BAB XII
TEMPAT IBADAT
Pada zaman dahulu masyarakat menganggap tempat ibadat bukan saja sebagai tempat Tuhan bersemayam (deva-mandir), tetapi juga tempat untuk mengajarkan pengetahuan tentang kenyataan diri sejati (vijñāna- mandir). Mereka tahu bahwa Tuhan dapat dicapai melalui pengabdian yang dilakukan dengan sadar dan dengan memahami maknanya sepenuhnya. Mereka merasa bahwa tempat ibadat merupakan perguruan tinggi tempat manusia membina budaya pikiran yang lebih luhur, tempat manusia mengembangkan pembinaan pikiran yang sesungguhnya. Mereka tahu bahwa rumah Tuhan dalam hati manusia akan sama bersih dan sucinya dengan rumah Tuhan yang ada di desa mereka. Engkau dapat menduga sifat penduduk suatu desa hanya dengan melihat dan memperhatikan tempat ibadah desa itu serta lingkungannya. “Jika tempat ibadat tersebut terpelihara kebersihannya dan suasananya suci, engkau dapat memperkirakan bahwa penduduk desa yang murni itu penuh rasa takut kepada dosa, bahwa mereka menempuh jalan kebajikan,” demikian pendapat orang zaman dahulu.
Tempat untuk mengajarkan pengetahuan ketuhanan ‘Divyajñāna-mandir’, atau tempat untuk memberikan pelajaran mengenai ātma (ātmopadesālaya) kini telah merosot menjadi tempat untuk membagikan persembahan dan untuk bersukaria bagi rombongan orang yang bertamasya. Penganggur serta pemalas bergerombol di halamannya dan bermain kartu, dadu, atau permainan lain semacam itu. Kali-puruṣa ‘pengejawantahan kebatilan’ berjingkrak kegirangan bila kelompok-kelompok semacam itu berkumpul di tempat ibadat.
Tempat Ibadat Adalah Jantung Kehidupan Desa
Hal ini bertentangan dengan dharma. Tempat ibadat adalah jantung kehidupan desa, karena itu harus dijaga, dipelihara serta dirawat seperti kita menjaga jantung kita. Percayalah bahwa Tuhan berjalan-jalan dalam tempat ibadat itu, di dalam rumah-Nya. Semua bertanggung jawab menjaga kesucian suasananya yang memberikan kebahagiaan sewaktu melayani Tuhan. Percayalah bahwa tempat ibadat itu bagaikan jantung bagi semuanya. Bila manusia sudah dapat bersikap seperti itu, maka sifat ketuhanan dalam dirinya akan bersinar bagaikan permata. Ini adalah kebenaran, itulah sebabnya mengapa orang bersusah payah membangun tempat ibadat.
Para pemuka desa, jawatan pemerintah, atau para bhakta sendiri harus berusaha menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk membina disiplin kerohanian dan kebijaksanaan. Hanya dengan demikianlah manusia dapat bersinar dalam keindahan yang suci.
Keadaan yang memprihatinkan ini tidak sampai di situ saja. Ada beberapa kritikus kelewat modern yang mengecam penghiasan gerbang tempat ibadat (gopura) sebagai pemborosan. Hal ini memperlihatkan bahwa orang tersebut sama sekali tidak memiliki pandangan yang jauh ke depan. Tidak akan ada orang yang bercita-cita luhur atau berpandangan spiritual mengeluarkan penyataan seperti itu. Bila engkau merenungkan makna gerbang tempat ibadat (gopuram), engkau akan menyadari betapa suci, misterius, dan luhur tujuannya. Gopuram yang menjulang tinggi itu memanggil para musafir yang tersesat dan menjauhi kebenaran, “Hai manusia! Dibutakan oleh kabut kelekatan jasmani dan dorongan kecongkakan, dikuasai oleh racun nafsu duniawi yang bersifat sementara dan palsu, engkau telah melupakan Aku, sumber dan pemelihara kalian semua. Tataplah menara kesukacitaan yang abadi, suci, dan megah ini. Dengan melupakan Aku, engkau berkubang dalam penderitaan; engkau mengejar fatamorgana di padang pasir. Datanglah; percayalah kepada-Ku yang abadi. Berjuanglah, tinggalkan kegelapan, masukilah alam yang terang, dan tempuhlah jalan raya kedamaian. Itulah jalan dharma. Mari, datanglah.” Demikianlah Gopala (Śrī Kṛṣṇa) dengan kedua angan terangkat ke atas, memanggil semua manusia dari puncak kubah tempat ibadat di setiap desa.
