan dan sudah dekat dengan tanah pemakamannya. Yang lainnya, Nala, tidak yakin dirinya bisa melakukan lompatan besar untuk mencapai Lanka. Tetapi ketika akhirnya tiba pada giliran Hanumān, ternyata Hanumān menyatakan kesanggupannya. Hanumān belum pernah menyeberangi lautan sebelumnya, Hanumān juga belum pernah berjumpa dengan Sītā, tetapi menerima tugas itu. 
Kemudian Rāma bertanya kepada Hanumān, “Hanumān, apakah engkau pernah ke Lanka sebelum ini?’ “Tidak, Swami”. “Apakah engkau pernah melihat Sītā?” “Tidak.” “Mengapa engkau berkata bahwa engkau akan pergi ke sana? Mengapa engkau yakin bahwa engkau siap untuk pergi?” Kemudian Hanumān berkata, “Swami, Engkau telah meminta aku. Dan memberikan perintah kepadaku. Jadi aku yakin bahwa Engkau akan memberiku ketrampilan, kekuatan dan kemampuan untuk menyeberangi lautan dan memenuhi tugas yang sudah dipercayakan kepadaku.” 
Kisah Hanumān yang meyakini rahmat dari Rāma ini telah memberikan inspirasi tersendiri kepada Prof. Anil Kumar yang pada saat itu (awal tahun 1989) diminta oleh Bhagawan menjadi pimpinan di sebuah sekolah Swami yang ada di Bangalore. Bila sebelumnya Prof. Anil Kumar masih ragu untuk bekerja bersama Swami, melalui kisah ini, Baba menyampaikan pesan secara tidak langsung, “Aku akan melihat keberhasilanmu, jangan khawatir. Datang dan bergabunglah.”

 

KARAKTER LAKSHMANA


Pada saat diculik dan dibawa terbang oleh Rāvana, perhiasan Sītā terlepas dan jatuh di pegunungan. Tetapi perhiasanperhiasan tersebut akhirnya ditemukan dan kembali ke tangan Rāma. Ada sebuah percakapan menarik antara Rāma dan Lakshmana tentang perhiasan Sītā tersebut. Rāma bertanya, “Lakshmana, ini adalah perhiasan Sītā. Apakah engkau mengenalinya?” Lakshmana menjawab, “Tidak, Kak. Aku tidak pernah melihat anting, kalung atau pun gelang Kak Sītā. Jadi aku tidak tahu, apakah ini benarbenar perhiasan Kak Sītā. Tetapi aku tahu cincin ibu jari kakinya, karena aku selalu melakukan padanamaskar (bersujud di kaki Sītā) setiap pagi sebelum aku mulai bekerja. Jadi aku bisa mengenali cincin ibu jari kaki Kak Sītā.” 
Baba berkata, “Itu adalah contoh karakter Lakshmana. Dia tidak memandang langsung ke wajah Sītā, karena dia menghormati Sītā sebagai isteri kakaknya.” 
Ketika Laksmana bertanya kepada Rāma, “Kakak, apakah perhiasan yang lain itu milik Kak Sītā?” Rāma menjawab, “Aku tidak tahu. Bisa ya, bisa bukan.” Baba menjelaskan bahwa Rāma tidak pernah tahu perhiasan yang dipakai oleh Sītā karena Rāma tidak pernah memikirkan benda-benda seperti itu. Berbeda dengan suami-suami zaman sekarang yang sangat peduli dengan benda-benda duniawi.

 

RĀMA, SEBAGAI PANUTAN YANG IDEAL

 

Sebagai Putera yang Ideal 
Bhagawan selalu berkata kepada para murid, “Ingatlah bahwa kalian harus selalu membuat orang tuamu senang. Kalian harus menuruti perintah mereka. Orang tua kalian telah memberi kalian hadiah darah kalian, kepala kalian, uang kalian dan lain sebagainya. Jadi kalian harus mematuhi mereka.” Swami ingin semua orang meneladani Rāma. Selain itu, Rāma juga mempunyai prinsip untuk selalu melakukan hal-hal yang benar. 

Sebagai Saudara Laki-laki yang Ideal 
Rāma sangat menyayangi adikadiknya. Pada suatu ketika, Lakshmana jatuh dan lemas. Rāma berkata, “Mudah bagiku mendapatkan isteri seperti Sītā, tetapi sangat sulit bisa mendapatkan seorang adik seperti Lakshmana.” Itulah ungkapan kasih Rāma yang ditujukan kepada Lakshmana, adiknya.