Jadi, bila dilihat dari pandangan yang lebih tinggi dan lebih dalam, gerbang tempat masuk ke tempat ibadat dapat dihargai sebagai sarana pembantu untuk meluhurkan cita- cita dan tingkah laku manusia. Inilah prinsip yang melandasi pembuatan gerbang tempat ibadat. Cita-cita luhur semacam itulah yang mengilhami bangunan tersebut. Inilah maknanya yang sejati, makna yang dapat dihayati dan dirasakan. Lampu di puncak gerbang melambangkan terang yang merupakan perlindungan semua manusia, perlambang cahaya batin yang tidak pernah redup, yang dihidupkan oleh nyala api diri sejati. Ia adalah penerangan batin yang dicapai jika manusia manunggal dengan Tuhan.
Tempat ibadat dapat dimisalkan dengan oasis di tengah padang pasir. Bagi manusia yang tersesat di gurun pasir kesedihan dan ketamakan yang panas terik, tempat ibadat adalah pura kedamaian (praśānti-mandir, santosha-sādhan) yang menyambutmu untuk memasuki kedamaian dan kebahagiaan yang menyejukkan. Gerbang itu merupakan pemandu bagi para musafir yang sengsara; ia mengibarkan panji nama Tuhan; kalian semua harus bersyukur atas jasanya itu.
Penyebab Kesengsaraan
Banyak manusia modern yang berpikiran dangkal kebingungan karena tidak memahami tujuan semua bangunan dan keadaan, aturan serta adat kebiasaan yang berlaku di sekitar tempat ibadat. Mereka tidak dapat memahami makna jawaban apa pun yang tidak terjangkau oleh pengertian mereka yang terbatas. Bagi penderita demam tinggi, makanan yang manis pun akan terasa pahit; demikian pula mereka yang menderita demam tinggi keduniawian, tidak akan pernah dapat merasakan manisnya kebenaran. Demam itu harus diatasi lebih dahulu, barulah kemudian mereka dapat menghargai nilai hal-hal yang bersifat kerohanian.
Apakah tujuan hidup manusia? Apakah cita-cita yang harus dicapainya? Apakah sekadar makan, minum, tidur, mengecap sedikit kegembiraan dan penderitaan, lalu mati seperti margasatwa? Tidak, pastilah tidak demikian. Sedikit renungan akan mengungkapkan bahwa itu tidak benar. Tujuan hidup manusia adalah menyadari dan menghayati Tuhan Yang Mahabesar (Brahma-sākshātkāra)! Tanpa hal itu, tidak ada manusia yang dapat mencapai ketentraman batin. Ia harus meraih kebahagiaan (yang berasal) dari rahmat Tuhan. Betapa pun gigihnya manusia berusaha mencari kebahagiaan dari aneka ragam hal-halduniawi, peluang untuk memperoleh kepuasan kecil sekali. Sedangkan kedamaian atau śānti tidaklah mungkin diperoleh melalui benda- benda duniawi. Pikiran manusia hanya dapat memperoleh kedamaian bila ia manunggal dengan kesadaran mutlak, penyebab utama, eksistensi yang tidak berubah.
Bahkan rumah paling nyaman sekalipun, yang dilengkapi dengan segala kemewahan yang didambakan manusia, atau bahkan timbunan harta, tidak akan dapat memberi kedamaian. Kedamaian hanya dapat diperoleh dengan memasrahkan diri kepada Tuhan yang merupakan hakikat keberadaan kita, sumber segala kehidupan dan penghidupan. Coba renungkan, apakah orang yang beruntung memiliki kekayaan, emas, harta, dan kesenangan itu memiliki kedamaian batin? Tidak, sama sekali tidak. Apakah manusia yang sangat terpelajar, orang yang luar biasa cantik, yang mahakuat itu setidak-tidaknya damai dengan dirinya sendiri dan dengan dunia? Apakah sebabnya orang- orang semacam itu pun menderita?
Sebabnya adalah, mereka telah melupakan landasan Ilahi ciptaan Tuhan, mereka telah mengabaikan prinsip dasar mutlak yang esa itu. Semua kehidupan yang dilewatkan tanpa iman dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah hina dan tercela. Hidup yang dilewatkan tanpa mengecap madu prinsip ketuhanan adalah kesempatan yang sia-sia.
Hal itu memang merupakan titik balik yang ganjil! Landasanmu yang sejati, sumber kebahagiaanmu, asas pokok dirimu, yakni prinsip paramartha ’tujuan yang tertinggi’, telah menjadi sesuatu yang berada di luar dirimu, tidak dibutuhkan dan tidak di cari. Dunia dengan segala hias riasnya yang tidak berharga itu menjadi dekat, akrab, dibutuhkan, dan didambakan.
Manusia mengingkari kebahagiaan yang dapat diperoleh dengan memasrahkan diri kepada Tuhan dan berlari kian kemari atas nama bhakti, mengunjungi berbagai tempat keramat, orang arif bijaksana, dan sungai-sungai suci. Sedikit bhakti sejati akan membangunkan mereka dari lamunan ini. Bhakti sejati mengajar mereka bahwa manusia hanya dapat memperoleh kedamaian dengan kembali ke tempat asalnya, yakni Tuhan. Sebelum kembali ke Tuhan, manusia akan selalu dihantui oleh perasaan rindu.
Tempat Ibadat adalah Undangan Dan Mengingatkan Manusia Kepada Tuhan
Tempat ibadat merupakan undangan untuk memasuki rumah (Tuhan), penunjuk jalan yang menunjukkan arah kepada manusia. Suatu kali Śrī Rāmacandra berkhotbah kepada hadirin yang berkumpul untuk mendengarkan wejangan Beliau di Bukit Citrakuta, “Fajar menyingsing dan senja tiba. Bersamaan dengan fajar, keserakahan timbul dalam diri manusia; pada waktu senja tiba, nafsu syahwat menguasai manusia. Inikah yang merupakan cara hidupmu? Inikah tujuanmu? Dengan berlalunya waktu, setiap satu hari manusia telah menyia-nyiakan satu kesempatan yang berharga. la sudah maju selangkah lagi mendekati gua maut. Tetapi, pernahkan ia meratapi nasibnya? Apakah manusia sedih menyesali hari yang disia-siakannya itu?” Perhatikan, betapa perlunya amanat ini kita camkan di dalam hati.
Karena peringatan-peringatan semacam itulah maka kebudayaan Bhārata-varsa (orang-orang dari tanah Bhārat atau India, atau siapa saja yang mengikuti dan melaksanakan dharma yang abadi, Sanātana dharma) selalu berpusat kepada Tuhan. Bha-ra-ta berarti negeri yang mempunyai rati atau ’ikatan’ dengan Bhagavan atau ’Tuhan’. Jika orang Barat meninggalkan segala sesuatu dalam pengabdian mereka yang terpusat untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur dunia objektif, di sini, di India, orang-orang meninggalkan segala sesuatu untuk menemukan dan menghayati Tuhan Yang Mahabesar, yang merupakan asal jagat raya. Bila terungkap dan diketahui, Ia menganugerahkan kedamaian yang tidak tergoyahkan.
Orang Barat meninggalkan segala sesuatu demi hal-hal fana; di sini (di India) penyangkalan diri itu dilakukan demi yang abadi. Hal ini dilakukan untuk pengetahuan yang lebih tinggi atau penghayatan kemanunggalan dengan Tuhan (vijñāna), sedangkan orang Barat melakukannya untuk ketidakarifan sehingga tidak mengetahui bahwa dirinya yang sejati adalah ātma yang abadi, bukan tubuh (ajñāna). Usaha penyangkalan diri untuk Tuhan ini merupakan tapa, sedangkan usaha mereka adalah kebebalan (tamas). Itulah sebabnya mengapa hingga sekarang pun keagungan para ṛṣi, orang-orang yang arif bijaksana, dan para yogi, tetap bersinar menerangi manusia, walaupun mereka hidup berabad-abad yang telah lampau. Bila kadangkala bayangan keputusasaan, depresi, dan ketidakpuasan tersirat pada wajah penduduk negeri ini, itu merupakan tanda bahwa keyakinan pada dharma telah merosot.
Tempat ibadat dimaksudkan untuk melatih manusia dalam seni melenyapkan selubung kelekatan yang menyelimuti hatinya. Itulah sebabnya mengapa Tyāgarāja menangis di Pura Tirupati, ”Sirnakanlah selubung dalam hatikuini, selubungkecongkakan dankebencian.” Kabut māyā memudar dan lenyap di hadapan cahaya rahmat, karena itu ia dapat melihat dan melukiskan gambaran pesona ketuhanan dalam kidungnya “Shivudano Mādhavudano” dan mereguk dalam-dalam keindahan wujud Tuhan. (Dari) hatinya yang diaduk dengan rumusan suci (dengan mengucapkan japa mengulang-ulang nama Tuhan) timbullah percikan kebijaksanaan (jñāna) yang kemudian berkobar menjadi nyala kesadaran diri yang sejati.
Tidak hanya dalam Kaliyuga ini, tetapi juga dalam yuga-yuga yang terdahulu, yakni Kṛta, Treta, dan Dvāpara, nāmasmarana telah menjadi rahasia pembebasan dari belenggu. Tempat ibadat merupakan tempat untuk mengucapkan namasmarana ini secara wajar, otomatis, serta tidak terusik. Karena itu, pergi ke tempat ibadat merupakan suatu hal yang wajib sifatnya, terutama pada zaman Kaliyuga ketika udara penuh dengan pikiran-pikiran yang jahat dan tidak bernapaskan ketuhanan.