Sebagai Suami yang Ideal 
Rāma menangisi Sītā yang hilang dari sisinya dan pikirannya hanya tertuju kepada Sītā serta ingin segera bisa bertemu dengan Sītā. Sebagai Teman yang Ideal Pada saat mencari Sītā, Rāma bertemu dengan Sugriva dan Hanumān di gunung Rushiyamuka yang artinya ketidakmelekatan. 
Sugriva menemui Rāma untuk memohon perlindungan di kaki Sri Rāma. Sedangkan Hanumān sebagai pimpinan tentara Sugriva, siap membantu dan mengikuti perintah Rāma. Dalam hal ini, Rāma yang berjiwa mandiri, mencari persahabatan dengan Sugriva dan meminta bantuan Hanumān, yang menggambarkan salah satu sikap mulia Rāma. Rāma mendukung Sugriva meskipun Vali, kakak Sugriva, lebih kuat dan hebat. Rāma juga mendukung Vibhishana, adik Rāvana, yang menyerahkan diri dan bersujud di kaki teratai Rāma.
Sebagai Musuh yang Ideal Pada saat peperangan melawan Rāvana, suatu ketika Rāma melihat bahwa Rāvana sudah benar-benar keletihan dan lemah. Kemudian Rāma berkata kepada Rāvana, “Rāvana, engkau lelah. Pulang dan beristirahatlah. Kita melanjutkan pertempuran kita besok pagi. Selamat malam!” Dapatkah kita membayangkan bahwa musuh kita memberi kita kesempatan untuk beristirahat sebelum melanjutkan pertempuran lagi? Rāma tidak mengambil keuntungan dari keadaan Rāvana yang kelelahan, lemah dan tidak berdaya. Bahkan pada saat Rāvana dalam keadaan sekarat, Rāma mengutus adiknya, Lakshmana, untuk mempelajari beberapa peraturan politik. 
Rāma berkata, “Lakshmana, Rāvana bukanlah orang biasa. Dia adalah seorang penyembah Shiva yang luar biasa. Selain sebagai orang yang sangat terpelajar, Rāvana juga adalah seorang raja yang agung. Pergilah menemui Rāvana dan pelajarilah peraturan politik darinya.” Tidak ada orang yang begitu murah hati kepada musuhnya, kecuali Rāma. Sayangnya, saat ini rasa benci dan permusuhan sedang berkembang di mana-mana, sehingga kadang kita tidak bisa melihat kebaikan yang ada di dalam diri orang lain. 
Ketika kita sependapat dengan orang lain, kita akan bisa menemukan nilai lebih dari orang lain tersebut. Tetapi ketika kita berbeda pendapat, kita hanya akan melihat segala sesuatunya menjadi negatif. Ini bukan sesuatu yang benar. Rāma melihat segala sesuatu yang positif dari setiap orang. Oleh karena itulah Rāma adalah musuh yang ideal.

Sebagai pemimpin yang ideal 
Sebagai seorang pemimpin, Rāma selalu siap menderita, siap untuk mengorbankan kesenangan pribadinya. Dengan berharap agar rakyatnya sejahtera, Rāma selalu siap menghadapi segala tantangan yang mungkin muncul. Inilah yang dikatakan oleh Bhagawan, bahwa seorang pemimpin harus selalu memiliki prinsip dan nilai. 
Rāma juga selalu mendengarkan nasehat dari orang suci dan para cendekiawan. Dia selalu rendah hati dan sederhana. Pada saat Rāma Rajya, yaitu masa pemerintahan dan kepemimpinan Sri Rāma sebagai seorang raja di Ayodya, rakyatnya mendapatkan kehidupan yang sejahtera. Boleh dikatakan, bahwa pada masa itu tidak terjadi wabah yang mematikan, alam yang baik dan bersahabat menghasilkan panen yang memakmurkan kehidupan ekonomi para rakyat, jadi tidak ada kemiskinan, tidak ada kelaparan. Karena rakyat sejahtera, tidak ada kesempatan untuk hal-hal negatif seperti kesirikan, fitnah dan pencurian.

 

PESAN DARI RĀMĀYANA


Pada intinya, Rāmāyana menggambarkan tentang keharmonisan, kesatuan dan saling memahami antara orang tua, anak, saudara, suami, isteri. Harus dipelihara sikap saling menghormati dan menjaga kehormatan keluarga. Segala sesuatu yang bisa menimbulkan perpecahan harus dihindari. 
Menurut Bhagawan, pada saat ini, hubungan orang tua dengan anak sebagai hal paling inti dalam keluarga sudah terganggu. Suami dan isteri tidak lagi sejalan. Anak-anak gembira bila orang tua tidak ada di rumah. Orang tua tidak yakin pada perilaku anakanaknya. Bila hal inti dan utama ini sudah mulai goyah, maka kebahagiaan keluarga akan hilang. 
Rāmāyana ada untuk menyelamatkan kita. Bila Rāma selalu mendengarkan dan mengikuti nesehat para guru, orang-orang bijak, orang-orang suci, seperti Vashista dan Vamadeva. Maka kita juga memerlukan nasehat dari para tetua, pemimpin spiritual. Kita perlu bimbingan dari orang-orang suci dan orang-orang yang terpelajar. Kita perlu mengingatkan diri kita tentang nilai-nilai kemanusiaan yang sudah mulai terkikis.