Itulah sebabnya dalam Bhagavad Gītā Kṛṣṇa menyatakan, “Di antara pengurbanan (yajña), Akulah pengulang-ulangan nama (nāmayajña), pengurbanan ini mempersembahkan hewan kurban ke dalam api suci, yaitu hewan kebodohan (ajñāna).” Untuk melenyapkan kesedihan, untuk memperoleh kegembiraan, tempat ibadat yang memungkinkan orang mengingat nama Tuhan memang mutlak perlu. ”Untuk memperoleh kebahagiaan jiwa, diperlukan mengingat dan merenungkan Tuhan (smarana), untuk mengingat dan merenungkan nama Tuhan, diperlukan tempat ibadat.” Itulah urutannya. Tidak ada yang lebih berfaedah, lebih membahagiakan, dan lebih mempesona daripada hal ini.
“Jika manusia memiliki nama Tuhan yang sangat mudah diucapkan, lidah yang selalu siap sedia, dan tempat ibadat tempat dipasangnya arca Tuhan yang menawan hati sehingga ia dapat menyanyikan kemuliaan-Nya dengan suara syahdu ... mengapa manusia harus bergegas memasuki gerbang neraka?” demikian tanya Vyāsa. Keheranannya timbul dari pengalamannya sendiri mengenai keampuhan nama Tuhan dan pengulangan serta perenungan nama tersebut. Demikian pula Tulsidās! la selalu tinggal dalam tempat ibadat dan menyanyikan kidung tentang kebahagiaan yang dirasakannya. ”Aduh! Bila manusia meninggalkan nama Tuhan serta tempat ibadat lalu mencari kedamaian dan kesenangan di tempat lain, aku jadi teringat akan kebodohan mereka yang meninggalkan hidangan serba lezat dan bergizi yang ada dalam piring mereka sendiri, lalu menadahkan tangan untuk mengemis sisa-sisa makanan orang lain,” demikian keluhnya.
Bahkan dalam disiplin Veda ditekankan bahwa nama Tuhan dan usaha manusia untuk selalu mengingatnya sangatlah penting. “Om kata yang tunggal itu adalah Brahman.” Om ityekāksharam Brahman, demikian dinyatakan oleh para ṛṣi bangsa Arya.
Bila engkau berminat, cobalah teliti, adakah orang suci yang diselamatkan tanpa nama atau rumah Tuhan? Bagi Gauranga, Mandir Viṣṇu (Jagannatha mandir) adalah sumber ilham dan tempat berlindung. Bagi Jayadeva, itu adalah Rādhākṛṣṇa mandir. Untuk Nandanār, tempat ibadat di Chidambaramlah yang merupakan sumber realisasinya. Vallabhācārya, Śaṅkarācārya, Nāmadev, Tulsidās, Tyāgarāja, semuanya memperoleh penampakan Tuhan, dan lebih hebat lagi, (mereka memperoleh) kebijaksanaan Ilahi, di dalam dan melalui tempat ibadat. Apakah gunanya menambah uraian ini? Bahkan pada zaman modern ini, bukankah Rāmakṛṣṇa Paramahaṃsa menghayati kebahagiaan Tuhan dan menemukan kenyataan dirinya yang sejati di dalam Pura Kali yang didirikan oleh Rānī Rāsamani?
Peminat Kehidupan Rohani Merasa Bahwa Tempat Ibadat Harus Ada
Menyalahgunakan tempat ibadat, merusak atau mengganggu suasana lingkungannya yang kudus, melupakan misi sucinya, menentang atau mencela adat dan kebiasaan yang berlaku di sana, dan menjerumuskannya menuju kemerosotan serta kecemaran -- tidak diragukan lagi, semua ini adalah adharma, bukan dharma. Mereka yang melakukan hal-hal semacam ini tidak memiliki penerangan lahir maupun batin; mereka sama sekali berada dalam kegelapan. Pemujaan di tempat ibadat, pergaulan dengan orang yang arif bijaksana, pengidungan nama Tuhan, pemujaan patung atau simbol, semua ini merupakan sumber cahaya dari luar. Meditasi, tapa, perenungan (dhyāna, tapa, manana), semua ini adalah sumber penerangan dari dalam. Tanpa kedua sumber penerangan ini, bagaimana manusia dapat mengalami penampakan keagungan Tuhan?
Tidak mengherankan jika Tulasidās Goswami pernah berkata, “Apakah engkau memerlukan penerangan di dalam serta di luar rumah? Jika demikian, letakkanlah pelita di ambang pintu! Demikian pula, apakah engkau ingin menyebarkan cahaya kedamaian ke sekelilingmu dan dalam dirimu sendiri? Jika demikian, letakkan nama Tuhan di lidah yang merupakan ambang pintu kepribadianmu! Pelita di lidah itu tidak akan berkedip-kedip, memudar, atau dipadamkan oleh angin apa pun. Pelita itu akan memberikan kedamaian kepadamu serta semua orang yang kautemui, bahkan ke seluruh dunia.”
Pada zaman dahulu masyarakat menganggap tempat ibadat bukan saja sebagai tempat Tuhan bersemayam (deva-mandir), tetapi juga tempat untuk mengajarkan pengetahuan tentang kenyataan diri sejati (vijñāna- mandir). Mereka tahu bahwa Tuhan dapat dicapai melalui pengabdian yang dilakukan dengan sadar dan dengan memahami maknanya sepenuhnya. Mereka merasa bahwa tempat ibadat merupakan perguruan tinggi tempat manusia membina budaya pikiran yang lebih luhur, tempat manusia mengembangkan pembinaan pikiran yang sesungguhnya. Mereka tahu bahwa rumah Tuhan dalam hati manusia akan sama bersih dan sucinya dengan rumah Tuhan yang ada di desa mereka. Engkau dapat menduga sifat penduduk suatu desa hanya dengan melihat dan memperhatikan tempat ibadah desa itu serta lingkungannya. “Jika tempat ibadat tersebut terpelihara kebersihannya dan suasananya suci, engkau dapat memperkirakan bahwa penduduk desa yang murni itu penuh rasa takut kepada dosa, bahwa mereka menempuh jalan kebajikan,” demikian pendapat orang zaman dahulu.
Tempat untuk mengajarkan pengetahuan ketuhanan ‘Divyajñāna-mandir’, atau tempat untuk memberikan pelajaran mengenai ātma (ātmopadesālaya) kini telah merosot menjadi tempat untuk membagikan persembahan dan untuk bersukaria bagi rombongan orang yang bertamasya. Penganggur serta pemalas bergerombol di halamannya dan bermain kartu, dadu, atau permainan lain semacam itu. Kali-puruṣa ‘pengejawantahan kebatilan’ berjingkrak kegirangan bila kelompok-kelompok semacam itu berkumpul di tempat ibadat.
Tempat Ibadat Adalah Jantung Kehidupan Desa
Hal ini bertentangan dengan dharma. Tempat ibadat adalah jantung kehidupan desa, karena itu harus dijaga, dipelihara serta dirawat seperti kita menjaga jantung kita. Percayalah bahwa Tuhan berjalan-jalan dalam tempat ibadat itu, di dalam rumah-Nya. Semua bertanggung jawab menjaga kesucian suasananya yang memberikan kebahagiaan sewaktu melayani Tuhan. Percayalah bahwa tempat ibadat itu bagaikan jantung bagi semuanya. Bila manusia sudah dapat bersikap seperti itu, maka sifat ketuhanan dalam dirinya akan bersinar bagaikan permata. Ini adalah kebenaran, itulah sebabnya mengapa orang bersusah payah membangun tempat ibadat.
Para pemuka desa, jawatan pemerintah, atau para bhakta sendiri harus berusaha menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk membina disiplin kerohanian dan kebijaksanaan. Hanya dengan demikianlah manusia dapat bersinar dalam keindahan yang suci.
Keadaan yang memprihatinkan ini tidak sampai di situ saja. Ada beberapa kritikus kelewat modern yang mengecam penghiasan gerbang tempat ibadat (gopura) sebagai pemborosan. Hal ini memperlihatkan bahwa orang tersebut sama sekali tidak memiliki pandangan yang jauh ke depan. Tidak akan ada orang yang bercita-cita luhur atau berpandangan spiritual mengeluarkan penyataan seperti itu. Bila engkau merenungkan makna gerbang tempat ibadat (gopuram), engkau akan menyadari betapa suci, misterius, dan luhur tujuannya. Gopuram yang menjulang tinggi itu memanggil para musafir yang tersesat dan menjauhi kebenaran, “Hai manusia! Dibutakan oleh kabut kelekatan jasmani dan dorongan kecongkakan, dikuasai oleh racun nafsu duniawi yang bersifat sementara dan palsu, engkau telah melupakan Aku, sumber dan pemelihara kalian semua. Tataplah menara kesukacitaan yang abadi, suci, dan megah ini. Dengan melupakan Aku, engkau berkubang dalam penderitaan; engkau mengejar fatamorgana di padang pasir. Datanglah; percayalah kepada-Ku yang abadi. Berjuanglah, tinggalkan kegelapan, masukilah alam yang terang, dan tempuhlah jalan raya kedamaian. Itulah jalan dharma. Mari, datanglah.” Demikianlah Gopala (Śrī Kṛṣṇa) dengan kedua angan terangkat ke atas, memanggil semua manusia dari puncak kubah tempat ibadat di setiap desa.
Jadi, bila dilihat dari pandangan yang lebih tinggi dan lebih dalam, gerbang tempat masuk ke tempat ibadat dapat dihargai sebagai sarana pembantu untuk meluhurkan cita- cita dan tingkah laku manusia. Inilah prinsip yang melandasi pembuatan gerbang tempat ibadat. Cita-cita luhur semacam itulah yang mengilhami bangunan tersebut. Inilah maknanya yang sejati, makna yang dapat dihayati dan dirasakan. Lampu di puncak gerbang melambangkan terang yang merupakan perlindungan semua manusia, perlambang cahaya batin yang tidak pernah redup, yang dihidupkan oleh nyala api diri sejati. Ia adalah penerangan batin yang dicapai jika manusia manunggal dengan Tuhan.
Tempat ibadat dapat dimisalkan dengan oasis di tengah padang pasir. Bagi manusia yang tersesat di gurun pasir kesedihan dan ketamakan yang panas terik, tempat ibadat adalah pura kedamaian (praśānti-mandir, santosha-sādhan) yang menyambutmu untuk memasuki kedamaian dan kebahagiaan yang menyejukkan. Gerbang itu merupakan pemandu bagi para musafir yang sengsara; ia mengibarkan panji nama Tuhan; kalian semua harus bersyukur atas jasanya itu.
Penyebab Kesengsaraan
Banyak manusia modern yang berpikiran dangkal kebingungan karena tidak memahami tujuan semua bangunan dan keadaan, aturan serta adat kebiasaan yang berlaku di sekitar tempat ibadat. Mereka tidak dapat memahami makna jawaban apa pun yang tidak terjangkau oleh pengertian mereka yang terbatas. Bagi penderita demam tinggi, makanan yang manis pun akan terasa pahit; demikian pula mereka yang menderita demam tinggi keduniawian, tidak akan pernah dapat merasakan manisnya kebenaran. Demam itu harus diatasi lebih dahulu, barulah kemudian mereka dapat menghargai nilai hal-hal yang bersifat kerohanian.
Apakah tujuan hidup manusia? Apakah cita-cita yang harus dicapainya? Apakah sekadar makan, minum, tidur, mengecap sedikit kegembiraan dan penderitaan, lalu mati seperti margasatwa? Tidak, pastilah tidak demikian. Sedikit renungan akan mengungkapkan bahwa itu tidak benar. Tujuan hidup manusia adalah menyadari dan menghayati Tuhan Yang Mahabesar (Brahma-sākshātkāra)! Tanpa hal itu, tidak ada manusia yang dapat mencapai ketentraman batin. Ia harus meraih kebahagiaan (yang berasal) dari rahmat Tuhan. Betapa pun gigihnya manusia berusaha mencari kebahagiaan dari aneka ragam hal-halduniawi, peluang untuk memperoleh kepuasan kecil sekali. Sedangkan kedamaian atau śānti tidaklah mungkin diperoleh melalui benda- benda duniawi. Pikiran manusia hanya dapat memperoleh kedamaian bila ia manunggal dengan kesadaran mutlak, penyebab utama, eksistensi yang tidak berubah.
Bahkan rumah paling nyaman sekalipun, yang dilengkapi dengan segala kemewahan yang didambakan manusia, atau bahkan timbunan harta, tidak akan dapat memberi kedamaian. Kedamaian hanya dapat diperoleh dengan memasrahkan diri kepada Tuhan yang merupakan hakikat keberadaan kita, sumber segala kehidupan dan penghidupan. Coba renungkan, apakah orang yang beruntung memiliki kekayaan, emas, harta, dan kesenangan itu memiliki kedamaian batin? Tidak, sama sekali tidak. Apakah manusia yang sangat terpelajar, orang yang luar biasa cantik, yang mahakuat itu setidak-tidaknya damai dengan dirinya sendiri dan dengan dunia? Apakah sebabnya orang- orang semacam itu pun menderita?
Sebabnya adalah, mereka telah melupakan landasan Ilahi ciptaan Tuhan, mereka telah mengabaikan prinsip dasar mutlak yang esa itu. Semua kehidupan yang dilewatkan tanpa iman dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah hina dan tercela. Hidup yang dilewatkan tanpa mengecap madu prinsip ketuhanan adalah kesempatan yang sia-sia.
Hal itu memang merupakan titik balik yang ganjil! Landasanmu yang sejati, sumber kebahagiaanmu, asas pokok dirimu, yakni prinsip paramartha ’tujuan yang tertinggi’, telah menjadi sesuatu yang berada di luar dirimu, tidak dibutuhkan dan tidak di cari. Dunia dengan segala hias riasnya yang tidak berharga itu menjadi dekat, akrab, dibutuhkan, dan didambakan.
Manusia mengingkari kebahagiaan yang dapat diperoleh dengan memasrahkan diri kepada Tuhan dan berlari kian kemari atas nama bhakti, mengunjungi berbagai tempat keramat, orang arif bijaksana, dan sungai-sungai suci. Sedikit bhakti sejati akan membangunkan mereka dari lamunan ini. Bhakti sejati mengajar mereka bahwa manusia hanya dapat memperoleh kedamaian dengan kembali ke tempat asalnya, yakni Tuhan. Sebelum kembali ke Tuhan, manusia akan selalu dihantui oleh perasaan rindu.
Tempat Ibadat adalah Undangan Dan Mengingatkan Manusia Kepada Tuhan
Tempat ibadat merupakan undangan untuk memasuki rumah (Tuhan), penunjuk jalan yang menunjukkan arah kepada manusia. Suatu kali Śrī Rāmacandra berkhotbah kepada hadirin yang berkumpul untuk mendengarkan wejangan Beliau di Bukit Citrakuta, “Fajar menyingsing dan senja tiba. Bersamaan dengan fajar, keserakahan timbul dalam diri manusia; pada waktu senja tiba, nafsu syahwat menguasai manusia. Inikah yang merupakan cara hidupmu? Inikah tujuanmu? Dengan berlalunya waktu, setiap satu hari manusia telah menyia-nyiakan satu kesempatan yang berharga. la sudah maju selangkah lagi mendekati gua maut. Tetapi, pernahkan ia meratapi nasibnya? Apakah manusia sedih menyesali hari yang disia-siakannya itu?” Perhatikan, betapa perlunya amanat ini kita camkan di dalam hati.
Karena peringatan-peringatan semacam itulah maka kebudayaan Bhārata-varsa (orang-orang dari tanah Bhārat atau India, atau siapa saja yang mengikuti dan melaksanakan dharma yang abadi, Sanātana dharma) selalu berpusat kepada Tuhan. Bha-ra-ta berarti negeri yang mempunyai rati atau ’ikatan’ dengan Bhagavan atau ’Tuhan’. Jika orang Barat meninggalkan segala sesuatu dalam pengabdian mereka yang terpusat untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur dunia objektif, di sini, di India, orang-orang meninggalkan segala sesuatu untuk menemukan dan menghayati Tuhan Yang Mahabesar, yang merupakan asal jagat raya. Bila terungkap dan diketahui, Ia menganugerahkan kedamaian yang tidak tergoyahkan.
Orang Barat meninggalkan segala sesuatu demi hal-hal fana; di sini (di India) penyangkalan diri itu dilakukan demi yang abadi. Hal ini dilakukan untuk pengetahuan yang lebih tinggi atau penghayatan kemanunggalan dengan Tuhan (vijñāna), sedangkan orang Barat melakukannya untuk ketidakarifan sehingga tidak mengetahui bahwa dirinya yang sejati adalah ātma yang abadi, bukan tubuh (ajñāna). Usaha penyangkalan diri untuk Tuhan ini merupakan tapa, sedangkan usaha mereka adalah kebebalan (tamas). Itulah sebabnya mengapa hingga sekarang pun keagungan para ṛṣi, orang-orang yang arif bijaksana, dan para yogi, tetap bersinar menerangi manusia, walaupun mereka hidup berabad-abad yang telah lampau. Bila kadangkala bayangan keputusasaan, depresi, dan ketidakpuasan tersirat pada wajah penduduk negeri ini, itu merupakan tanda bahwa keyakinan pada dharma telah merosot.
Tempat ibadat dimaksudkan untuk melatih manusia dalam seni melenyapkan selubung kelekatan yang menyelimuti hatinya. Itulah sebabnya mengapa Tyāgarāja menangis di Pura Tirupati, ”Sirnakanlah selubung dalam hatikuini, selubungkecongkakan dankebencian.” Kabut māyā memudar dan lenyap di hadapan cahaya rahmat, karena itu ia dapat melihat dan melukiskan gambaran pesona ketuhanan dalam kidungnya “Shivudano Mādhavudano” dan mereguk dalam-dalam keindahan wujud Tuhan. (Dari) hatinya yang diaduk dengan rumusan suci (dengan mengucapkan japa mengulang-ulang nama Tuhan) timbullah percikan kebijaksanaan (jñāna) yang kemudian berkobar menjadi nyala kesadaran diri yang sejati.
Tidak hanya dalam Kaliyuga ini, tetapi juga dalam yuga-yuga yang terdahulu, yakni Kṛta, Treta, dan Dvāpara, nāmasmarana telah menjadi rahasia pembebasan dari belenggu. Tempat ibadat merupakan tempat untuk mengucapkan namasmarana ini secara wajar, otomatis, serta tidak terusik. Karena itu, pergi ke tempat ibadat merupakan suatu hal yang wajib sifatnya, terutama pada zaman Kaliyuga ketika udara penuh dengan pikiran-pikiran yang jahat dan tidak bernapaskan ketuhanan.
Itulah sebabnya dalam Bhagavad Gītā Kṛṣṇa menyatakan, “Di antara pengurbanan (yajña), Akulah pengulang-ulangan nama (nāmayajña), pengurbanan ini mempersembahkan hewan kurban ke dalam api suci, yaitu hewan kebodohan (ajñāna).” Untuk melenyapkan kesedihan, untuk memperoleh kegembiraan, tempat ibadat yang memungkinkan orang mengingat nama Tuhan memang mutlak perlu. ”Untuk memperoleh kebahagiaan jiwa, diperlukan mengingat dan merenungkan Tuhan (smarana), untuk mengingat dan merenungkan nama Tuhan, diperlukan tempat ibadat.” Itulah urutannya. Tidak ada yang lebih berfaedah, lebih membahagiakan, dan lebih mempesona daripada hal ini.
“Jika manusia memiliki nama Tuhan yang sangat mudah diucapkan, lidah yang selalu siap sedia, dan tempat ibadat tempat dipasangnya arca Tuhan yang menawan hati sehingga ia dapat menyanyikan kemuliaan-Nya dengan suara syahdu ... mengapa manusia harus bergegas memasuki gerbang neraka?” demikian tanya Vyāsa. Keheranannya timbul dari pengalamannya sendiri mengenai keampuhan nama Tuhan dan pengulangan serta perenungan nama tersebut. Demikian pula Tulsidās! la selalu tinggal dalam tempat ibadat dan menyanyikan kidung tentang kebahagiaan yang dirasakannya. ”Aduh! Bila manusia meninggalkan nama Tuhan serta tempat ibadat lalu mencari kedamaian dan kesenangan di tempat lain, aku jadi teringat akan kebodohan mereka yang meninggalkan hidangan serba lezat dan bergizi yang ada dalam piring mereka sendiri, lalu menadahkan tangan untuk mengemis sisa-sisa makanan orang lain,” demikian keluhnya.
Bahkan dalam disiplin Veda ditekankan bahwa nama Tuhan dan usaha manusia untuk selalu mengingatnya sangatlah penting. “Om kata yang tunggal itu adalah Brahman.” Om ityekāksharam Brahman, demikian dinyatakan oleh para ṛṣi bangsa Arya.
Bila engkau berminat, cobalah teliti, adakah orang suci yang diselamatkan tanpa nama atau rumah Tuhan? Bagi Gauranga, Mandir Viṣṇu (Jagannatha mandir) adalah sumber ilham dan tempat berlindung. Bagi Jayadeva, itu adalah Rādhākṛṣṇa mandir. Untuk Nandanār, tempat ibadat di Chidambaramlah yang merupakan sumber realisasinya. Vallabhācārya, Śaṅkarācārya, Nāmadev, Tulsidās, Tyāgarāja, semuanya memperoleh penampakan Tuhan, dan lebih hebat lagi, (mereka memperoleh) kebijaksanaan Ilahi, di dalam dan melalui tempat ibadat. Apakah gunanya menambah uraian ini? Bahkan pada zaman modern ini, bukankah Rāmakṛṣṇa Paramahaṃsa menghayati kebahagiaan Tuhan dan menemukan kenyataan dirinya yang sejati di dalam Pura Kali yang didirikan oleh Rānī Rāsamani?
Peminat Kehidupan Rohani Merasa Bahwa Tempat Ibadat Harus Ada
Menyalahgunakan tempat ibadat, merusak atau mengganggu suasana lingkungannya yang kudus, melupakan misi sucinya, menentang atau mencela adat dan kebiasaan yang berlaku di sana, dan menjerumuskannya menuju kemerosotan serta kecemaran -- tidak diragukan lagi, semua ini adalah adharma, bukan dharma. Mereka yang melakukan hal-hal semacam ini tidak memiliki penerangan lahir maupun batin; mereka sama sekali berada dalam kegelapan. Pemujaan di tempat ibadat, pergaulan dengan orang yang arif bijaksana, pengidungan nama Tuhan, pemujaan patung atau simbol, semua ini merupakan sumber cahaya dari luar. Meditasi, tapa, perenungan (dhyāna, tapa, manana), semua ini adalah sumber penerangan dari dalam. Tanpa kedua sumber penerangan ini, bagaimana manusia dapat mengalami penampakan keagungan Tuhan?
Tidak mengherankan jika Tulasidās Goswami pernah berkata, “Apakah engkau memerlukan penerangan di dalam serta di luar rumah? Jika demikian, letakkanlah pelita di ambang pintu! Demikian pula, apakah engkau ingin menyebarkan cahaya kedamaian ke sekelilingmu dan dalam dirimu sendiri? Jika demikian, letakkan nama Tuhan di lidah yang merupakan ambang pintu kepribadianmu! Pelita di lidah itu tidak akan berkedip-kedip, memudar, atau dipadamkan oleh angin apa pun. Pelita itu akan memberikan kedamaian kepadamu serta semua orang yang kautemui, bahkan ke seluruh dunia.”
Karena itu, demi keselamatanmu, berusahalah melihat wujud Tuhan di dalam hati. Bila engkau mengingat-ingat nama Tuhan, wujud-Nya akan terbayang dalam batinmu. Wujud Tuhan itu, dengan segala keindahan dari kemuliaan- Nya, telah digambarkan dalam tempat-tempat ibadat untuk memberi inspirasi kepada para peminat kehidupan rohani. Apakah orang awam mengetahui hal itu atau tidak, para pendamba kebenaran ātma mengetahui bahwa tempat ibadat merupakan hal yang sangat penting baginya.